NILAI budaya dan agama tidak hanya mengajarkan kewajiban hubungan manusia dengan Tuhan, namun antar manusia dan juga alam. Bagaimana budi pekerti yang luhur mendukung kita untuk bisa saling memaafkan dan saling tolong menolong membangun peradaban. Menurut antropolog Margaret Mead, tanda pertama peradaban dalam budaya kuno adalah tulang paha (femur) yang telah patah dan kemudian sembuh (mengutip status Hamid Basyaib di Facebook). Artinya, tolong menolong adalah titik awal sebuah peradaban.
Semua agama pasti mengajarkan kebaikan. Agama membimbing manusia agar menjadi insan yang berguna. Manusia yang beragama diharapkan dapat turut menciptakan kedamaian dan keseimbangan di bumi. Tidak ada ruang bernama kesalahan, kalau toh ada, saya lebih suka menyebutnya sebagai “ruang pembelajaran” atau ruang untuk instropeksi diri agar menjadi lebih baik. Hidup adalah perjalanan menjadi manusia yang dapat memanusiakan manusia.
Tugas manusia yang utama adalah berbuat baik di muka bumi, minta maaf, memaafkan, dan tidak lupa mengucapkan terima kasih (bersyukur). Selebihnya kita diharuskan mengalirkan doa-doa baik agar semesta juga meresponnya dengan kebaikan-kebaikan. Usaha dan berdoa, dua kaki yang mesti berjalan beriringan. Ketika semua itu sudah dilakukan, maka kewajiban kita sudah tinggal pasrah, mengembalikan semuanya kepada Tuhan, pada semesta alam. Dan biarkan alam Tuhan melalui semesta yang akan menjawabnya.
Merawat kesadaran itu penting, memaklumi dan minta maaf serta memaafkan juga tak kalah penting. Upaya-upaya untuk memerdekakan diri dari terperangkap di peta luka – membebaskan diri dari kebencian dapat menyelamatkan hati dari perasaan-perasaan yang dapat membuat kita tidak nyaman.
Perkara-perkara mengenai kehidupan sehari-hari yang dekat dengan kita baik yang terasa pahit, manis, getir, asin, asem, bahkan pedas – rasa-rasa yang tidak hanya dijumpai di rumah makan atau di warung Tegal, tapi di perasaan kita sendiri – harus kita terima dan lampaui. Perasaan seperti itu tidak perlu kita jauh-jauh mencarinya atau harus menjauhinya sama sekali. Justru hal-hal yang ada di dalam perasaan yang diperkuat dengan emosi dan mindset tersebut perlu semacam manajemen hati untuk mengatur agar tidak berlebihan meluap. Tak jarang sebagian kita lebih suka bersikap reaktif atas realita sehari-hari sehingga membuat kita tidak bisa mengatur emosi dengan baik, saya pun terkadang begitu.
Alangkah lebih indah jika tak ada semacam rekayasa atau kepura-puraan. Namun, perlu dipertimbangkan jangan sampai kamu seperti sedang membuka bajumu satu per satu kepada orang lain. Ada hal-hal yang memang perlu tetap kita simpan sendiri. Apakah kita sedang berada dalam situasi di mana bicara apa adanya memuntahkan isi kepala itu lebih mulia daripada bersembunyi menahan diri? Sebaiknya memang kita tidak kebablasan sampai tidak punya kendali diri.
Kiranya hanya hati yang jernih dan pikiran yang bersih yang mampu mengubah paradigma dan perspektif kita. Sebuah upaya yang berkaitan erat dengan kesadaran yang penuh dan hati yang utuh untuk memperbaiki kembali sebuah keaadan atau situasi hubungan antar manusia yang sebelumnya mengalami berbagai konflik.
Dalam ilmu manajemen konflik ada istilah “rekonsiliasi”, yang sering digunakan masyarakat dalam menyelesaikan perselisihan dan kesalahpahaman dalam perbedaan perspektif. Dan hal tersebut salah satu dari serangkaian langkah yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan perselisihan yang sedang berlangsung.
Konflik apa pun bisa saja terjadi baik antar individu, keluarga, komunitas, kelompok masyarakat, maupun skala yang lebih luas, yaitu konflik negara. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, maka tidak bisa dipungkiri bahwa kita saling bahu membahu, saling membantu, dan saling membutuhkan satu sama lain.
Tidak ada hidup yang selalu mulus dan baik-baik saja. Bahkan kita hidup dalam kehidupan yang terbuat dari potongan-potongan puzzle yang harus disusun ulang secara runut agar membentuk peta jalan menuju pulang kepada diri sendiri. Di saat nanti kita selesai dengan diri sendiri, maka akan selesai pula urusan dengan orang-orang di sekeliling kita.
Lantaran kita tidak mungkin hidup abadi dan entah sisa berapa lama lagi usia kita, tidak mungkin kita hidup tanpa orang lain, tidak mungkin hidup tanpa kesalahan, entah salah paham, salah perasaan, salah pemikiran, salah prasangka, dan lain sebagainya. Namun, di atas semua hal itu, yang paling utama adalah bagaimana kita mempraktikkan seni mengatasi pertikaian –sebuah upaya dalam mengatasi permusuhan. Seni memaafkan dan seni menghancurkan egoisme dengan melakukan penerimaan dan membuka diri seluas-luasnya untuk bersikap legowo adalah cara yang bisa kita lakukan untuk membuka pintu-pintu kehidupan yang lebih baik.
Menurut Ekawarna, dalam buku Manajemen Konflik dan Stres, banyak cara dalam serangkaian manajemen dan resolusi konflik yang bisa ditempuh untuk mengatasi konflik, yaitu berupa; negosiasi, mediasi, fasilitasi, dan terakhir rekonsiliasi.
“Sebuah kemarahan, akan menghilangkan akal sehat.”
Mari kita istirahat, rileks memaafkan hal-hal kecil ataupun besar yang terjadi di sekeliling kita, dan berterima kasih pada anggota tubuh yang telah melakukan kebaikan… sekecil apa pun itu, misalkan berkata baik, mengucapkan salam, mendoakan, menolong, memberikan informasi yang berguna, dan sebagianya.
Kemarahan yang berlarut tentu sangat berbahaya, hal itu bisa mengganggu Kesehatan, maka kita perlu menjaga kesehatan, baik kesehatan hati maupun pikiran. Terkadang kekuatan hadir, keberanian tumbuh ketika kita pernah mengalami situasi yang tidak mengenakkan hati dan merasa tidak baik-baik saja, misalnya di-bully beramai-ramai atau situasi tidak mengenakan lainnya. Namun, tangguh itu tumbuh dengan sendirinya. Seperti pepatah; hanya pelautlah yang bisa membedakan mana riak mana ombak.
Setiap orang pernah punya masa “tidak baik-baik saja”, setiap orang pernah “terluka pada masanya”, setiap kita pernah punya “kecewa pada waktu yang lewat”, setiap orang pernah “menghormati kesedihan”, setiap orang pernah berjuang “memaafkan keadaan”, setiap orang pernah memperjuangkan berdamai dengan siapa pun yang telah “membuat kecewa”, bahkan “memberi luka” pada hati kita. Mari tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik demi masa depan yang bahagia.
Menciptakan sugesti diri, bahwa kita mampu menghadapi semua kenyataan-kenyataan, melewati setiap jengkalnya untuk proses tumbuh menjadi kuat mental, dan selanjutkan lebih wise dalam menyikapi berbagai hal. Katakan, “Ya saya bisa, saya kuat, saya pasti bisa lebih baik dari sebelumnya.”
Agaknya saya teringat sepenggal puisi yang secara tidak langsung jadi mantra sugesti, “perempuan mesti bisa menjahit, setidaknya menjahit lukanya sendiri”.
Semua yang kita jalani dipengaruhi oleh Frame of Mind – bingkai berpikir kita sendiri. Tergantung pada cara kita melihat dunia, menghadapi kenyataan yang terjadi di depan mata. Dan setiap orang mempunyai bingkai yang berbeda, yang membentuk cara berpikirnya dalam menyelesaikan permasalahan dan melihat kehidupan ini.
Selamat membingkai kehidupan dan menjadi pribadi yang tangguh, selamat menempuh jalan kehidupan, mengalirlah kehidupan yang positif dalam setiap langkah kaki, nadi dan darah, juga udara yang terhirup mengisi paru-paru, dan mari kita hembuskan segala keburukan. Mari bersugesti baik kepada diri, maka semesta akan bahu membahu membantu kita.
Hari-hari setiap orang merayakan hidup, menyalakan hidupnya yang redup supaya murup dari pagi hingga malam kelam. Ada yang mendendangkan keriangan dari pasar ke pasar dengan pengeras suara.
Dari waktu ke waktu orang-orang bertahan tetap waras,
membunuh was-was, menikam cemas di dadanya masing-masing.
Mereka menghibur diri di tengah hiruk pikuk bising knalpot motor di jalan lurus, namun hidup berkelok-kelok dan tidak pernah mulus.
Betapa esensi kehidupan bukan hanya kata-kata
yang diperdebatkan dan diperankan para pemain drama
di atas panggung, mari termenung dan merenung.
Sebuah meditasi diri menjadi penting. Seharusnya setiap orang punya kemampuan untuk melakukannya. Agar tidak terlalu lama luka mengendap di dada. Agar segalanya baik-baik saja, dan bisa menjadi pribadi yang tumbuh dan tangguh, kuat mengejar cita-cita untuk memuliakan hidup dan berani memaafkan serta meminta maaf kepada orang lain.
Di hadapan hujan dan kabut malam aku berbincang dengan sunyi, dengan diriku sendiri. Hidup terdiri logika dan perasaan. Terbuat dari situs masa lalu dan masa sekarang – di mana peristiwa sedang berlangsung. Tuhan menyediakan berbagai macam rasa di dalamnya.
Penggalan cerita terbuat dari repetisi, kejadian yang berulang-ulang terjadi. Yang disengaja maupun yang tidak. Hidup terbuat dari ritual, doa, mandi, makan, tidur, bekerja, menangis, tertawa, yang terus berulang-ulang. Ritual yang mengandung kesedihan, rasa lapar dan sesekali bergembira melupakan kelelahan. Tidak ada lebay meski sesekali ada elegi. Semua kujalani dan kuterima apa adanya.
Kehidupan adalah lautan, lautan adalah kehidupan. Kita mendayung sampan membelah waktu dan jarak untuk sebuah harapan. Dari waktu ke waktu kita melayari hidup untuk bertahan dan melaju menuju ke masa depan.
Kenangan tidak selalu yang indah-indah, namun berterima kasih pada luka itu perlu, karena lukalah yang menjadikan kita perkasa. Aku pernah merasakan kekuatan hadir, keberanian tumbuh ketika pernah mengalami situasi yang sangat tidak mengenakkan hati dan sedang merasa tidak baik-baik saja. Tangguh itu tumbuh dengan sendirinya, tapi perlu kita pupuk dengan hal-hal baik dan positif agar semakin rindang dan sejuk untuk bernaung mengadapi badai yang akan tiba nanti.
Aku ingin bilang pada diriku, pada tembok, langit-langit kamar dan pada langit biru itu, puisi yang selalu kuulang-ulang;
percayalah
setiap perih luka
punya peta
untuk menemukan jalan pulang
bagi kesembuhannya
Mari tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Mari saling memaafkan.
Saya pernah membaca tulisan menarik kurang lebihnya seperti ini;
Lebah itu seperti hati, ketika diganggu hewan itu akan menyengat musuhnya dengan risiko kehilangan nyawa, karena dengan menyengat musuhnya itu dia akan membuka racun yang ada di dalam tubuhnya, ketika jarum yang lebah gunakan itu tertinggal di musuhnya, racun di dalam tubuhnya terbuka dan menyebar ke dalam tubuhnya, meracuni diri sendiri, lalu mati.
Hati kita pun sama, ketika kita terganggu, diejek ataupun hal-hal buruk lainnya yang membuat kita marah, jengkel, bahkan sampai dendam, sadarilah bahwa itu adalah racun yang ada pada diri kita. Jika kita membiarkan perasaan itu terus menerus tumbuh, maka racun itu akan menggerogoti diri kita, menyebar dalam hati kita dan membuat hati kita mati.
Maafkanlah lukamu, sesungguhnya memaafkan itu mudah. Maaf akan mendamaikan hati kita. Jangan sampai racun menggerogoti hati kita, apalagi sampai mematikan hati kita. Sesungguhnya, apabila hati kita telah mati, berarti telah datang kematian sebelum berpisahnya jiwa/ruh dengan raga. Kematian yang tentu saja pahit bagi diri kita. Sekelumit… semoga memberi manfaat.
Ketika kita sulit memaafkan orang lain, bahkan kita sulit untuk menerima orang lain sebagai partner kerja, maka belajarlah pada semut yang berbaris di dinding, di mana meraka selalu berjabat tangan dan menjaga kebersamaan serta gotong royong untuk membangun kehidupan.
Orang mudah mencari dan menemukan kesalahan – aib itu jumlahnya banyak sekali. Namun, orang yang mampu memberbaiki situasi, ikhlas memaafkan dan tidak gengsi meminta maaf, tulus berbuat sesuatu untuk menutupi aib saudaranya amatlah jarang, amatlah langka. Begitulah kondisi kita dewasa ini. Teramat banyak yang mahir mengkritisi dan mencela, tapi tak satu pun yang datang menawarkan solusi. Semoga kita selalu dapat menjadi manusia yang pemaaf dan mudah menolong sesama. Wassalam. [T]
BACA artikel lain dari penulisEMI SUY