PENJAHAT Siber sudah tidak asing lagi di telinga kita. Setiap hari, laporan kejahatan di dunia maya terus berkembang dengan pesat, seiring dengan semakin canggihnya teknologi. Kita tahu bahwa internet telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, membuka peluang besar tidak hanya bagi individu dan bisnis, tetapi juga bagi pelaku kejahatan. Sehingga, kemampuan untuk memahami dan menggunakan teknologi informasi secara efektif sangatlah penting.
Literasi digital dimaknai sebagai kemampuan untuk menggunakan, mengevaluasi, dan berpartisipasi dalam dunia digital dengan bijaksana. Literasi digital melibatkan pemahaman tentang berbagai aspek teknologi informasi, termasuk keterampilan komputer, pemahaman media sosial, keamanan online, dan kemampuan untuk mengevaluasi informasi yang ditemukan di internet.
Sedangkan AIDA merupakan penjabaran dari Attention, Interest, Desire, dan Action. Biasanya, teori ini digunakan dalam dunia pemasaran untuk menarik konsumen. Akan tetapi, teori ini kini dimanfaatkan oleh para penjahat dunia maya untuk menipu dari barang elektronik seperti HP dan laptop juga lainnya.
Mengatasi persoalan kejahatan online, maka menjadi keharusan untuk memiliki kemampuan dalam mengevaluasi informasi yang ditemukan secara online. Dengan banyaknya informasi yang tersedia di internet, kita harus selalu waspada dengan memiliki pertanyaan sederhana seperti “benar tidak ya?”, “ini akun asli atau akun palsu”.
Dalam era disinformasi dan berita palsu, kemampuan ini sangatlah berharga untuk menjaga diri kita dari kasus penipuan. Selain itu, kemampuan untuk menggunakan media sosial dengan cerdas juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari literasi digital. Media sosial telah menjadi platform yang memiliki andil besar dalam menganalisis preferensi pengguna dan tersimpan dalam algoritma pemograman.
Prinsip kerja algoritma pemograman ternyata sangat membantu pengguna media sosial dalam mengambil keputusan. Algoritma dapat digunakan dalam sistem rekomendasi untuk menentukan item atau konten yang paling relevan (sesuai dengan preferensi pengguna). Kondisi tersebut menjadi peluang bagi sekelompok orang yang berusaha untuk mempengaruhi seseorang agar mengambil tindakan.
Seperti penjelasan di awal, penting diingat bahwa penerapan teori AIDA telah mengalami penambahan aktor. Dengan banyaknya informasi dan cara kerja algoritma media sosial, menarik perhatian individu menjadi lebih mudah. Para pelaku kejahatan penipuan sangat terbantu saat menangkap calon korban dengan mempraktikkan teori AIDA.
Praktik Jahat AIDA
Bagi para penipu dalam bisnis jual-beli online, ketrampilan awal yang harus dikuasai adalah mampu menarik perhatian calon korban. Berdasar pada data algoritma pengguna media sosial, pelaku dapat memahami perilaku dan preferensi pengguna.
Pelaku melalui akun palsunya melakukan strategi pemasaran untuk menarik perhatian calon korban dengan mengirimkan pesan penawaran langsung melalui direct message. Setelah pengguna merespon pesan, artinya pelaku berhasil menarik perhatian.
Jika sudah terjalin komunikasi dua arah yang nyaman, maka minat individu mulai dibangkitkan dengan penawaran diskon. Pelaku mengkomunikasikan manfaat yang ditawarkan dengan jelas, rinci dan runut. Langkah selanjutnya, penipu hanya perlu membangkitkan keinginan dari individu untuk membeli produk.
Caranya dengan menggunakan testimoni pelanggan, ulasan positif, atau bahkan promosi khusus untuk memperkuat keinginan. Penting untuk dicatat bahwa pelaku akan memberikan link nomor whatsapp dalam upaya mempermudah proses transaksi. Sehingga kepercayaan calon korban terus meningkat, merasa sangat yakin dan terdorong untuk mengambil tindakan.
Jurus pemungkasnya yakni memotivasi pengguna untuk mengambil tindakan. Desakan pelaku melalui chat pesan whatsapp kepada pengguna untuk segera melakukan transaksi agar diskon masih berlaku pasti dilakukan. Pengguna terus diingatkan pelaku tentang harga diskon yang mencapai separuh harga asli produk dan segera melakukan pembelian online.
Secara keseluruhan, literasi digital dan Teori AIDA menjadi dua konsep utama untuk dipahami sebagai hal dasar dalam menangkis kasus penipuan online. Taktik yang digunakan pelaku dan tingkat literasi pengguna menjadi ujung tombak agar penipuan jual-beli produk berbasis online tidak terjadi lagi.
Para pengguna media sosial diharuskan lebih mawas diri dengan mengingat bahwa tidak ada yang murah/gratis di dunia ini dan pasti ada resiko yang ditanggung. Namun begitu, manusia tetaplah manusia, kondisi psikologis dan kehebatan pelaku dalam implementasikan teori AIDA tetap saja berhasil menembus daya nalar.
Apakah kita target berikutnya? Semoga tidak! [T]