SAYA sempat jalan-jalan ke kawasan lumbung padinya Bali. Kabupaten Tabanan.
Kabupaten ini memang dikenal mendapat julukan sebagai lumbung berasnya Bali.
Tidak sulit menemukan hamparan sawah bahkan dengan pemandangan menawan Gunung Batukaru dan Gunung Agung dari beberapa sudut kawasan subak di Tabanan.
Kini ada semacam hubungan antara pemandangan alam dan kopi yang tak bisa dipisahkan. Dengan hubungan itu, Tabanan pun kini dikenal sebagai tempatnya ngopi.
Di mana ada pemandangan indah dengan sawah dan gunung yang menakjubkan, di situ ada tempat minum kopi. Lihat saja Jatiluwih. Di situ kini banyak ada tempat ngopi.
Kopi dan pemandangan alam seperti saling menguatkan, atau saling bersaing untuk menanjukkan mana yang lebih kuat; kopi atau pemandangan.
Pukul 5.00 pagi, pada suatu hari di bulan Agustus, saya sudah berkendara menuju kawasan Subak Piak di daerah Desa Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Tabanan.
Tempat itu belakangan ini begitu viral di media sosial. Saya datang bukan karena viral, tetapi karena tidak sengaja.
Saa menginap di daerah Penebel dan bangun terlalu pagi, membuat saya mempercayakan pada GPS untuk menunjukan jalan ke subak terdekat.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di jalanan dekat lereng Batukaru ini. Suasana masih gelap saya pun berjalan kaki, tanpa alas kaki.
Bolak-balik kawasan subak ini, tampak awalnya beberapa anak muda yang bolak-balik mengambil foto dan video di sebuah tulisan.
Ketika mendekat baru saya sadar, bahwa tempat ini tempat yang juga viral, sebuah tempat ngopi di tengah sawah bernama “Nyeduh Kopi”.
Wah tanpa pikir panjang saya masuk menyusuri jalan ke lokasi. Dan jadilah saya pengunjung pertama yang di sana ketika jam masih menunjukan pukul 07.00 pagi.
Suasana pagi di tempat ini memang membuat para pemburu konten dan foto bertema matahari, gunung dan sawah sebutlah alam menjadi salah satu favorit.
Beberapa orang pun datang membawa kawan. Setelah saya tanya tak sedikit dari mereka yang datang dari luar Bali.
Wow hanya butuh kopi dan view untuk dikenal, bukan yang lain-lain.
Tepat Pukul 8.00 pagi order dibuka. Antrian persis seperti antrian menerima sembako atau para politisi akan membagikan beberapa amplop. Mengular mengitari sudut meja pemesanan.
Akhirnya setelah 40 menit saya mengantri dapat juga giliran untuk memesan.
Menu yang tersedia memang bervariasi. Tak hanya kopi, ada teh, coklat dengan peneman laklak khas Penebel, pisang rebus, pisang goreng, dan yang paling khas adalah entil.
Entil bagi saya orang Buleleng menganggapnya blayag khas Tabanan.
Saya memesan dua pisang rebus, laklak khas Penebel, Teh sereh dan kopi hangat dan satu porsi entil.
Sambil menunggu menu entil dibawakan, saya menyeruput teh sereh dan mencium aroma kopi bersama mentari yang sudah meninggi.
Pengunjung masih berdatangan , nampak bingung mencari tempat duduk. Tak kurang 100 pengunjung hadir dalam waktu 1 jam buka.
Sambil menyantap entil dan menyiraminya dengan kuah dengan wadah kau (batok kelapa), saya langsung bergumam, dengan mana yang lebih dicari kopi atau pemandangan subak?
Bagi saya apapun yang dinikmati selagi alam lestari akan mampu mendatangkan pengunjung dengan tulus hati.
Dengan menu lokal sudah memberi warna bagaimana entitas lokal selalu menjadi primadona.
Sekarang dan nanti, pertanyaannya sanggupkah pemilik sawah dan petani serta sawah bertahan? Di tengah villa-villa yang selalu menyisir lahan-lahan persawahan?
Semoga dan berdoa saja bisa. Hehe. [T]