PERNAH mendengar cerita orang tua tentang masa-masa emasnya? Pasti akan selalu diawali dengan kalimat, “Kalau dulu itu, ini itu ini itu ini itu.”
Ya, begitulah kebanyakan kalimat yang saya dengar ketika menghadiri acara diskusi Bising Kota yang dinaungi oleh Pop Hari Ini. Pembicaranya terfokus dan seputar pada mereka, para penulis dan jurnalis musik, zaman saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Atau mungkin, mereka sudah mulai menulis musik ketika saya belum lahir.
Pada Sabtu, 8 Juni 2024, Pop Hari Ini berkunjung ke Bali menyelenggarakan acara diskusi di Rumah Tanjung Bungkak, Denpasar. Program Bising Kota singgah dari kota ke kota seluruh Indonesia untuk mendengar kabar baru geliat musik hari ini.
Untuk pertama kali, Bising Kota keluar dari Jabodetabek dan Bali menjadi kota pertama yang dituju. Tema yang diangkat kali ini adalah “Masih Perlukah Media Lokal untuk Skena Musik Bali?”
Pembicara dalam acara diskusi kali ini ada Rudolf Dethu, seorang kulturalis yang namanya sudah sangat megah dan tidak asing di scene musik Bali. Kemudian ada I Made Adnyana, jurnalis sekaligus wartawan yang banyak menulis dalam kelindan musik Pop Bali dan juga koran lokal.
Lalu ada juga Made Kresna, photographer muda yang memotret konser musik di Bali. Selain para pembicara, acara diskusi ini juga dimeriahkan oleh musisi lokal, yaitu Madness On Tha Block sebagai pembuka acara dan juga Soulfood sebagai penutup acara.
Made Adnyana dan Rudolf Dethu banyak bercerita masa-masa emas mereka ketika memulai movement dalam dunia tulis-menulis. Made Adnyana dengan gaya menulisnya yang lurus-lurus saja. Dan Rudolf Dethu yang lebih berbelok dan memiliki kedekatan ala punk-rock. Mereka berdua tumbuh bersama dan saling mengisi.
Saya juga merasa sedih ketika kehilangan banyak jejak sejarah menyoal tumbuh kembang scene musik para angkatan terdahulu, terkhusus di Bali. Karena media-media musik terdahulu terbit dalam format bentuk media cetak, yang barangkali hari ini sudah mulai punah perlahan dimakan rayap.
Dengan hadir ke acara diskusi ini saya berharap mendapat wajah cerah soal kabar media musik lokal di Bali hari ini. Ya tapi begitulah, seperti paragraf pertama pembuka tulisan ini, yang tersisa hanya cerita ini-itu-ini-itu para penulis veteran tersebut.
Tapi jangan bersedih dulu bradeeer, mungkin tulisan ini bisa sedikit memberikan informasi yang lagi happening soal media di Bali hari ini.
***
Diskusi berlangsung dengan pertanyaan pembuka soal bagaimana media musik di Bali? Yang kemudian dijawab langsung oleh Made Adnyana. Dia menyatakan bahwa media musik Bali hari ini cukup berkembang. Jika pada era saat ia masih muda, banyak media konvensional yang menampung konten musik dicetak pada koran dan memiliki halaman tersendiri.
“Biasanya yang sering memberitakan soal musik itu koran Bali Post dan Denpost. Kalau yang konsen pada musik, dulu juga ada Bali Music Magazine (BM2), The Beat, ada juga Ekspresi. Kalau sekarang yang masih ada, dalam bentuk online ada inimusic.com, mybalimusic.com,” ujarnya.
Sedangkan Rudolf Dethu sendiri bercerita dari pengalaman menulisnya dengan gaya yang lebih punk-rock, lebih banyak melakukan pendekatan musik dengan caranya sendiri yang lebih DIY dan lugas.
Sangat ironis mendengar apa yang diceritakan para pembicara soal media dan kerja-kerja jurnalis musik pada era 2000-an awal. Mereka para jurnalis musik seperti Rudolf Dethu dan Made Adnyana berdarah-darah bertahan untuk mencapai di titik ini, sebab musik selalu dianggap ladang kering.
Dan sering beberapa kali mereka menggelar kegiatan menyoal tulis-menulis musik, tapi hanya sedikit peminatnya. Dan dari banyaknya penulis di zaman mereka baru memulai dulu, hanya sisa mereka berdua yang tersisa.
Padahal Rudolf Dethu bercerita ketika awal kemunculan SID dan Navicula tidak terlepas dari peran media lokal dan jurnalis musik lokal daerah itu sendiri. Rudolf Dethu banyak bercerita kepada media bagaimana scene musik lokal Bali saat itu lewat pendekatan pribadinya.
Karena, bagi Rudolf Dethu, pendekatan dan sentuhan pribadi lebih jujur untuk digunakan menjadi pisau bedah dalam mengupas perkembangan ekosistem musik lebih mendalam, daripada hanya sekadar laporan informasi. Walau kadang memang gayanya yang tidak sopan dan kurang beradab.
Bicara soal musik di Bali hari ini, tentu juga tidak terlepas untuk membicarakan budaya yang sedang berjalan seiringan. Potret scene musik suatu daerah yang berkembang, biasanya juga dibarengi dengan budaya hidup yang ikut berubah-berkembang-maju.
Kalau dulu zaman Rudolf Dethu dan kawan-kawan mungkin ngetrend nongkrong ngepunk di Poppies Lane. Yang hari ini isinya hanya bangunan tinggi hotel-hotel, bule lalulalang tanpa helm dan bau pesing.
Kemudian, sekarang trend itu bergeser pada teras-teras coffee shop atau bar alternatif sekitar Kota Denpasar. Yang isinya anak muda gaul, berpakaian nyentrik, dan mendengarkan lagu-lagu melankolis yang bikin romantis.
Hari ini, siapa pun bisa menjadi media ketika dunia berpusat dalam genggaman gadget tiap golongan masyarakat. Dan orang-orang kebanyakan akan menghabiskan waktunya berselancar liar dalam media sosial yang lebih instan dinikmati.
Pula mengonsumsi berita-berita atau pengetahuan yang lebih instan. Seperti dalam bentuk video pendek berdurasi sepersekian detik dan-hanya-atau sekadar foto berisi caption. Kebiasaan untuk membaca panjang sudah sangat minim, apalagi Indonesia memang menempati kedudukan yang buruk dalam tradisi membaca. Kita patut bangga?
Sehingga hal yang instan itu patut dipikirkan dan disiasati dalam sebuah penyampaian atau berita pemberitaan media hari ini. Membuat informasi/berita yang lugas, trend, dan bagus secara literatur. Apalagi ketika bicara soal musik.
Selain media-media yang hanya intens membicarakan musik, sebenarnya pertumbuhan scene di Bali dibantu juga oleh media dalam bentuk format lain. Yang juga sangat membantu dalam memperluas aspek lingkungan scene lokal yang sedang tumbuh.
Seperti misalnya media akun lifestyle semacam Shankara Collective, yang menerbitkan berita-berita anyar soal fashion, venue lokal, dan juga rilisan musik lokal tentunya.
Ada juga fenomena menarik media yang lebih punk-rock, seperti akun shitpost lokal yang disinggung Rudolf Dethu saat acara diskusi. Salah satunya Kisimin Boys (Ig: kisminb0ys) yang turut memberitakan dan mempropagandakan sesuatu yang anyar terjadi di Bali dan berita budaya-budaya yang sedang dianggap “pop culture” di Bali.
Selain itu juga ada Post Alay (Ig: post4lay) dan Murakbal (Ig: murak.bal) misalnya, yang juga meramaikan soal kebanyolan scene musik, kebanyolan pemerintah, bahkan kebanyolan budaya dan tradisi Bali sekalipun.
Mereka semua menggunakan meme dan shitposting untuk melakukan interaksi pendekatan informasi kepada audience-nya. Rasanya kurang hipster kalau tidak mengikuti mereka di media sosial, khususnya Instagram.
Saya rasa media-media alternatif semacam itu juga turut membantu dalam upaya penyebaran scene musik yang berkembang di Bali hari ini. Karena sebagian penggerak media tersebut juga aktif dalam movement scene musik atau industri kreatif di Bali.
Meski format media tradisi ala punk-rock seperti zine cetak maupun digital juga tetap selalu ada yang diterbitkan di Bali, isinya juga beragam tidak melulu soal musik.
Kemudian ada lagi fenomena media bobrok yang terjadi di Bali. Terutama di Instagram, banyak media online yang menggunakan nama musik dan sekitarnya sebagai embel-embel. Berita yang disampaikan hanya berisi informasi konser terkini, hasil copy paste pers rilis lalu posting.
Media-media semacam ini tidak lain dan tidak bukan hanya ingin mendapatkan tiket konser gratis. Dengan mengandalkan followers-nya yang banyak di media sosial. Padahal zaman sekarang followers juga bisa dibeli. “Hahaha, iya kan?”
Fenomena media format begini sedang marak dan banyak di Bali. Saya sarankan; “Mending pinjol aja kalau ingin nonton konser tapi tidak punya uang, daripada buat media kayak begitu. Sampah.”
Saya pribadi sudah jarang dan bahkan tidak pernah nge-follow akun model begitu untuk lebih taHu soal scene musik Bali. Mungkin nge-follow hanya satu atau beberapa saja, untuk kepentingan supaya mengetahui sedang ada konser apa hari ini.
Yang terpercaya di Bali misalnya ada; Konser Bali (Ig: konserbali), Bali Bawah Tanah (Ig: balibawahtanah), Insta Bali Musik (Ig: instabalimusik), atau Bali Musik Gram (Ig: balimusikgram) yang memberitakan soal musik Pop Bali.
Sisanya terlebih seperti yang sudah saya katakan – copy paste berita acara, posting dan selesai. Tidak ada dialektika lebih di dalamnya. Omong kosong followers dan tiket gratis.
Kemudian ada juga media pengarsipan bawah tanah yang baru dimulai. Media ini mengangkat kembali arsip-arsip band Metal Head di Bali era 2000-an awal, yang saat itu banyak memenuhi panggung gigs underground di Bali. Bali Extreme Media (Ig: baliextrememedia), silakan dicek.
Ada juga Jurnal Musik (Ig: @jurnalmusikbali), meski basisnya di Bali media ini juga kerap mengangkat musisi-musisi lokal tanah air sekitar dan tentu lebih fokus kepada lokal Bali. Sayangnya, media ini tidak begitu intens dalam penyebaran informasi, kalau kata orang Bali “anget-anget tai ayam”. Hahaha. Mari sambil membaca kita doakan agar media ini panjang umur.
Bali cocok mendapat predikat; tong kosong yang nyaring bunyinya. Sama sekali tidak memiliki media yang kuat, kritis, dan propert soal perkembangan musik lokal, padahal talent musisinya sangat berlimpah.
Di pertengahan diskusi saat sesi tanya jawab, Rio Tantomo, yang dikenal sebagai jurnalis musik teleran, angkat bicara soal kenyataan scene musik di Bali hari ini lewat cara pandangnya.
Saya tidak menangkap semua fafifu wasweswos-nya, mungkin karena dia sudah teler. Yang jelas, dia menyampaikan bahwa Bali kekurangan spokperson yang berani jujur menceritakan kondisi scene musik Bali saat ini.
Baginya, kemunculan perkembangan musik yang beragam di Bali tidak diimbangi dengan munculnya orang belakang panggung, seperti misalnya pegiat jurnalisme musik. “Tidak ada yang berani menceritakan ini jelek, itu jelek, ini bagus, itu bagus,” kata Rio. Made Adnyana dan Rudolf Dethu mengamini apa yang dikatakan Rio Tantomo.
Bali urgent soal regenerasi, tidak hanya soal media dan jurnalis saja, tetapi juga segala hal yang menyokong kebutuhan perkembangan musik di Bali hari ini.
Sepertinya benar apa yang dikatakan oleh Made Adnyana dan Rudolf Dethu, sudah saatnya mereka dan sebangsanya turun dari panggung dan mulai ada regenerasi. Rudolf Dethu dan Made Adnyana merasa sudah cukup oleh riuh rendah tepuk tangan. “Saya bukan ingin mundur atau berhenti, tapi ingin terlibat sedikit saja dan lanjut mabuk,” tutup Rudolf Dethu sambil tertawa.
Kemudian diskusi ditutup dengan pertanyaan, masih pentingkah media musik di Bali? Para pembicara sepakat untuk menyatakan sangat perlu karena memang sifatnya urgent.
Media dan jurnalis musik tidak bisa bertahan apabila tidak mendapat dukungan dari scene musik itu sendiri. Maka diperlukan kolaborasi lintas disiplin dan kesadaran untuk bersiap menghadapi apa yang akan datang. Agar media dan jurnalis musik terus hidup dan scene musik mendapatkan dampaknya.
Lalu acara dilanjutkan oleh penampilan Soulfood yang menutup malam begitu hangat dan penuh sesuatu. Video dokumentasi acara diskusi Bising Kota oleh Pop Hari Ini yang sudah saya ceritakan di atas kini sudah bisa disaksikan langsung di kanal YouTube: Pop Hari Ini.[T]