“TUNGGU sebentar, ya. Jro Bendesa masih ada rapat!” seru seorang petugas keamanan LPD Desa Pakraman Kepaon, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, kepada tim peneliti Mulawali Institute, Senin (17/7/2023) pagi. Hari itu, peneliti Mulawali Institute sedang menjalankan program dari Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XV Bali-NTB, yakni “Analisis Ekosistem Kebudayaan di Kota Denpasar”.
Program tersebut bertujuan untuk memetakan ekosistem—kreasi, manajemen dan produksi, distribusi, konsumsi, dan apresiasi—empat Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK), yakni Barong Ket, Gambuh, Joged Bumbung, dan Sanghyang Sengkrong, di Kota Denpasar. Penelitian ini juga diharapkan dapat menyusun rencana tindak lanjut atas ditetapkannya keempat OPK tersebut sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).
Setelah sempat mengobrol sebentar, petugas keamanan itu mengarahkan para peneliti ke sebuah ruangan ber-AC dekat aula di belakang ruang utama kantor LPD. Di sanalah mereka diminta untuk menunggu.
Seorang peneliti mengamati seisi ruangan. Sementara lainnya menyiapkan alat tulis, alat rekam suara, dan kamera DSLR untuk mendokumentasikan proses wawancara. Sesaat setelah alat-alat disiapkan, seorang laki-laki paruh baya berkacamata dan berbusana adat Bali serba putih memasuki ruangan pertemuan.
Sebelum duduk, dengan ramah lelaki itu menyapa dan menyalami satu per satu tamu yang hendak mewawancarainya. Ya, dialah Bendesa Adat Kepaon, Anak Agung Ketut Wirya, salah satu narasumber yang dinilai otoritatif dalam menjelaskan seluk-beluk kesenian Sanghyang Sengkrong.
Sanghyang Sengkrong merupakan salah satu dari sekian banyak tarian sakral di Bali. Seperti tarian Sanghyang yang lain, Sanghyang Sengkrong juga tergolong ke dalam tarian kerauhan (trance dance)—karena dalam pertunjukannya penari mengalami kesurupan.
Menurut Ketut Wirya, di Desa Adat Kepaon, tarian sakral tersebut sering juga disebut Ida Bhatara Mayun Sakti. “Ida Bhatara Mayun Sakti sangat kami sucikan dan kami puja di Pura Dalem Kepala Kepaon,” ujarnya.
Sanghyang Sengkrong hanya ditarikan atau dibawakan oleh seorang lelaki—yang rambutnya dibalut menggunakan kain putih—dengan keadaan tidak sadar (trance). Ketut Wirya menjelaskan, sebelum Tari Sanghyang Sengkrong dipentaskan, pihaknya harus melaksanakan pecaruan panca sata—semacam ritual mencari wangsit—untuk mencari penari terlebih dahulu.
Ya, tak sembarang orang boleh menarikannya. Hanya laki-laki yang berasal dari keturunan Krama Tuban yang dipilih berdasarkan prosesi ritual bernama nyanjan, yang bisa menarikan (mapajar) Sanghyang Sengkrong.
Kesakralan dan kemagisan Tari Sanghyang dapat dilihat pada saat penari mengalami trance, kerauhan, atau kerasukan. Pada saat seperti itu, penari Sanghyang Sengkrong akan menari-nari di atas bara api, memanjat bambu, menari di atas bambu, dan melakukan hal-hal di luar nalar manusia. Namun, yang aneh sekaligus spektakuler, penari tidak mengalami luka, terjatuh, atau terbakar.
Tetapi, yang perlu diingat, bagi masyarakat Adat Kepaon, Sanghyang Sengkrong bukan hanya sekadar soal debus, menendang api, atau kerasukan saja. Bukan! Lebih dari itu, Sanghyang Sengkrong adalah cara masyarakat Kepaon untuk menghubungkan diri dengan Tuhan, alam, dan keseharian masyarakat—dan itu semua sebagai bentuk bakti kepada Ida Bhatara Mayun Sakti.
Tari Sanghyang Sengkrong dipentaskan dengan menggunakan iringan kekidungan khusus dan kecak sebagai bagian rangkaian ritual. Mapajar dilakukan di lingkungan Pura Dalem Kepala Desa Adat Kepaon dengan durasi tarian yang berlangsung kurang lebih 2 jam.
“Tarian ini digelar 3 kali dalam setahun, tepatnya pada kajeng kliwon sasih kalima (bulan kelima), kajeng kliwon sasih kaenem (bulan ke enam), dan kajeng kliwon sasih kapitu (bulan ketujuh),” terang Ketut Wirya, sesaat setelah menjelaskan dua kelompok yang berperan penting dalam ritual Sanghyang Sengkrong, yakni Krama Samping (warga Pasek) dan Krama Tuban (warga Dalem Sri Kresna Kepakisan).
Krama Samping bertanggung jawab untuk mengabdikan diri, ngayah, mempersiapkan segala sarana dan prasarana upacara serta menjadi pelantun kidung Sanghyang Sengkrong. Sedangkan Krama Tuban, sebagaimana telah disinggung di atas, bertanggung jawab sebagai penari dan mengabdikan diri kepada Ida Bhatara Mayun Sakti.
Ekosistem Sanghyang Sengkrong
Mengenai ekosistem—yang terdiri dari kreasi, produksi, distribusi, konsumsi, dan apresiasi—Sanghyang Sengkrong di Desa Adat Kepaon, mengacu pada data penelitian Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XV dan Mulawali Institute, kesenian tersebut dinilai memiliki ekosistem yang cukup baik—walaupun masih ada beberapa persoalan di baliknya.
Tari Sanghyang Sengkrong sebagai kesenian sakral yang masih dilestarikan masyarakat, secara bentuk kreasi tidak banyak berubah. Sebab, sebagaimana penjelasan Ketut Wirya, bentuk pertunjukan Sanghyang ini sangat aksidental sekali. Artinya, dalam pengertian ini, sangat bergantung pada konteks prosesi ritualnya.
“Bentuk gerak tarian Sanghyang Sengkrong akan selalu menyesuaikan kondisi kerauhan yang dialami penarinya—yang penuh improvisasi. Sehingga, improvisasi gerak yang dilakukan penari Sanghyang dalam pertunjukan ritual tidak pernah tersusun dan terstruktur,” terang Wirya.
Dan, Wirya menambahkan, dari sisi kostum dan sarana prasarana pementasan juga masih tetap dipertahankan seperti aslinya, seperti dahulu kala, meski beberapa memang sudah pernah di restorasi, seperti gelungan (hiasan penutup kepala) dan kostum lainnya. Namun, secara konten pertunjukan yang sifatnya insidental tetap dipertahankan—mengikuti prosesi ritual pecaruan sasih kanem yang dilakukan di Pura Dalem Kepala Desa Kepaon.
Sebelum Tari Sanghyang Sengkrong dipentaskan di Pura Dalem Kepala, sebagaimana tarian sakral lainnya, kelompok yang bertanggung jawab—Krama Tuban dan Krama Samping—akan melakukan beberapa persiapan terlebih dahulu.
Tahap pertama (pra-produksi) menentukan penari, hari baik (waktu pementasan), pendelegasiaan sekaa (kelompok) yang akan bertugas, persiapan penari secara mandiri, penyiapan sarana upakara (sesajen), dan menyiapkan tempat pementasan.
“Nah, pada saat pelaksanaan (produksi), juga ada beberapa rangkaian ritual yang harus dilakukan, seperti ngias gelung, penyucian penari, nedunang gelung, masolah/mapajar, dan nyineb gelung (menyimpan gelungan),” terang Wirya.
Pada tahap ngias gelung, menurut Jro Mangku Ketut Merta, selaku penari Sanghyang Sengkrong Desa Adat Kepaon, dilakukan di jeroan Pura Dalem Kepala yang dilakukannya sendiri dan dibantu orang-orang Krama Samping. Prosesi ngias gelung dilakukan satu hari sebelum upacara puncak. Setelah itu, dilakukan ritual penyucian penari secara niskala melalui upacara pawintenan (penyucian).
“Setelah prosesi ini selesai, penari langsung menggunakan busana Tari Sanghyang Sengkrong dan bersiap untuk menyambut dan menggunakan gelungan. Pada ritual ini, gending kidung pamendak dan kidung nedunang gelung sudah dilantunkan. Setelah keduanya selesai dilantunkan, penari berdiri untuk mengambil posisi dalam keadaan setengah sadar—untuk menari (mapajar),” ungkap Jro Merta, di kediamannya di dekat Pura Dalem Kepala, Selasa (18/7/2023) siang.
Prosesi mapajar dilakukan sesuai dengan sesajen yang berjumlah 6 (enam) tandingan, sehingga penari melakukan tarian selama enam kali. Biasanya, pada saat penari Sanghyang Sengkrong sudah bergerak secara tidak sadar (trance), banyak rencang-rencang (teman atau pengawal) Ida Bhatara Mayun Sakti juga akan ikut tedun (turun) dan merasuki—“atau meminjam,” kata Merta—badan kasar dari krama yang terpilih secara langsung di tempat pementasan.
“Ritual terakhir pada tarian ini adalah nyineb gelung. Pada prosesi terakhir ini, gelungan kembali diletakan di tempat penyimpanannya melalui ritual penyineban dan ngewaliang taksu (pengembalian energi),” ujar Jro Merta.
Benar. Manajemen produksi kesenian Tari Sanghyang Sengkrong di Kepaon nyaris berjalan secara alami, apa adanya, dan tahapan-tahapan produksi mulai dari pemilihan penari, penembang, sampai pementasan pada sasih keenam sudah ada aturannya, pakemnya, dari dulu. Hal itu berkaitan dengan tujuan Tari Sanghyang Sengkrong yang sejak awal memang berfungsi untuk kebutuhan ritual (sakral), bukan pertunjukan hiburan semata (profan).
Oleh karena itu, segala keperluan produksi sudah diatur oleh desa adat, yang dipimpin oleh bendesa adat. Segala persiapan mulai dari nyanjan (ritual pemilihan penari) sampai pementasan difasilitasi oleh bendesa adat, yang saat ini dijabat Anak Agung Ketut Wirya. Tetapi, dalam hal menyiapkan teknis keperluan ritual, sebagaimana sudah disampai di awal, semua dilakukan oleh Krama Samping.
Tari Sanghyang Sengkrong sejauh ini hanya didistribusikan dalam bentuk pementasan langsung untuk upacara adat (sakral) di Pura Dalem Kepala Desa Adat Kepaon. Sejak dulu hingga sekarang kesenian ini tidak pernah dipentaskan atau didistribusikan untuk kepentingan hiburan (profan).
Anak Agung Ketut Wirya mengatakan tak berani mengotak-atik fungsi, peran, dan pakem Tari Sanghyang Sengkrong. Hal ini mengakibatkan hanya orang-orang Kepaon yang dapat menyaksikan pertunjukan Sanghyang Sengkrong. Bagi orang luar, harus berkunjung ke Pura Dalem Kepala jika ingin ikut menyaksikannya.
Sampai di sini, jika dilihat dari uraian di atas, ekosistem Sanghyang Sengkrong tampak baik-baik saja, tak ada kendala apa pun dalam pelestariannya. Namun, meski demikian, seperti halnya bentuk kesenian atau budaya lainnya, tari ini juga memiliki beberapa kelemahan dan tantangan yang perlu diperhatikan.
Menurut hasil laporan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XV dan Mulawali Institute, masalah utama Tari Sanghyang Sengkrong adalah eksklusivitasnya—tarian ini hanya bisa diakses oleh kelompok tertentu atau dalam konteks upacara adat tertentu.
Dengan begitu, sebagai akibatnya, aksesibilitas dan penyebaran tari ini (mungkin) menjadi terbatas dan kurang dapat dinikmati masyarakat umum atau generasi muda yang tidak terlibat dalam tradisi sakral.
Tidak hanya itu, urusan regenerasi penari dan penembang juga penting diperhatikan. Mengingat, saat ini, usia penari dan penembang Sanghyang Sengkrong tak lagi muda. Meski sebenarnya, persoalan ini lebih rumit daripada yang dibayangkan. Pasalnya, urusan penari dan penembang tidak boleh sembarang orang. Masyarakat Kepaon percaya bahwa Ida Bhatara Mayun Sakti sendiri yang akan memilih penerusnya.
Kepercayaan Masyarakat Kepaon
Tari Sanghyang Sengkrong di Desa Adat Kepaon berbeda dengan yang ada di Desa Adat Padang Luwih, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Sanghyang Sengkrong di Padang Luwih umumnya ditarikan oleh penari perempuan.
Perempuan dalam konteks Sanghyang Sengkrong di Padang Luwih adalah simbol kesuburan, sedangkan laki-laki dalam konteks Sanghyang Sengkrong di Kepaon adalah simbol kekuatan. Perbandingan tersebut yang menjadikan Tari Sanghyang Sengkrong di Desa Adat Kepaon menjadi lebih eksklusif.
Tak hanya persoalan penari, perbedaan antara Sanghyang di Padang Luwih dengan Kepaon juga terletak pada iringan (tembang) tarian, kostum (termasuk gelungan), ritual, tempat dan waktu pertunjukan, fungsi, hingga kepercayaan masyarakat atasnya.
Sanghyang Sengkrong di Desa Adat Kepaon dipercaya sebagai Ida Bhatara Mayun Sakti. Kepercayaan turun-temurun ini tidak terlepas dari asal-muasal tarian tersebut. Dikisahkan, dulu, wilayah Kepaon dan sekitarnya sedang dilanda pagebluk, kabrabahan, wabah penyakit, dan hama tanaman di sawah.
Mengenail hal tersebut, sang Raja Badung yang berkuasa saat itu, yaitu Ida Bhatara Maharaja Sakti alias Kyai Anglurah Pemecutan atau Ida Cokorda Pemecutan III, melakukan tapa brata yoga semadi di Pura Dalem Kepala (lingga putra dari Ida Bhatara di Pura Sakenan). Dari semadinya, sang raja mendapat wangsit atau wahyu untuk membuat kreasi Sanghyang yang nantinya akan ditarikan di pura tersebut.
Ketika akan membuat tarian Sanghyang, sang raja melihat rakyat buangan dari Klungkung. Mereka adalah korban perang yang dinggal di Tuban—yang dulunya hutan belantara. Sebagai seorang raja yang berhati lembut, Ida Cokorda Pemecutan mengizinkan mereka untuk tinggal di wilayah sekitar pura dengan syarat harus nyineb wangsa—menghilangkan asal-usul wangsa, kasta, atau catur warna pada golongan tertentu.
Tak hanya itu, untuk bisa tinggal di wilayah pura, orang-orang korban perang itu juga diberikan tugas untuk ngaturang ngayah—mengabdikan diri—di Pura Dalem Kepala sebagai penari Sanghyang tersebut. Sedangkan penembang sekaligus kelompok yang menyiapkan seluruh rangkaian acara, raja meminta atau memerintahkan golongan Krama Samping yang berjumlah 16 kepala keluarga sebagai pengayah.
“Setelah tarian itu dibuat dan dipentaskan di Pura Dalem Kepaon, seluruh hama dan bhuta kala kembali menjadi energi positif yang memberi keselamatan untuk pertanian dan masyarakat Desa Kepaon. Sejak itu, tarian ini dipercaya sebagai bhatara (yang dipuja) di Pura Dalem Kepala sebagai Tari Sanghyang Sengkrong,” terang Ketut Wirya, memungkasi ceritanya.
Sanghyang Sengkrong, sebagaimana tarian Sanghyang lainnya, dipercaya sebagai tari upacara untuk memohon keselamatan (menolak bala) bagi masyarakat setempat. Sebagai sebuah tari upacara, Sanghyang memiliki konsep pertunjukan yang bersifat sakral (wali). Hal itu dapat dilihat dari bentuk pertunjukan, konteks, lokasi, waktu, pelaku, proses pertunjukan, dan lain sebagainya—yang keseluruhannya itu dimaknai sebagai sebuah ritual.
Sanghyang erat kaitannya dengan masyarakat agraris di Bali. Kemunculannya dikaitkan dengan hasil panen para petani. Dalam laporan hasil penelitian Mulawali Institute, bahwa fungsi Sanghyang bagi masyarakat Bali—khususnya Desa Adat Kepaon—dianggap sebagai ritual, selain menolak bala, juga mencegah hama pertanian seperti wereng, walang sangit, burung, dll.
Namun, seiring perubahan kondisi sosial-masyarakat Desa Adat Kepaon, dari masyarakat agraris menjadi masyarakat urban dan industrial, menurut Anak Agung Ketut Wirya, fungsi Tari Sanghyang Sengkrong sudah disesuaikan. “Sanghyang Sengkrong hari ini berperan atau berfungsi untuk membangun ketenangan jiwa masyarakat,” ujarnya.
Sebagaimana kesenian Bali pada umumnya, Sanghyang Sengkrong juga memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Kepaon. Posisi kesenian di masyarakat dapat beragam, tergantung pada budaya, tradisi, dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh suatu komunitas di mana kesenian tersebut berada.
Begitu pula kesenian Sanghyang Sengkrong Desa Kepaon, yang diposisikan dan dipercaya sebagai kesenian yang pingit, tengat—yang memiliki kekhususan secara niskala; karenanya tidak boleh dipentaskan di sembarang tempat. Bahkan, penarinya harus dipilih berdasarkan ritual khusus bernama nyanjan.
“Masyarakat Kepaon percaya bahwa tarian Sanghyang Sengkrong dapat dijadikan sarana pelindung (atau yang melindungi) dan dapat menyembuhkan segala bentuk gering (penyakit),” terang Ketut Wirya.
Posisi kesenian dalam masyarakat dapat bervariasi dari satu komunitas ke komunitas lainnya. Namun, pada umumnya, kesenian dihargai karena perannya dalam memperkaya budaya, membentuk identitas, memberikan hiburan, mendidik, dan menginspirasi individu serta memfasilitasi dialog budaya antaranggota masyarakat.
Dan masyarakat adat Kepaon, alih-alih menjadikan Sanghyang Sengkrong sebagai sekadar hiburan pariwisata, justru malah menjadikan dan mengukuhkannya sebagai ritual sakral yang tenget, keramat, tak bisa diotak-atik menjadi sesuatu yang profan.
Kepercayaan mereka atas Sanghyang Sengkrong sama besarnya dengan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Dan itulah iman—membuat yang muskil, yang keras, yang suci, dan juga yang kejam, dijalani. Dan ini adalah bentuk kekuatan dalam menjaga kesenian tersebut tetap lestari. Selama masyarakat Kepaon masih memiliki kepercayaan atasnya, selama itu juga Sanghyang Sengkrong akan tetap ada. Selamanya.[T]
Baca juga artikel terkait LIPUTAN KHUSUS atau tulisan menarik lainnya JASWANTO
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole