“…pohon tegak-tegak
rumput semak dan riuh kota telah lelap
bersembunyi dalam satu nada sunyi
menunggu, adalah pembunuhan lambat
yang sedang berlalu
dan semangat hidup hilang melewati lobang-lobang
dalam kelam
kau gelisah sayang,
katakan itu cinta
kau membuang muka tidak ingin melihat
bulan dilingkari sepi…”
POTONGAN syair di atas adalah nukilan dari puisi Elegi milik penyair Toety Heraty, puisi yang wajib dibacakan oleh peserta Baca Puisi Peksimida Bali 2024. Perlombaan itu telah digelar di Gedung Candra Mettu ISI Denpasar, pada Selasa, 9 Juli, kemarin.
Saat puisi itu dibacakan ulang oleh Elsa, penyabet juara 1 (satu) di acara tersebut, seolah hendak menyimak, dua burung gereja terbang dari pohon palem, dan hinggap kemudian di pohon kamboja, lima meter dari bayangan Elsa duduk.
Satu bunga terjatuh dari tangkainya menyambut itu, jatuh dengan lembut ke rumput hijau di beranda fakultas tempat Elsa belajar. Alam benar-benar memberi isyarat baik pada pagi menjelang siang itu, Minggu (14/7/2024), di depan FIP Undiksha.
Elsa, panggilan akrab dari Ni Nengah Diah Elsa Apricillia, mahasiswi semester 6 Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) itu, dengan senang hati membacakan ulang puisi yang ia baca pada tangkai lomba baca puisi serangkaian Pekan Seni Mahasiswa Daerah (Peksimida) kemarin.
Intonasi dan mimik wajahnya benar-benar seperti menyihir suasana pagi—yang semula biasa menjadi tidak biasa. Setiap bait dibawakannya dengan penuh penjiwaan yang kuat. Burung-burung itu terus berkicau mengiringi Elsa menyair sampai selesai. Alam telah memberkatinya barangkali.
Ni Nengah Diah Elsa Apricillia | Foto: Hizkia
Jika bisa seperti itu, tidak bisa dibantah jika ia layak juara. Tetapi, sejak kapan puisi itu mengalir di dalam hidupnya?
Perempuan kelahiran Sibetan, 29 April 2003 itu mengaku telah terpikat puisi sejak duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dan ia memandang seni, dalam hal ini puisi, adalah suatu kebebasannya—dalam berfikir dan menilai sesuatu, lebih-lebih dalam memperlakukan hidup.
“Dalam seni (puisi), tidak ada benar dan salah. Semua bisa saja terjadi—perbedaan pendapat, dan tentang puisi, itu kita memang mesti mengartikannya selain menikmati setiap metaforanya yang indah,” ujar Elsa.
Puisi benar-benar telah masuk ke dalam tubuhnya itu, katanya, menjangkiti perasaan yang kian menjadikannya halus, dan mempertajam nalar-kritisnya sebagai perempuan yang sekarang tinggal di Kota Amlapura Karangasem itu.
“Sejak SMP, Kak. Saya sangat suka dengan puisi Chairil Anwar, yang judulnya ‘Diponegoro’. Sajaknya cukup sederhana, tetapi sangat ‘ngena’ sekali saat dibaca. Tokoh Chairil Anwar itulah yang menjadi inspirasi saya dalam bergaul di dunia puisi hingga SMA—bahkan sampai sekarang,” terang Elsa.
Setelah menginjak SMA, kejuaraan lokal dan nasional pernah ia raih, dan itu tidak begitu jauh dari teks dan puisi, juga public speaking—sebagaimana ia sangat menyukai berbicara di depan orang banyak.
Pada Lomba Tutor Sebaya Tingkat Kabupaten tahun 2019 ia menyandang Juara Harapan 1, kemudian Juara Harapan 1 Lomba Baca Puisi Tingkat Kabupaten tahun 2019; Juara 1 Lomba Esai Tingkat Kabupaten tahun 2020; juara 3 Vlog Tingkat Kabupaten tahun 2020; Finalis Debat Ilmiah Tingkat Provinsi tahun 2020; Finalis Lomba Podcast Tingkat Provinsi Tahun 2020, Juara 3 Baca Puisi Tingkat Nasional Tahun 2020; dan Juara 3 Lomba Esai Tingkat Nasional Tahun 2020.
Setelah memasuki perguruan tinggi pada tahun 2021, latar belakang tadi memantapkan mental juaranya di kampus. Ketika sebuah informasi yang dilayangkan oleh BEM Fakultas FIP, tanpa berfikir panjang, ia merespon cepat untuk daftar. Latihan yang cukup singkat, sekitar satu mingguan, tak dinyana meraih hasil yang baik.
“Dalam lomba itu, disampaikan, apabila pernah memiliki prestasi di tangkai lomba tersebut, peserta diminta untuk mengisi gform dan meng-upload piagam juara sesuai dengan tangkai yang diminati, dan saya memilih lomba baca puisi—karena sangat suka,” terangnya.
Peksimida sendiri merupakan rangkaian dari Peksiminas (Pekan Seni Mahasiswa Nasional), dan Peksimida merupakan langkah pertama dalam menjaring mahasiswa terbaik yang ada di provinsi atau daerah.
“Setelah informasi Peksimida saya ketahui, dan dipertegas lagi oleh Wakil Rektor 3 Undiksha kepada kami mahasiswa, beliau mengatakan bahwa tahun ini merupakan tahun pertama dan wajib mengikuti Peksimida untuk menentukan siapa yang mewakili Bali ke ajang nasional, sedangkan tahun sebelumnya hanya menyertakan portofolio untuk diseleksi di Provinsi,” kata Elsa.
Menurut keterangan Elsa, mahasiswa diseleksi terlebih dahulu di fakultas kemudian dilanjutkan di lembaga. Setelah data valid di lembaga, kemudian langsung didaftarkan kepusat. ”Jadi, data artis sudah ada di pusat, baru kemudian dilaksanakan Peksimida,” lanjutnya.
Singkat cerita, ia terpilih untuk menjadi delegasi Undiksha. Di sana, di Denpasar, para peserta yang datang berasal dari beberapa kampus negeri dan swasta di Bali, dan ia merasakan gembira luar biasa setelah MC menyebut namanya dengan bangga sebagai juara satu di puncak acara.
“Ada banyak peserta yang ikut dari beberapa kampus, seperti dari Warmadewa, Dwijendra, PNB, STIKOM, dan lainnya. Persaingannya sangat ketat, apalagi dengan mahasiswi PNB. Nilai saya hanya selisih 1 (satu) poin dengan juara duanya,” ujar Elsa.
Dalam tangkai lomba yang sama, baca puisi, ia akan diterbangkan ke Jakarta untuk Peksiminas 2024 yang digelar di Universitas Negeri Jakarta, 2-7 September mendatang, mewakili Bali.
Selamat berjuang kembali, Elsa. Ingat yang dikatakan oleh Chairil Anwar dalam sajaknya “Diponegoro” itu: Maju! Serbu! Serang! Terjang!
Semoga puisi memberkatimu, di sana. Semangat![T]
Reporter: Sonhaji Abdullah
Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Jaswanto