SETELAH ditutupnya Pesta Kesenian Bali (PKB) 2024, kita mendapat kabar duka. Salah seorang seniman legendaris yang punya peran besar “menghidupkan” PKB pada era tahun 1980 hingga 1990-an, telah tutup usia, nyujur sunialoka. Ia adalah I Nyoman Sujena.
Nyoman Sujena, kelahiran Tabanan, 31 Desember 1949 itu, itu berpulang Minggu, 14 Juli 2024.
“Bapak mandi sekitar pukul 9 malam, dan kami baru ngeh pukul 12.00 malam, Bapak sudah tak bernafas di kamar mandi,” kata Ni Ketut Ayu Sekariati, istri Nyoman Sujena, saat dihubungi Senin, 15 Juli.
Ayu Sekariati mengatakan, suaminya selama ini tidak mengalami sakit apa pun. Keadaannya sehat-sehat saja, dan biasa melakukan akvitas kesehariannya.
Masyarakat Bali yang setia menonton PKB sekira tahun 1980 hingga 1990-an pastilah kenal Nyoman Sujena. Atau jika tak kenal orangnya, masyarakat Bali saat itu pasti kenal tokoh Bima dalam garapan sendratari Pemerintah Daerah (Pemda) Bali dan Kokar saat itu, yang selalu mengguncang panggung terbuka Ardha Candra saat PKB di Taman Budaya Provinsi Bali, Denpasar. Nyoman Sujena-lah yang berperan sebagai tokoh Bima itu.
Nyoman Sujena (kanan) berperan sebagai Bima bersama Made Mundra berperan sebagai Sekuni | Foto: Ist
Adegan yang paling diingat pada sendratari itu adalah adegan “Sekuni cakcak Bima” atau tokoh Sekuni yang dipukul habis oleh Bima. Dua tokoh itu, Sekuni yang diperankan I Made Mundra dan Bima yang diperankan Nyoman Sujena, adalah tokoh yang terkenal dan menjadi primadona di masa itu.
Saking terkenalnya sendratari dengan dua tokoh ikonik itu, PKB saat itu seperti identik dengan sendratari. Jika tak ada sendratari, PKB bisa dianggap “tak punya nyawa” saat itu.
Nyoman Sujena, Menari Sejak Kanak-kanak
I Nyoman Sujena merupakan seniman tari asal Banjar Gulingan, Desa Antosari, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan. Pada PKB ke-43 tahun 2021, ia dianugrahi penghargaan “Adi Sewaka Nugraha” oleh Pemerintah Provinsi Bali.
Penghargaan itu dianugrahkan atas pengabdian, kegigihan, dan semangatnya dalam membina, melestarikan dan mengembangkan seni tari. Selain sebagai guru, ia bersama istri dan anaknya juga mengelola sanggar seni.
Semasa kecilnya, Nyoman Sujena tidak pernah membayangkan menjadi seorang seniman. Hanya saja, saat duduk di kelas V SD 1 Antosari, ia kerap bermain barong-barongan bersama teman-temannya. Barong itu dibuatkan oleh I Regug yang bentuk dan rupanya sangat sederhana, namun dapat membuat mereka senang.
Regug merupakan seniman otodidak yang piawai menggambar, membuat tapel, dan membuat grantang (gamelan rindik). Karena multi talenta itu, Sujena sangat mengagumi Regug sebagai seniman otodidak.
“Tokoh I Regog itulah yang memberikan saya “lawat” (inspirasi) dalam berkesenian,” kata Sujena ketika sempat diwawancarai beberapa tahun lalu.
Barong yang dibuat I Regug itu begitu sederhana dengan bahan dari ambu (daun enau muda), namun banyak yang menanggapnya atau mengupahnya untuk pentas. Masyarakat menyebutnya dengan Barong Jengki, karena bentuknya kecil namun menarik.
Sujena dan teman-temannya sering pentas dengan barong yang tidak terlalu mewah itu. Bahkan, sampai keluar areal desanya. Walau banyak yang menanggap, namun ia tetap memilih pentas pada saat libur sekolah.
Sebagai penari barong cilik, saat itu Nyoman Sujena banyak mendapatkan pujian. Sekaa ini memanfatkan gamelan tingklik (gamelan bahan bambu) sebagai iringan. Sekaa itu biasa mengangkat cerita Tuwung Kuning yang diakhiri dengan pertempuran barong dan rangda jelmaan Pan Tuwung Kuning dan Dadong Tuwung Kuning.
Nyoman Sujena | Foto: Ist
Setelah melanjutkan pendidikan ke SMP 1 Antosari, anak ketiga dari lima saudara dari pasangan I Wayan Sadra dan Wayan Sitiarsi ini justru menyukai seni menggambar. Ia rajin menggambar tokoh-tokoh pejuang, seperti Bung Karno, Sudirman, maupun tempat suci, seperti Pura Tanah Lot.
Walau menggunakan media kertas dan pensil, hasil goresannya biasa dipajang di kelas. Setelah dilihat oleh Kepala SMP 1 Antosari, ia kemudian diarahkan agar melanjutkan ke Konservatori Karawitan Indonesia (Kokar) Bali (kini SMKN 3 Sukawati) untuk memupuk bakat seni menggambar itu.
Saat itu, Nyoman Sujena menanggapi dingin. Ide dari kepala sekolah itu tidak pernah ia pikirkan untuk memilih sekolah seni itu. Hanya saja, menjelang tamat SMP, Nyoman Sujena sempat kagum menyaksikan pentas Sendratari Kokar di desanya. Hal itulah yang mendorongnya untuk menimbang kembali saran kepala sekolahnya masu sekolah seni.
Setamat SMP, ia kemudian nekat ke Denpasar. Ia mendaftar ke sekolah seni milik masyarakat Bali itu. Ia bertanya kepada kusir dokar di mana lokasi sekolah seni itu, lalu meminta untuk diantarkan ke sekolah itu. Ia sempat bingung, karena diajak ke pura.
Sekolah Kokar itu mirip seperti pura, karena lebih banyak menggunakan ukiran dan simbol-simbol dalam arsitektur Bali. Ia langsung diterima tanpa melalui tes. Kata Sujena saat itu, ia diterima bukan karena ia pintar menari, tetapi karena memang sekolah itu sedang membutuhkan siswa.
Ketika kelas dimulai, ia tercengang melihat guru-guru yang jago menari Bali. Termasuk teman-temannya yang sebagain besar sudah menguasai tari. Sementara ia sendiri, hanya bermodal niat dan semangat saja, sehingga merasa minder, dan sempat hendak memutuskan untuk pindah.
Untung saja, ada temannya, Alit Susandi, menahan Sujena untuk melangkah keluar sekolah. Bahkan, temannya itu menyatakan bersedia mengajari Sujena menari Baris. Sejak itulah Sujena mengisi dirinya dengan belajar menari di luar sekolah, dan melakukan latihan secara terus-menerus hingga menguasai dasar-dasar tari.
Sujena dalah putra pemilik Sekolah Penjahit Harmonis di Bajera. Ia memang tak begitu lihai menari, tetapi dalam urusan pelajaran ia tergolong pintar, sehingga selalu terpilih sebagai Juara umum I. Seriring dengan prestasi itu, ia kemudian didapuk sebagai Ketua OSIS yang sering memimpin teman-temannya dalam pageleran.
Ia sendiri tidak ikut menari, namun ia sangat telaten mengkoordinasi teman-temannya. Pada 1969, ia memimpin teman-temannya saat Kokar melakukan pagelaran keliling Indonesia Timur bersama PT Pelayaran Nusa Tenggara, seperti ke Sulawesi, Lombok, Sumbawa, Sumba, Alor, Aru, Timor, dan Makasar.
Meskipun tak piawai menari, Sujena beberapa kali mengalami kejadian yang memaksanya untuk ikut menari. Pengalaman-pengalaman itu justru menjadi pelajaran berharga baginya. Sebut saja saat pementasan Sendratari “Rajapala” di Makasar.
Sujena dipaksa ikut menari dan memerankan tokoh pedagang ayam. Tanpa disadari, ayam itu lepas, sehingga ia harus berjuang dengan segala upaya untuk bisa menangkap ayam itu. Adegan menangkap ayam itu tanpa skenario, namun penonton senang dan tertawa saking lucunya. Pertunjukan itu menjadi lebih hidup.
Pengalaman lain yang menjadi pelajaran lagi bagi Sujena, yakni ketika diminta tolong merias Alit Susandi yang diundang pentas pada salah satu sekolah. Sampai di lokasi, Sujena bukannya lantas merias Ali Susandi, justru disuruh menari. Sementara Alit Susandi yang meriasnya.
Walau saat itu tahu paileh Tari Jauk, tetapi ia belum menguasai tenaga. Maka wajar, rasa tegang, degdegan mewarnai pementasannya. Diakhir pentas ia jatuh tersungkur. Menariknya, pengalaman itu bukannya membuatnya kapok, justru menjadi lebih semangat berlatih.
Sujena kemudian belajar tari dengan I Nyoman Kakul dari Desa Batuan Gianyar, juga belajar pada Ida Bagus Raka dari Bongkasa, Badung dan Ruwit, seniman Jauk di kampungnya. Ia rela naik sepeda gayung berpuluh kilometer untuk bisa mendapatkan ilmu seni itu. Sujena berkali-kali mengaku bahwa ia senang mempelajari stil tari yang berbeda-beda.
Sujena sempat pula belajar pada seniman topeng, Repet, di Kediri, Tabanan. Ketika I Wayan Beratha membuat Sendratari Mahabrata dengan kisah Arjuna Tapa, ia dilatih sebagai penari Bima. Ia mampu memerankan tokoh Bima dengan baik.
Demikian pula saat I Wayan Beratha membuat sendratari Ramayana, Sujena didapuk menjadi penari Rahwana. Semenjak itu, ia terkenal sebagai penari Rahwana, hingga sering diminta untuk ngayah di banjar-banjar, hotel serta di Kokar. Ia akhirnya tamat Kokar pada 1970.
Sujena lalu melanjutkan ke Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar–kini ISI Denpasar. Di kampus seni itu, ia lebih banyak mendapatkan teori tentang penciptaan seni tari, termasuk pengenalan seni kontemporer dan modern.
Ia banyak mendapat ilmu dari Prof. I Made Bandem dan Prof. I Wayan Dibia. Ilmu menganalisis tari semakin dikuasainya, bahkan ia menemukan kunci ngunda bayu dalam menari Bali. Hal itu ia temukan setelah menari barong di desanya hingga karauhan. Ia merasakan seberapa tenaga yang dikeluarkan pada saat karauhan, lalu itu dipratikannya di atas panggung.
Nyoman Sujena mempergakan gerakan tokoh Bima | Foto: Ist
Saat masih menjadi mahasiswa. Ia dipercaya sebagai duta seni untuk mempromosikan Bali di India, Jerman, Italia, Roma, dan New Kali Dunia. Ia dipercaya mengisi acara Bina Tari TVRI sekitar 1972 bersama seniman senior lainnya.
Perkenalannya dengan Sardono dan Zal Murgianto memberinya tambahan ilmu, khususnya dalam dunia seni kontemporer. Bahkan, Sujena sempat dipilih sebagai penari kontemprer bersama Sardono yang mendapatkan kesempatan pentas di Amtersdam, Roterdam, Perancis, dan Iran sekitar tahun 1973.
Setelah tamat ASTI pada 1975, ia lebih banyak melakukan pagelaran dan melatih tari di banjar. Pada 1977, ia kembali dipercaya Sardono menari kontemporer di Jepang. Selanjutnya, Sujena diangkat menjadi guru Kokar pada 1976, khusus mengajar teknik tari laki, seperti tari Baris, Topeng, Jauk dan lainnya.
Pada tahun 1980-an, Kokar kemudian mempercayainya menampilkan sendratari dalam ajang PKB. Selain sebagai penggarap tari bersama, ia juga didapuk sebagai penari yang memerankan tokoh Bima. Tugas itu ia lakukan setiap tahun, sehingga telah mengumpulkan segudang penghargaan seni.
Bersamaan dengan itu pula, ia menyelesaikan pendidikan di ISI Yogyakarta pada 1987 dengan menyandang gelar Sarjana Seni Tari (SST). Setelah Kokar pindah lokasi ke Batubulan, Sukawati, Gianyar, Sujena lalu dipercaya mengajar koreografi.
Aktivitas menggarap sendratari secara berkelompok masih dilakukannya setiap tahun. Ia juga mendirikan Sanggar Tari Bali yang dilanjutkan dengan membuka usaha penyewaan busana tari. Ruang kosong di rumahnya, yakni di Jalan Gadung Gang 11 No 4 Denpasar sebagai studio latihan. Sanggar itu memiliki jadwal pentas ke Jepang setiap empat kali dalam setahun.
Sebagai seniman berpengalaman, ia telah mengumpulkan segudang penghargaan, mulai dari Himpunan Seniman Remaja, Bupati Badung, Bupati Gianyar, penghargaan sebagai Pembina Pawai PKB, penghargaan dari hotel, sponsor Jepang, penari dan penghargaan sebagai pembina tari.
Menjelang masa pensiun pada 2009, ia sempat melakukan lawatan ke Australia untuk menampilkan tari Bali. Masa pensiun dimanfaatkan untuk melatih anak-anak menari Bali. Namun, setelah pandemi Covid-19, kegiatan itu terhenti. Ia hanya merawat kostum busana tari miliknya.
Kini, kita kehilangan sosok seniman besar yang rendah hati itu. Selamat jalan, Pak Man Sujena, tarikanlah Bima hingga ke sorga. [T]
Reporter: Pan Amri
Penulis/Editor: Adnyana Ole