SEBAGAI anggota Bawaslu Provinsi Bali, bulan-bulan ini perempuan 54 tahun itu cukup sibuk. Apalagi ia dipercaya sebagai Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat. Tapi umur tak menjadi penghalang baginya untuk terjun langsung ke lapangan dalam menjalankan tugasnya.
Seminggu yang lalu, bersama jajaran Bawaslu Kabupaten Bangli, ia melakukan patroli pengawasan hak pilih. Patroli tersebut terfokus pada masyarakat di Desa Kintamani, Kabupaten Bangli, khususnya mendatangi pemilih (kelompok) rentan yang berpotensi terabaikan hak pilihnya dalam Pilkada serentak mendatang.
Kelompok rentan tersebut meliputi pemilih disabilitas, masyarakat adat, masyarakat yang tidak berdomisili sesuai dengan KTP, serta masyarakat yang telah meninggal dunia namun masih masuk dalam daftar pemilih. Ia berkeliling di seluruh kabupaten-kota di Bali. Ialah Ketut Ariyani, perempuan tangguh yang juga sekaligus mantan Ketua Bawaslu Provinsi Bali periode 2018-2023.
“Ternyata masih banyak sekali penyandang disabilitas yang belum mendapat akses atau terfasilitasi dengan baik pada saat pelaksanaan Pilkada maupun Pemilu,” ujar Bu Tut, sebagaimana ia akrab dipanggil, Minggu (14/7/2024) siang di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja.
Ketut Ariyani dan jajaran Bawaslu Kabupaten Buleleng saat berkunjung ke Rumah Belajar Komunitas Mahima | Foto: Jaswanto
Pemahamannya tentang fokus yang wajib mendapat perhatian dari penyelenggara Pemilu atau Pilkada sangat luar biasa. Ketut Ariyani menegaskan bahwa hak politik para penyandang disabilitas dijamin oleh negara melalui UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.
Bertolak dari undang-undang tersebut, hak penyandang disabilitas dalam Pemilu meliputi memilih dan dipilih dalam jabatan publik, menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan, memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam Pemilu, membentuk, menjadi anggota, dan/atau pengurus organisasi masyarakat dan/atau partai politik.
Tak sampai di situ, penyandang disabilitas juga dijamin haknya dalam berperan serta secara aktif dalam sistem Pemilu pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya, memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan Pemilu, gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain dan memperoleh pendidikan politik.
Selain itu, terkait hak politik, penyandang disabilitas juga berhak pula untuk membentuk dan bergabung dalam organisasi penyandang disabilitas dan untuk mewakili penyandang disabilitas pada tingkat lokal, nasional, dan internasional. “Suara mereka itu sama dengan suara kita,” tutur Ariyani, tegas.
Ariyani menjelaskan bahwa patroli yang ia lakukan sesuai dengan surat instruksi Bawaslu RI Nomor 6235.1 Tahun 2024 tentang Patroli Pengawasan Kawal Hak Pilih dan Surat Edaran Bawaslu RI Nomor 89 Tahun 2024 tentang Pencegahan Pelanggaran dan Pengawasan Penyusunan Daftar Pemilih. Kegiatan patroli ini akan berlangsung hingga 27 November 2024 mendatang.
Pemilih Disabilitas di Bali
Pada Pemilu 2024 kemarin, Bawaslu Provinsi Bali mencatat sebanyak 15.979 pemilih penyandang disabilitas yang sudah terdaftar di Daftar Pemilih Sementara (DPS) yang tersebar di seluruh Provinsi Bali. Pemilih disabilitas fisik sebanyak 7.568 yang tersebar di 4.470 TPS; disabilitas intelektual sejumlah 649 pemilih yang tersebar di 606 TPS.
Sedangkan, disabilitas mental sejumlah 3.909 pemilih tersebar di 2.889 TPS; disabilitas sensorik wicara sejumlah 797 pemilih tersebar di 675 TPS; disabilitas sensorik rungu sejumlah 896 pemilih tersebar di 737 TPS; disabilitas sensorik netra sejumlah 1.508 tersebar di 1.323 TPS; dan disabilitas rungu wicara sejumlah 659 Tersebar di 534 TPS.
Namun, dari hasil pemadanan data yang diberikan oleh dinas sosial masing-masing kabupupaten/kota, jajaran Bawaslu se-Bali menemukan sebanyak 2.524 pemilih disabilitas yang berpotensi belum terdaftar dalam data pemilih pada Pemilu 2024.
Ketut Ariyani dan jajaran Bawaslu Kabupaten Buleleng saat berkunjung ke Rumah Belajar Komunitas Mahima | Foto: Jaswanto
“Di Bangli, misalnya, kami menemukan satu keluarga yang di dalamnya terdapat disabilitas, dan dia belum terdaftar. Padahal, saat kami temui, dia juga ingin ikut memilih,” ujar Ariyani menggebu-gebu.
Sementara itu, berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Bali, pada Pemilu 2024 tercatat 4.955 pemilih penyandang disabilitas mental di seluruh Bali. Di Kota Denpasar sendiri terdapat 358 pemilih ODGJ; sedangkan di Kabupaten Jembrana 457 orang.
Kabupaten Tabanan terdapat 702 orang; Kabupaten Badung 653 orang; Kabupaten Gianyar 760 orang; Kabupaten Klungkung 319 orang; Kabupaten Bangli 372 orang; Kabupaten Karangasem 631 orang, dan Kabupaten Buleleng sebanyak 703 orang.
Bagi penyandang disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), hanya beberapa orang yang memenuhi kriteria berikut yang dapat terlibat atau berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada, yakni ODGJ tidak permanen, atau bisa sembuh dengan pengobatan dan perawatan. ODGJ yang permanen atau tidak bisa sembuh tidak diperbolehkan ikut Pemilu karena dianggap tidak memiliki kemampuan untuk memilih secara rasional; dan ODGJ yang memiliki kartu tanda penduduk (KTP) dan terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Menurt Ketut Ariyani, hak pilih bagi penyandang disabilitas mental sejalan dengan UUD 1945, UU HAM, dan UU Pemilu, yang menjamin hak setiap warga negara untuk dipilih dan memilih. Hak pilih ini juga sesuai dengan UU Kesehatan yang mengatur bahwa penderita gangguan jiwa berhak mendapatkan perlindungan hukum dan kepastian hukum.
Kendala-Kendala
Namun, untuk mewujudkan kesetaraan hak bagi penyandang disabilitas dalam Pemilu atau Pilkada, tentu bukan pekerjaan yang mudah. Banyak hal yang harus dilakukan dan dibenahi. Tak hanya akses fasilitas-infrastruktur yang ramah disabilitas, tapi juga menyangkut informasi, atau metode sosialisasi keterlibatan.
“Di lapangan, pada saat proses pencoblosan, banyak kasus yang memprihatinkan. Misalnya, mereka yang tuna wicara—yang otomatis juga tidak bisa mendengar, saat mereka menggunakan hak pilihnya di TPS, sudah dipanggil beberapa kali, tapi tidak kunjung muncul. Padahal mereka sudah datang ke TPS,” terang Ariyani memberi gambaran bahwa petugas Pemilu kadang alpa terhadap soal-soal demikian.
Perempuan lulusan S2 ilmu hukum Universitas Ngurah Rai Denpasar itu juga mengatakan bahwa masih banyak TPS di Bali yang tidak ramah terhadap penyandang disabilitas. Misalnya bangunan berundak yang, tentu saja, sangat menyulitkan akses pemilih disabilitas.
Selain itu, pada saat terjun ke lapangan dalam rangka melakukan patroli pengawasan hak pilih di desa-desa, Ketut Ariyani membeberkan bahwa kadang kala pekerjaan itu ternyata lebih sulit dari yang ia bayangkan. Bersama jajarannya, tak sedikit tempat tinggal pemilih disabilitas yang gampang diakses. Tak jarang ia terpaksa harus berjalan kaki, menembus semak-belukar hanya untuk memastikan penyandang disabilitas tersebut mendapatkan haknya.
Ketut Ariyani dan jajaran Bawaslu Kabupaten Buleleng foto bersama tuan rumah Komunitas Mahima | Foto: Jaswanto
“Tak jarang pula saya kesulitan berkomunikasi dengan mereka. Saya menggunakan bahasa isyarat, pakai kode-kode, bahasa hati, dengan harapan mereka bisa mengerti apa yang saya sampaikan,” ujar Ariyani. Sedangkan tak sedikit penyandang disabilitas yang benar-benar tidak mau didatangi. Kata Ariyani banyak penyandang disabilitas yang marah-marah dan mengusir petugas Pemilu. “Dipikirnya mungkin kami mau menyuntik dia atau apalah,” lanjutnya sembari tersenyum.
Di suatu desa di Kabupaten Jembrana, Ariyani lupa nama desanya, pada saat mendatangi rumah penyandang disabilitas mental, ia nyaris terjatuh karena dikagetkan secara tiba-tiba oleh ODGJ tersebut. Ia dan timnya juga dikejar-kejar, mereka semua lari tunggang-langgang. “Saya langsung melompat keluar,” katanya sambil menertawakan diri sendiri.
Meski demikian, untuk Pilkada mendatang, Ariyani mengaku akan terus berusaha dalam memastikan pemilih disabilitas dapat berpartisipasi langsung dan mendapatkan haknya sebagai warga negara. “Selama periode ini, Bawaslu Bali akan terus berupaya melindungi hak pilih warga negara. Mengingat, data pemilih sangat dinamis,” beber perempuan asal Buleleng tersebut. Ia juga mengatakan sudah berkoordinasi dengan dinas sosial di seluruh kabupaten-kota di Bali.
Selain kaum disabilitas, sebagai seorang perempuan, Ketut Ariyani juga menaruh perhatian khusus kepada kaumnya. Ia mendorong perempuan—normal maupun penyandang disabilitas—untuk terlibat langsung dalam proses pemilihan, entah menjadi panitia penyelenggara atau cukup menggunakan hak pilihnya. Lebih-lebih ada perempuan yang mencalonkan diri untuk dipilih. Dan perempuan yang terpilih, kata Ariyani, harus mampu dan berani menyuarakan hak-hak perempuan sebagai warga negara.
“Perempuan juga harus mampu dan berani mengkritisi penyelenggaraan Pemilu atau Pilkada. Misalnya, TPS sudah ramah perempuan apa belum, sudah ramah terhadap ibu hamil apa belum, sudah aman dari hal-hal yang tidak diinginkan apa belum. Sehingga, Pemilu atau Pilkada dapat berjalan lancar sesuai dengan harapan kita bersama,” kata Ariyani tegas, sesaat sebelum berpamitan dengan tuan rumah Komunitas Mahima.[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole