- Artikel adalah materi dalam panel diskusi “Membaca Dharma Pemaculan dari Perspektif Pegiat Teater Bali”, Minggu, 2s Agustus 2024 di Museum Buleleng, Singaraja, Bali
- Artikel ini disiarkan atas kerjasama tatkala.co dan Singaraja Literary Festival (SLF), 23-25 Agustus 2024.
BEBERAPA waktu lalu saya mendapat mandat untuk membahas teater—sesungguhnya membaca Dharma Pemaculan (sebuah lontar yang membahas pernak-pernik pertanian) dari perspektif teater. Dalam konteks ini saya hendak meletakan teater dalam spektrum yang lebih luas, yaitu pertunjukan.
Tentu saja teater sebagai pertunjukan bisa menjadi kaca mata untuk menatap realitas pertanian, atau justru pertanian dan irisannya dengan pertunjukan, sebab pertanian membidani banyak kelahiran estetika pertunjukan di Bali. Saya adalah bagian dari realitas pertanian dan sawah adalah tempat saya menghabiskan masa kecil, tapi umur pertemuan saya dengan pertunjukan masih tergolong belia.
Saya berasal dari sebuah desa yang menjorok ke timur dari perut wilayah kecamatan Tampaksiring—yang karena berjarak tidak terlalu jauh dengan Ubud—kini pelahan terciprat sesaknya pariwisata Ubud. Isu mengenai kehadiran proyek kampung Cina, lalu beralih ke kampung Rusia, kemudian villa-villa, dan proyek resort terus bergulir seperti secercah cahaya yang membawa kemakmuran bagi orang-orang di kampung saya: bukaan lapangan kerja yang memadai, industri kerajinan berkembang, dan sebagainya. Banyak imajinasi yang baik-baik. Mudah-mudahan kami tidak menunggu Godot.
Tanah yang berkhektar-hektar tak lagi dilekatkan pada harapan panen yang melimpah, kesuburan padi, yang sesungguhnya sudah menghidupi kami entah dari kapan. Kami tak lagi bisa berharap pada kacang panjang yang tumbuh menjulang ditopang tiang bambu di pematang sawah.
Tapi, padi, kacang panjang, jagung, kedelai, singkong, dan sebagainya, hari ini, tak mampu menjawab persoalan listrik yang melengking ketika token habis, Internet yang paling tidak mesti dibayar per bulan, persoalan anak-anak yang ingin melanjutkan karir di kapal pesiar, atau semata-mata membayar biaya pendidikan anak-anak yang ingin kuliah di kampus-kampus tertentu. Dan, kompleksitas persoalan hari ini banyak yang tidak mampu dijawab oleh pertanian kita.
Dengan satir yang sedikit ekstrem, beberapa orang bahkan berkata, “Lebih baik memelihara sapi putih daripada mengurus padi yang belum tentu hasilnya.” Tentu kita paham, apa yang dimaksud dengan “sapi putih”, sapi dengan kandang berupa villa kelas elit yang mengubah satu petak sawah menjadi sangat asing, dibatasi tembok megah, memotong alir air sawah, dan dilarang masuk bagi sembarang orang.
Tapi saya harus mengakui keterbatasan saya dalam membaca lontar. Pengetahuan saya mengenai Darma Pemaculan pun tumbuh begitu pelan karena gesekan dengan beberapa teman pegiat lontar yang kini tumbuh subur di Bali. Saya mesti berterima kasih pada mereka karena telah mendistribusikan pengetahuan tersebut. Meskipun tidak sempurna, saya harap obrolan itu turut menjadi kompas obrolan saya hari ini.
Pertunjukan dan Sawah
Saya tidak tahu, harus mensyukuri atau menyesali pertemuan saya dengan seni pertunjukan. Saya bersyukur, sebab saya yang bersentuhan langsung dengan sawah pelahan dibukakan akses pada produk intelektual yang terarsipkan dalam gerakan-gerakan tari. Namun, saya menyesal, baru pada tahun 2022 saya mulai mengikuti proses Igel Jongkok atau yang lebih akrab dikenal sebagai Kebyar Duduk, sebuah karya tari ciptaan I Marya.
Proses yang digagas oleh Wayan Sumahardika bersama Mulawali Performance Forum ini sesungguhnya membuat saya merasa seperti anak sapi yang baru lepas dari tali pengikat. Segala hal dalam tarian itu tampak sebagai sesuatu yang menakjubkan. Sayangnya, peristiwa tubuh rasanya begitu kompleks untuk diikat dalam satuan bahasa—tubuh itu sendiri, energi, perasaan, keterpesonaan, ketegangan tafsir atas tubuh, dan lain sebagainya.
Entah pengalaman masa kecil yang menggiring penafsiran saya atas gerak dalam tarian, atau memang demikian adanya. Saya hanya semakin yakin bahwa sebagian besar tari Bali adalah anak kandung kultur agraris, dan yang tidak henti membuat saya kagum adalah situasi zaman yang tampaknya begitu terang menghasilkan kesenian yang kini dianggap sebagai capaian zaman.
Belajar tari bagi saya seperti berusaha melekatkan baju baru pada tubuh. Kadang ia terasa begitu ketat, kadang terlalu longgar, tapi ketika sudah berkali-kali dipakai, baju itu seperti luluh menjadi bagian tubuh. Dalam proses itulah kita mulai pelahan memahami bahwa baju itu terbuat dari benang kelas satu atau perca yang disulap seolah itu produk kelas tinggi atau justru baju itu terbuat dari benang murahan. Tapi, begitulah tafsir. Ia sering kali lekat dengan pengalaman dan proyeksi subjektif.
Beberapa bentuk posisi tangan dalam Igel Jongkok membuat saya ingat dengan cara paman saya memanggul kelapa atau rumput atau padi: bahu rileks, namun bertenaga. Beberapa gerakan kaki (misal malpal) mengingatkan saya pada orang-orang yang menginjak-nginjak tanah berlumpur di sawah. Begitu pula dengan tanjek (posisi telapak kaki membentuk point).
Tentu saja hal ini bisa jadi tidak sesuai dengan niatan si pencipta tarian. Sebagai sebuah teks, tarian terikat pada fitrah alamiah subjektif pengakses yang kita sebut tafsir itu. Di sinilah menariknya. Tarian akan berkembang dan bernegosiasi dengan si pengakses. Rasanya, kita cukup akrab dengan Kebyar Duduk gaya Peliatan, Kebyar Duduk gaya Belangsinga, atau Kebyar Duduk gaya Belaluan. Dan semua gaya itu memiliki ciri khasnya masing-masing. Kesenian tidak jatuh dari langit, karena itu konteks sosial merupakan saudara kandung kesenian.
Dalam proses itu, saya juga sempat beranjak pada foto-foto orang dulu, yang nyatanya mirip dengan tubuh paman-paman saya yang tiap hari bekerja di sawah. Saya yakin, inilah tubuh-tubuh terlatih yang bila mengalami proses penciptaan pertunjukan yang sedikit lebih panjang, akan siap berada di panggung—sebagaimana tubuh I Marya dalam arsip-arsip yang bertebaran di internet dan yang disimpan oleh teman-teman pegiat Arsip Bali 1928.
Sebagai sebuah ruang dengan satu paket ekosistemnya, mungkin tidak keliru jika saya sebut bahwa sawah bisa menjadi tempat untuk menempa seseorang dalam berbagai urusan penciptaan, tentu tidak terbatas hanya pada pertunjukan.
***
Pada tahun 2022, saya sempat bertemu dengan Ketut Rina—seorang maestro tari kecak asal teges kanginan, Ubud—dan dengan semangat dia bercerita tentang pengalamannya bertemu dengan seseorang yang ingin melihat proses kreatif Ketut Rina. Orang tersebut ingin berkunjung ke studio I Ketut Rina, tapi yang dijumpainya di rumah Rina hanyalah rumah bergaya khas Bali.
“Di mana studio anda?” kata I Ketut Rina mencoba menirukan gaya orang itu.
pada bagian ini, Ketut Rina hanya tertawa dan berkata, “Saya petani, dan sawah adalah studio saya,” jelasnya.
Dalam konteks ini, Ketut Rina yang telah bergesekan dengan cara berpikir modern—tumbuh bersamaan dengan modernitas di Bali, bersentuhan secara kreatif dengan Sardono W. Kusumo, bersentuhan dengan para pegiat Butoh Jepang, dan lain sebagainya—telah meletakkan secara sadar sawah sebagai studio.
Pertalian antara pertunjukan dengan sawah tidak bisa disempitkan “hanya terjadi di Bali” karena salah satu metode yang cukup menarik perhatian dunia, yaitu metode Suzuki yang diciptakan oleh Tadashi Suzuki asal Jepang ini pun memiliki benang merah yang tegas antara metode pembentukan keaktoran dalam pertunjukan dan pertanian. Sawah sebagai sebuah ruang sesungguhnya adalah ekosistem sekaligus pemantik tumbuhnya banyak hal—ritus, kesenian, dan lain-lain.
Menyemai Tanah Tubuh
Entah bagaimana misteri jejaring teks dalam kepala kita, tapi ketika membahas pertanian, kutipan termasyhur dari Ida Pendanda Made Sidemen selalu berkelindan dalam kepala saya: “Nandurin Karang Awak”. Secara serampangan, saya memaknainya sebagai berikut:
Jika tidak punya sawah, maka semailah pada tanah tubuh. Ida Pedanda Made Sidemen seolah mengingatkan saya untuk meletakkan tubuh sebagai ruang, sebagai medium, dan barangkali juga tepat diletakan sebagai instrumen.
Dalam konteks obrolan saya dengan teman-teman pegiat lontar, sekilas, saya menangkap pembahasan mengenai dewa-dewi, hama, dan tentu saja tanah ketika bicara soal Dharma Pemaculan. Barangkali dan mudah-mudahan tidak keliru jika saya berpegang pada kata kunci “sawah sebagai sebuah ruang produksi” dalam artian luas, dan inilah yang saya jadikan pegangan dalam percakapan ini.
Sebelum melanjutkan pembicaraan, saya ingin kita bersama-sama menyaksikan video yang telah saya siapkan sebagai pemantik diskusi kita hari ini—video rekaman Google Maps yang menunjukkan perubahan suatu daerah dari tahun ke tahun.
***
Berdasarkan video itu, saya berharap kita bisa membayangkan perubahan situasi ekologis kita hari ini. Kita, saya harap, sudah sepakat bahwa pertanian dengan segala perniknya telah membidani lahirnya berbagai produk karya pertunjukan yang penting. Dan kita dengan jelas juga melihat bahwa tidak butuh waktu 10 tahun untuk merobohkan laboratorium para seniman yang kita sebut sawah itu.
Hari ini, kita berada pada situasi sulit, di mana di satu sisi kita ingin mempertahankan sawah, tapi di sisi lain, sawah bukanlah jawaban atas kebutuhan ekonomi kita hari ini, tidak seperti beberapa puluh tahun lalu, di mana kita tidak peduli dengan token listrik, tidak peduli dengan kuota internet, bahkan mencari air minum pun kita tidak perlu berpikir panjang.
Naasnya, perubahan ini mengingatkan saya pada kemandegan kebudayaan kita—Bali khususnya. Bayangkan, alat-alat pertanian yang dipakai untuk menggarap sawah, yang dulu dibuat oleh petani sendiri, atau anggota komunitasnya, kini harus kita impor dari Cina atau Jepang. Situasi ini sama persis dengan teknologi pengolah sampah yang orang Bali sebut Teba, yang kini sudah tidak berfungsi ketika bertemu dengan sampah-sampah modern.
Jika kita yakini bahwa sawah “sempat” menjadi laboratorium produksi kesenian, pertanyaan pesimis saya adalah, apa yang mampu kita produksi dengan situasi pertanian yang seperti saat ini? atau pertanyaan yang lebih spesifik, pertunjukan yang seperti apakah yang akan lahir dari konteks keruangan seperti saat ini?
Di satu sisi kita berhak bernostalgia, bahkan sedikit melodramatik menghadapi situasi mutakhir Bali, sambil mengenang segala hal heroik mengenai persawahan. Tapi di sisi lain, saya mesti mengingat bahwa ketika saya membuat video rekaman itu, saya duduk di meja kos sambil menjelajah ruang virtual yang membawa saya pada situasi di Canggu, Gianyar, Ubud. Dan, hal itu cukup tegas mengingatkan kita bahwa kita juga bisa mengintip situasi keruangan di belahan dunia lain dari balik layar laptop.
Pandemi rupanya cukup praktis membuat kita akrab dengan dunia virtual. Saya yang sebelum pandemi cukup canggung dengan internet, pelahan-lahan dibuat melipir pada pemahaman bahwa internet menyediakan akses ruang yang lebih luas dengan piranti berupa kamera dan jaringan. Perkenalan kita dengan zoom meeting telah memangkas sebagian biaya operasional rapat, dan mesti diakui, benda yang tak bisa disentuh ini cukup efisien dalam berbagai hal.
Arena produksi kultural kita hari ini bukan semata-mata bersifat fisik geografis yang kita bayangkan saja, tetapi bisa juga dalam bentuk virtual yang sulit kita lacak batas-batasnya. Menyadari situasi ini, Teater Kalangan sempat mencoba merespon ruang virtual itu, sembari mempertanyakan dan mencari pemaknaan antara pertunjukan dalam ruang virtual dan dokumentasi yang diputar di ruang tersebut.
Ketika itu, kami mencoba untuk memanfaatkan media kamera yang membuat kita melihat sesuatu secara lebih dekat, semisal hidung, mata, bulu tangan, yang sulit untuk diwujudkan di panggung pertunjukan konvensional, dengan catatan peristiwa itu ditonton dan terjadi secara bersamaan. Kami mencoba membuat peristiwa digital. Salah satu hal yang kami harapkan adalah interaksi secara virtual itu terjadi karena kami berpegang bahwa pertunjukan adalah peristiwa. Ketika itu, penonton yang masuk ke ruang pertunjukan berasal dari berbagai wilayah, tidak hanya dari Bali.
Sebagai sebuah percobaan, saya meyakini ada berbagai hal yang mesti kami baca ulang. Semisal, sebagaimana dokumentasi, ia tetaplah sebuah peristiwa ketika diakses oleh penonton. Dalam kasus yang sedikit lebih ekstrem, novel yang ditulis pada tahun 90 pun tetap menjadi peristiwa bahasa ketika diakses oleh pembaca hari ini.
Tanpa menyempitkan pembahasan, sesungguhnya banyak lembaga atau komunitas yang mencoba ruang virtual ini sebagai ruang pertunjukan. Tentu dengan berbagai catatan mengenai ruang peristiwa itu sendiri. Barangkali peristiwa virtual memiliki aturan main yang mesti kita selidiki lebih lanjut.
Di balik jarak pertemuan yang cukup banyak diretas oleh kehadiran internet, sesungguhnya semakin dapat dipahami pula bahwa pertunjukan tidak bisa lepas dari interaksi langsung. Dan, interaksi langsung memang sulit untuk digantikan. Meskipun demikian, hari ini kita mesti menyadari bahwa sesungguhnya medan produksi kultural kita tidak terbatas pada geografi yang sudah dijangkau oleh fisik saja.
Maka, dalam konteks produksi pertunjukan pun kita dibuat lebih awas karena apa yang kita pikirkan saat ini, belum tentu tidak dipikirkan oleh orang di belahan dunia lain. Cara melacaknya sederhana, cukup ketik ide atau persoalan tersebut di google. Tidak hanya arena kultural yang meluas, berbagai referensi pun kita begitu terbuka. Memang agak bertentangan, di mana keterbukaan ini, dengan mudah membawa kita pada ruang sesat. Tapi, bukankah masing-masing ruang memiliki sifat yang menggandeng resikonya sendiri?
***
Tampaknya ruang dan tubuh mesti dipertanyakan ulang di tengah-tengah terbukanya akses jejaring pertemuan hari ini. Apakah tubuh terbatas pada yang fisik, yang telah kita maknai sebagaimana definisi tubuh dalam biologi, psikologi, atau bahkan agama-agama?
Apakah ruang sebatas fisik bisa menjangkau? Jangan-jangan, kita layak menyebut akun instagram, Facebook, dan lain sebagainya adalah kita? Jangan-jangan, sebagai laboratorium pertunjukan, tugas sawah sudah usai, dan kita membutuhkan Dharma Virtual untuk memantik lahirnya kesenian adilihung lainnya? Jangan-jangan kita perlu Nandurin karang Virtual.[T]
- BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024