PENDIDIKAN tinggi di Indonesia seakan terguncang, saat Mendikbud Nadiem Makarim, meluncurkan program merdeka belajar kampus merdeka (MBKM). Program ini sebagai kritik terhadap lulusan perguruan tinggi (PT) yang tidak banyak diserap di pasar kerja atau mampu bekerja mandiri sebagai wirausaha. Secara ringkas MBKM menawarkan empat paket kebijakan yakni: otonomi bagi PTN dan PTS untuk melakukan pembukaan atau pendirian program studi baru, sistem akreditasi perguruan tinggi, kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi perguruan tinggi berbadan hukum (BH) dan hak belajar di luar program studi.
Pihak kampus dan mahasiswa cenderung gelagapan menghadapi perubahan situasi tersebut. Banyak pendapat yang menolak atau setidaknya mempertanyakan alasan penerapannya, bahkan ada kalangan menuding MBKM sebagai penyebab proses pembelajaran di PT menjadi “amburadul”.
Apakah tudingan ini benar adanya? Lantas, bagaimana dengan kemerdekaan mahasiswa dalam proses pembelajaran ataupun setelah mereka lulus dari PT? Tulisan ini mencoba mengurai isu-isu terkait pelaksanaan MBKM.
Implementasi Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) di lingkungan perguruan tinggi dimulai sejak akhir 2020. Secara singkat, melalui empat skema yang ditawarkan dalam kebijakan MBKM, perguruan tinggi Indonesia diharapkan dapat merdeka dalam mengelola urusan di bidang Akademik maupun Non Akademik. Program yang begitu visioner ini tentu perlu disokong oleh kesiapan Perguruan Tinggi dalam menghadapi dinamika yang akan datang kedepan. Dinamika tersebut akan bermuara pada dua persoalan; marwah PT sebagai laboratorium peradaban dan PT sebagai institusi yang melahirkan lulusan tenaga kerja.
Mari kita bahas satu persatu, menyoal kebijakan pertama terkait dengan adanya otonomi bagi PTN dan PTS untuk melakukan pembukaan atau pendirian program studi baru. Dalam kebijakan anyar tersebut, PTN maupun PTS diberikan otonomi untuk membuka program studi baru apabila telah mengantongi akreditasi A dan B serta salah satunya telah melakukan kerjasama dengan institusi mulitilateral atau top 100 ranking QS. Kerjasama sebagaimana yang dimaksud ialah mencakup penyusunan kurikulum, praktik kerja,dan penempatan kerja. Berkaitan dengan poin tersebut, kebijakan ini dapat menyebabkan kesenjangan antar perguruan tinggi yang berhasil menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi yang belum berhasil memenuhi capaian kerjasama. Hal ini tidak terlepas dari nantinya kemudahan yang diperoleh dari lulusan Perguruan Tinggi yang telah menjalin kerjasama dalam hal praktik maupun penempatan kerja mahasiswanya.
Kedua, masih bertalian dengan kebijakan pertama yakni kebebasan bagi PTN BLU dan Satker menuju PTN BH. Dapat dipahami bahwasannya dengan status Badan Hukum, PT memiliki otonomi yang lebih luas dalam pengelolaan PT termasuk menjalin kerjasama dengan pihak-pihak swasta terkait keuangan PT dikarenakan perubahan status menjadi PTN BH menyebabkan pengurangan dana subsidi pemerintah bagi PT bersangkutan. Di satu sisi ini berdampak baik dikarenakan PT dapat segera merespon cepat persoalan yang terjadi di lingkungan PT tanpa terganjal administrasi yang berbelit dan panjang. Namun celakanya, kebebasan PT dalam mencari dana tambahan bisa merugikan masyarakat golongan ekonomi menengah kebawah dikarenakan PT berpotensi menggali dana dengan menaikkan uang kuliah tunggal (UKT). Ini tentu akan mempersempit akses bagi mereka yang miskin untuk menempuh pendidikan.
Terakhir ialah berkaitan dengan hak untuk belajar di luar program studi, salah satunya melalui skema magang. Program tersebut memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengeksplorasi berbagai hal di luar meja-meja perkuliahan. Menariknya, hak untuk belajar di luar program studi ini juga berkaitan dengan peningkatan Indikator Kinerja Utama (IKU) perguruan tinggi, terkhusus IKU 2. IKU sendiri memiliki peranan penting sebagai tolok ukur kinerja perguruan tinggi sekaligus acuan dalam penambahan bonus pendanaan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi kepada perguruan tinggi. Akibatnya banyak kampus berlomba-lomba dalam meningkatkan IKU perguruan tinggi termasuk dengan menggenjot program magang.
Di satu sisi hal tersebut berdampak bagi akselerasi mahasiswa untuk merasakan pengalaman di luar kampus. Mengingat pembelajaran di dalam ruang-ruang formal perkuliahan saja tidak akan cukup untuk menguji teori yang selama ini dipelajari dalam buku. Namun sisi lainnya, kebijakan ini juga merefleksikan bagaimana sistem pendidikan yang tunduk pada kebutuhan pasar. Ini tidak terlepas dari paradigma masa kini yang hanya memandang manusia sebagai tenaga kerja dalam cakupan industri kapitalistik.
Kerentanan terhadap eksploitasi tenaga kerja menjadi bagian dari untaian benang kusut yang perlu dibenahi. Program magang memang bisa dikatakan sebagai program yang laris diminati mengingat berhubungan praktis dengan kondisi lapangan kerja. Mahasiswa jadi mengetahui bagaimana realita lapangan yang sesungguhnya. Namun program ini tentu tidak lepas dari kontroversi.
Survey yang dilakukan oleh Project Multatuli terhadap 153 responden menunjukkan beberapa problematika dalam magang. Sebut saja beban kerja yang diterima oleh mahasiswa magang yang setara dengan pekerja tetap perusahaan. Tugas yang dijalankan dalam magang tidak sesuai dengan deskripsi pekerjaan, keterlambatan pembayaran upah hingga kekosongan perlindungan hukum bagi internship. Persoalan ini sebenarnya telah lama menjadi diskursus sejak awal pencetusan program tetapi tak pernah ada solusi yang benar-benar bisa menyelesaikan. Ini semakin rumit tatkala Perguruan Tinggi berambisi dalam mencapai target IKU. Tak ayal, kegiatan ini kemudian menjadi terkesan wajib dijalani oleh tiap mahasiswa sebagai syarat kelulusan. Pada titik inilah terjadi kebimbangan dalam jati diri mahasiswa sekaligus marwah perguruan tinggi sebagai laboratorium peradaban; dimana letak kemerdekaannya?
Ketidakberdayaan Perguruan Tinggi sebagai institusi pendidikan dalam menyikapi kebijakan MBK mengingatkan kita pada pandangan Tan Malaka mengenai pendidikan. Bahwasannya, Tan Malaka berpandangan bahwa pendidikan adalah untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan dan memperhalus perasaan. Berangkat dari pandangan itu, sejatinya perguruan tinggi keberadaanya bukan hanya untuk memenuhi tuntutan akan sebuah capaian kinerja, bukan juga mencetak lulusan yang siap menjadi tenaga kerja dalam cakupan industri kapitalistik.
Pendidikan tinggi tidak boleh melupakan tuntutan dan tanggung jawab moralnya sebagai sebuah wadah untuk mahasiswanya mengembangkan gagasan dalam rangka mencari kebenaran dengan memerdekakan manusia sebagaimana dalam filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara. Maka memerdekakan manusia sejatinya dihayati sebagai sebuah pembebasan yang berakar dari pikiran dan perasaan kita sebagai individu dan makhluk sosial sehingga bisa menjadi manusia yang seutuhnya ; manusia yang bertindak atas dasar kehendak pikiran dan hati nuraninya. Sebelum menyandang gelar “merdeka”, penting bagi setiap Perguruan Tinggi benar-benar memahami hakikat kemerdekaan itu.
Kita harus siap berbenah dan merefleksi “apakah selama ini PT merangsang mahasiswanya bertanya dan peka terhadap berbagai soal yang dihadapkan pada mereka sehingga mampu memecahkan masalah dari yang sederhana hingga rumit di sekitarnya? Oleh karenanya, pendidikan tak boleh sekadar dilihat sebagai jalan untuk menghadapi dunia kerja melainkan sebagai pondasi untuk mencerdaskan bangsa, Melahirkan intelektual-intelektual yang memiliki gagasan segar kedepan. Bukan sebaliknya, memenjarakan kemerdekaan \ dalam bilik sistem yang anti kritik, membuat kita takut bertanya sekaligus menggerutu “apakah ini yang disebut merdeka?” [T]