KALI kedua saya berkunjung ke negara yang dulu dikenal dengan nama Negeri Siam ini. Setiap kunjungan saya memang selalu menemukan hal yang menarik. Dari alam, budaya, sampai kulinernya, hampir semua persis dan cocok. Setidaknya bagi saya yang orang Bali.
Saya tidak mengada-ada. Dari persembahan sebelum aktifitas dimulai, pohon diberi kain, dan banyak sekali tempat suci. Semuanya akan membuat siapa pun, terlebih orang Asia, jatuh hati pada negeri Gajah Putih ini.
Bagi saya, saat melakukan perjalanan, selalu menelisik hal-hal yang, siapa tahu, bisa menjadi bahan pengembangan, setidaknya untuk diri sendiri, syukur-syukur bisa lebih luas lagi, Thailand adalah negara yang tepat—termasuk perihal perkulineran.
Thailand memang dikenal sebagai surganya kuliner. Di setiap negara, bahkan di Indoneaia dan Bali sendiri, kuliner Thailand “Thai Food” ada banyak sekali—kuliner Thailand ada di mana-mana. Atau setidaknya hampir semua negara mengenal yang namanya “Pad Thai”—menu mie khas Thailand dengan daging dan biasanya isi kacang.
Hampir seminggu saya di Chiang Mai, lalu melakukan perjalanan ke Pai, dan kembali lagi ke Chiang Mai. Dan selama menjelajah Thailand, saya tidak pernah makan makanan yang sama, selalu berbeda-beda dan selalu sesuai dengan selera.
Di Thailand, Anda tinggal berkendara, mampir di warung pojokan atau ke pusat kuliner, ada ratusan menu makanan lokal di jalanan yang siap membuat lambung Anda kenyang—di sini semuanya serba terpusat, terintegrasi, tidak amburadul. Tinggal pilih, rasanya enak, dan harga sesuai dengan kantong pelancong. Untuk urusan kuliner atau sentra kuliner, sepertinya Bali harus banyak belajar dari Thailand.
Petang ini saya berkunjung ke Anusarn Night Market Chiang Mai. Dari Night Bazar, kuliner, souvenir, bersuka cita di dalamnya. Menariknya, tempat ini berada di tengah-tengah hotel bintang lima dan Cafe Hard Rock yang melegenda itu.
Sambil menikmati Papaya Thai Salad, Cayote (daun buah Jepang), serta air kelapa, saya membayangkan betapa susahnya mencari makan yang bervariasi di tempat-tempat wisata di Bali. Benar kata orang bilang, makanan yang paling enak adalah makanan di rumah, karena makanan di luar rumah sulit dan tidak ramah di kantong. Benar begitu, bukan?
Saya kembali membayangkan, jika seandainya seluruh kabupaten di Bali memiliki sentra kuliner yang hidup, dan itu memang menjadi tujuan pada saat melancong ke daerah tersebut, tentu saya akan senang.
Hal tersebut membuat pelancong senang dan tidak akan susah untuk mencari kuliner khas apa yang ada di daerah tersebut. Cukup datang ke pusat kuliner, makan-minum, beli souvenir, dan semua senang. Pedagang lokal senang, menu lokal menjadi berkelas tanpa harus dibawa ke hotel bintang lima.
Jadi, satu hal yang saya pelajari dari Thailand adalah, kalau mau yang lokal maju, jangan dijauhkan dari yang besar, justru harus didekatkan biar tambah besar. Pedagang makanan yang kecil, misalnya, harus didekatkan dengan market yang besar, bukan malah menjauhkannya.[T]