DI Sekaa Barong Eka Budhi, tempat di mana Tari Barong dan Keris (orang Barat menyebutnya Barong and Keris Dance) biasa dipentaskan di Desa Adat Kesiman, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar, pagi itu terlihat ramai pengunjung—yang nyaris semuanya berasal dari luar negeri (turis, bule).
Beberapa pengunjung berhenti sejenak, terpaku sambil mengedarkan pandangan, menelisik semua yang bisa ditangkap mata, sebelum memasuki area panggung pementasan. Lainnya, tampaknya tak terlalu peduli dengan suasana sekitar, itu terlihat dari sikap cuek, acuh-tak acuh yang mereka tunjukkan.
Padahal, pertunjukan Barong and Keris Dance baru akan dimulai sekitar setengah jam lagi; tapi pengunjung sudah memadati tempat duduk yang telah disediakan. Sementara itu, di belakang panggung (backstage) di samping kamar mandi, para pemain sedang mempersiapkan diri. Ada yang berhias, tak sedikit yang terlihat cemas, sedang lainnya tak menunjukkan ekspresi apa-apa.
Sebelum gending pembuka dimainkan, enam pengunjung lokal terlihat memasuki area pertunjukkan dan menempati tempat duduk yang masih kosong. Mereka adalah peneliti dari Mulawali Institute dan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XV Bali-NTB yang sedang melakukan penelitian terkait ekosistem kebudayaan Barong Ket Kunti Sraya di Kota Denpasar.
Panggung Pementasan Barong di Sekaa Eka Budhi Denpasar | Foto: Jaswanto
Tak lama setelah itu, pertunjukan Barong and Keris Dance di Sekaa Barong Eka Budhi dimulai. Hal itu ditandai dengan dimainkannya gending pembuka oleh para penabuh gamelan Semar Pagulingan yang menjadi musik iringan pertunjukan tersebut.
Perpaduan suara terompong, gender, gangsa, kendang, kajar, rebab, suling, dan beberapa alat musik tradisional Bali lainnya, menciptakan harmoni yang sulit digambarkan, yang seolah menyita perhatian, decak-kagum, para penonton.
Pertunjukan dibuka dengan adegan Barong Ket dan seekor kera sedang berada di dalam hutan yang lebat, kemudian datang tiga orang bertopeng yang sedang membuat keributan dan merusak ketenangan hutan. Tiga orang itu bertemu dengan kera dan akhirnya berkelahi. Si kera dapat menggigit hidung salah seorang dari mereka hingga putus.
Selanjutnya, dua orang penari muncul. Diceritakan, dua penari tersebut adalah pengikut Rangda yang sedang mencari pengikut-pengikut Dewi Kunti dalam perjalanan menemui patihnya. Singkat cerita, dalam gerakan teatrikal, sekelompok pria yang membawa keris mengeroyok sesosok makhluk berwajah menyeramkan—dengan rambut panjang—di tangga gapura di atas panggung.
Suasana mendadak mencekam. Gamelan dimainkan dalam tempo cepat dan meninggi menambah intensitas ketegangan menuju puncak pertunjukan Tari Barong dan Keris di Sekaa Barong Eka Budhi, yang dibalut pertempuran antara kebaikan dan kejahatan.
Sosok menyeramkan itu mengibaskan kain putih yang dibawanya. Lima lelaki bertelanjang dada dengan keris terhunus itu pun berteriak. Bukannya kembali mengeroyok Rangda, sosok menyeramkan itu, sekelompok pria bersenjata keris tersebut justru menusukkan keris ke dada mereka.
“Pertunjukan Barong di Eka Budhi rutin digelar setiap hari (reguler), kecuali hari libur Nyepi. Dan ini hanya untuk wisatawan asing saja,” ujar Ida Bagus Pudjana, pemilik Sekaa Barong Eka Budhi, saat ditemui di kantornya di Kesiman, Minggu (23/7/2023) pagi.
Tari Barong, terutama Barong Ket, adalah salah satu kesenian yang sangat populer di kalangan masyarakat Bali—bahkan banyak orang menjadikannya maskot/simbol/lambang khas Bali. Tarian ini terdapat hampir di semua desa di Bali, terutama di Bali Selatan.
Setiap desa memiliki ritus yang sedikit berbeda antara satu dengan yang lain sesuai prinsip desa (tempat), kala (waktu), dan patra-nya (peristiwa) sendiri-sendiri. Pada 2 Desember 2015 lalu, bersama delapan tari tradisi Bali lainnya, Barong Ket ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Dunia berdasarkan hasil sidang UNESCO di Namibia, Afrika.
Perkembangan Barong Ket selalu dipengaruhi oleh perubahan zaman, konteks budaya, dan kreativitas para seniman. Sedangkan perkembangan Barong Ket di Denpasar secara bentuk tidak terlalu banyak berubah. Hal tersebut disampaikan oleh I Gede Radiana Putra, salah satu pelaku kesenian Barong Ket Denpasar.
Menurut Radiana Putra, perubahan terjadi sangat halus dan hanya dapat dilihat dari pangus, tekek, tekes, lengkap, rapi, dan hidup. Sehingga, secara mendasar, perkembangan bentuk Barong Ket di Denpasar hanya dapat dilihat pada ranah stilisasi (penghiasan bentuk secara ornamentik) gerak tariannya.
“Stilisasi gerak Barong Ket sengaja dilakukan untuk memberi peluang kreatif bagi seniman, mengisi ruang dalam rangka memperindah, dengan berpijak pada indikator pangus, tekek, tekes, lengkap, rapi, dan hidup,” jelas Radiana.
Bentuk Barong merupakan hasil perpaduan antara tubuh fisik singa, macan, sapi, dan naga. Badan binatang dalam Tari Barong dihiasi oleh kulit yang diukir dengan ratusan kaca cermin berukuran kecil. Kaca-kaca tersebut terlihat seperti permata saat tertimpa cahaya.
Barong Ket sebagai objek material kreativitas seniman tentu tidak hanya memberi ruang perkembangan atau perubahan pada konteks geraknya saja, namun materi-materi lain tentu telah dieksplorasi. Beberapa perkembangan bentuk Tari Barong yang mungkin terjadi sejak itu antara lain: eksplorasi cerita dan interpretasi baru, artistik atau kostum Barong, dan bentuk iringan Barong Ket.
Di Kota Denpasar, Barong Ket Kunti Sraya merupakan lakon pertunjukan yang paling umum—untuk tidak mengatakan pasaran—dipertunjukan. Gede Radiana Putra mengatakan tidak mengetahui mengapa di Denpasar Barong Kunti Sraya menjadi begitu familiar. Namun, ia meyakini, kondisi ini merupakan pengaruh dari pelaku (seniman) sendiri yang bersumber dari guru atau pelatih yang sama.
“Kondisi kreasi yang kemudian menjadi menarik dalam pertunjukan Barong Kunti Sraya adalah bentuk iringan tarinya. Pertunjukan Barong Ket Kunti Sraya selalu menggunakan live music. Live music yang dimaksud di sini adalah iringan Tari Barong Ket yang selalu dipertunjukan secara langsung dalam satu panggung dengan tarian-tarian lainnya,” kata Putra.
Melihat posisi bentuk gerak tari yang situasional dan sangat eksploratif (nyaris tidak dibakukan) membuat bentuk iringan Tari Barong Ket juga harus paham dengan struktur lengkap dan harus peka terhadap perubahan yang selalu terjadi—iringan mengikuti keinginan penari. Ruang insidental pada konteks musik iringan Tari Barong Ket Kunti Sraya ini merupakan bentuk perubahan yang sering terjadi secara bentuk dan struktur.
Pertarungan antara Pengikut Sahadewa dengan Rangda dan Atraksi Tari Keris Sekaa Barong Eka Budhi | Foto: Jaswanto
Sedangkan perkembangan dari unsur bentuk dan cerita merupakan efek yang didasari atas adanya fenomena sosio-kultural di masyarakat, khususnya di Denpasar. Masyarakat Denpasar merupakan interpretasi masyarakat kontemporer-modern, terbuka, dan peka terhadap perkembangan teknologi. Sehingga dapat dipahami, tiga identitas sosio-kultural ini juga menjadi faktor terjadi perkembangan bentuk Barong Ket Kunti Sraya dari dulu hingga sekarang.
Beberapa penampilan Tari Barong Ket (mungkin) telah menggabungkan unsur-unsur kontemporer dalam pertunjukannya—untuk mencerminkan tema yang lebih relevan dengan masyarakat modern. Misalnya, musik atau elemen visual yang lebih modern dapat diintegrasikan ke dalam pertunjukan tanpa mengurangi esensi tari tradisional tersebut. Begitu pula isu-isu kontemporer yang bisa saja diselipkan dalam lawakan pada bagian bebondresan (pertunjukan yang mengutamakan lawakan dan berharap dapat menghibur penonton).
Eksplorasi cerita dan interpretasi baru sebagai ruang yang kompleks dan fleksibel dalam perkembangan Tari Barong Ket selalu semarak oleh kondisi kreasi. Eksplorasi lebih lanjut tentang cerita yang digunakan dalam pertunjukan Tari Barong Ket tentu terus berkembang. Para seniman mungkin telah mengambil sudut pandang baru atau menafsirkan cerita klasik dengan cara berbeda untuk memberikan pengalaman baru bagi penonton.
Perkembangan dan upaya kreasi yang dimaksud, khususnya dalam pertunjukan Barong Kunti Sraya, antara lain terdapat unsur pendukung seperti kostum yang digunakan para pemainnya, misalnya. Pada bagian adegan bebondresan yang sangat kondisional memberi peluang bagi seniman untuk membuat sebuah kreasi khusus pada kostum yang dikenakan.
Hal tersebut dilakukan pada pertunjukan Barong Kunti Sraya di Sekaa Barong Eka Budhi. Di sana, ekor kostum celeng jika dilipat di selangkangan kaki penarinya dan diarahkan ke depan, ekor itu akan berubah warna menjadi merah. Membangun unsur komedi merupakan olah kreatif seniman melalui bentuk eksploratif pada ranah kostum dan artistik.
Masyarakat Denpasar sebagai masyarakat urban yang terbuka dan peka akan perkembangan teknologi tentu sangat berkaitan dengan pengaruh pariwisata dan globalisasi. Pertunjukan Barong Ket Kunti Sraya dalam konteks budaya dan pariwisata telah menjadi daya tarik wisata yang kuat di Pulau Bali, khususnya Denpasar.
Pertunjukan Tari Barong Ket Kunti Sraya ini sering kali dipersembahkan sebagai pertunjukan untuk para wisatawan, baik dalam acara kesenian maupun sebagai bagian dari acara budaya. Dalam beberapa kasus, pertunjukan ini mungkin telah disesuaikan dengan preferensi dan harapan para wisatawan.
Yang Sakral dan yang Profan
Barong, dalam sejarah kebudayaan masyarakat Hindu Bali, awalnya dipercaya sebagai bentuk perwujudan dari raja para roh yang melindungi masyarakat Bali dari segala bahaya dan penyakit yang disebabkan oleh roh-roh jahat yang dipimpin Rangda.
I Wayan Dibia dan Rucina Ballinger—dalam buku yang berjudul “Balinese Dance, Drama & Music: A Guide to the Performing Arts of Bali” (2004)—menjelaskan bahwa sosok Barong Ket adalah sosok pelindung bagi penduduk Bali. Barong yang menyerupai binatang singa ini bukan hanya dianggap sebagai penghibur saja, tetapi juga dianggap sebagai tarian suci yang dapat membawa berkah dan dapat menyembuhkan penyakit.
Dalam buku tersebut, juga dijelaskan bahwa asal mula terbentuknya sosok Barong Ket seperti sekarang tak terlepas dari sosok Barongsai dari Cina yang masuk ke Bali—Dibia meyakini bahwa bentuk Barong terinspirasi dari sosok Barongsai.
Sebagai sebuah mitologi, masyarakat Bali percaya bahwa Barong dapat menghalau wabah penyakit, seperti di Banjar Kebon, Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, misalnya. Masyarakat Singapadu mempunyai sungsungan Barong yang dapat mengeluarkan minyak dari matanya. Minyak tersebut dipercaya dan dipakai untuk menyembuhkan penyakit kudis yang menyerang anak-anak di kampung.
I Gede Dana Suwandita memperagakan dasar-dasar gerak Tari Barong | Foto: Jaswanto
Tak hanya di Singapadu, di Banjar Tatasan, Desa Adat Tonja, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar, juga mempunyai sungsungan Barong yang dapat mengeluarkan minyak dari surai rambutnya. Bahkan, di Desa Sedang, Abiansemal, Badung, Barong pernah diarak ke sawah-sawah—karena diyakini dapat membantu mengatasi hama tikus yang menyerang para petani di sana.
“Barong di desa kami adalah barong sakral, hanya dipentaskan empat kali dalam setahun di pura saja. Dari surai atau jenggotnya itu dapat mengeluarkan minyak yang dipercaya warga sebagai obat penyakit,” ujar I Wayan Nonok, pelatih Barong Tatasan, Minggu (23/7/2023) siang.
Sedangkan pada waktu-waktu tertentu, seperti Galungan dan Kuningan, di beberapa desa di Bali, Barong biasanya diarak keliling desa. Masyarakat Bali menyebutnya dengan istilah ngelawang. Hal ini diyakini dapat menjaga desa dari kekuatan-kekuatan jahat yang tidak diinginkan.
Contoh-contoh di atas menandakan bahwa Barong didudukkan sebagai sesuatu yang sakral (bebali), yang mempunyai kekuatan magis sebagai pelindung masyarakat. Namun, seiring berjalannya waktu, Barong tak hanya dipentaskan sebagai ritual sakral atau dianggap pelindung semata. Lebih daripada itu, Barong telah menjadi hiburan (balih-balihan) dan objek industri pariwisata yang menarik minat wisatawan, baik di dalam maupun luar negeri, untuk datang dan menyaksikannya.
Perkembangan pemanfaatan Tari Barong Ket menjadi pertunjukan hiburan dalam industri pariwisata tampak jelas dilakukan Sekaa Barong Eka Budhi Kesiman. Sejak 1990, sekaa yang dipimpin oleh Ida Bagus Raka Pudjana—atau yang lebih akrab dipanggil Komang Apel—itu mementaskan Tari Barong Ket di depan wisatawan asing dengan membuat sistem tiket dan menambahkan beberapa kreasi baru—untuk menarik minat wisatawan.
Sementara itu, perbandingan kreasi Tari Barong Ket Kunti Sraya di Denpasar dalam konteks sakral dan profan, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan. Hanya saja, Barong Ket sakral tentu mendapat perlakuan lebih khusus dalam pertunjukannya daripada yang profan.
Bentuk perlakuan khusus yang dimaksud dapat ditemukan dari proses persiapan, pementasan, hingga pasca pementasan. Mengenai hal tersebut, keterlibatan pemangku, banten, dan tirta dalam pertunjukan Barong Ket sakral dan profan agak sedikit berbeda. Selain itu, penyikapan lain dalam konteks sakral adalah adanya kondisi trance (kerauhan) yang dialami oleh beberapa penari.
Kondisi kerauhan biasanya dipercaya atas penggunaan Barong sebagai simbol atau representasi dari sesuhunan atau yang disembah di pura. Sehingga, beberapa pelaku seperti penari Barong, Rangda, Celuluk, dan penari Keris, biasanya benar-benar dipercaya berada dalam kondisi kerauhan.
Pertunjukan Barong Ket dalam konteks sakral dan konteks profan, menurut I Gede Radiana Putra, selalu mendapatkan perhatian dan perlakuan istimewa bagi penarinya. Radiana mengatakan, jika seorang penari pernah mengikuti lomba “Bapang Barong” atau menarikan Barong memiliki nilai prestise tersendiri.
“Menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi penari jika sudah pernah mengikuti sebuah lomba, apalagi kalau dapat juara. Sehingga dalam konteks profan, menjadi penari Barong Ket adalah sebuah kebanggaan bagi pelakunya,” ujarnya.
Penari Barong Ket dalam konteks sakral di Bali memperoleh posisi yang istimewa dalam setiap upacara adat. Seorang penari yang dianggap mampu menarikan sesuhunan Barong Ket dianggap memiliki kelebihan khusus. Sehingga menjadi kebanggaan tersendiri bagi penari Barong Ket jika diberikan kesempatan untuk ngaturang ngayah atau menari di pura.
Bentuk-bentuk penghargaan yang diberikan masyarakat kepada penari Barong yang ngaturang ngayah dapat dilihat dari sebelum upacara, misalnya ketika meminta penari untuk ngayah, sambutan ketika penari datang ke upacara, sampai saat penari di tempat upacara berlangsung dan setelah penari ngaturang ngayah dalam upacara.
Radiana juga mengatakan, bahwa perlakuan khusus tersebut, diimplementasikan dalam bentuk tata krama penyambutan, tempat khusus yang disediakan, tempat makan atau makanan yang disediakan, dan bentuk perlakuan khusus lainnya. Perlakuan-perlakuan khusus semacam itu nyaris tidak didapatkan atau tidak ditemukan dalam pementasan Barong profan (budaya massa).
Dalam industri hiburan pariwisata, pendistribusian Tari Barong Ket biasanya didistribusikan dengan cara tidak langsung. Distribusi tidak langsung adalah aktivitas distribusi atau penyaluran barang dan jasa dari produsen melalui pihak-pihak lain atau badan penghubung, misalnya agen, broker, kios, atau penjual asongan. Dalam konteks hiburan Tari Barong Ket, pihak ketiga biasa disebut agen travel atau guide—dari perusahaan maupun mandiri.
Agen travel atau guide memiliki posisi cukup penting dalam distribusi Tari Barong Ket. Mengingat, mereka bisa dikatakan sebagai ujung tombak dalam proses marketing distribusi, seperti yang terjadi di Sekaa Eka Budhi. Sekaa yang beralamat di Jl. Waribang No.11, Kesiman, Kecamatan Denpasar Timur itu melakukan promosi di luar negeri melalui travel agent. Selain itu, Sekaa Eka Budhi juga melakukan promosi melalui media sosial mereka dan menyebarkan informasi kepada komunitas tour guide.
Sahadewa melawan Rangda dalam pementasan Tari Barong dan Keris di Sekaa Barong Eka Budhi | Foto: Jaswanto
Sampai sejauh ini, kesenian Tari Barong Ket di Denpasar didistribusikan di tiga tempat dengan tujuan yang berbeda-beda. Tempat pertama di pura, yang mementaskan Barong Ket untuk ritual sakral (odalan) dengan sistem ngayah (gotong royong); kedua, di panggung pementasan sanggar dan hotel untuk kepentingan pementasan hiburan pariwisata (balih-balihan); dan ketiga, di panggung perlombaan atau festival—salah satu kegiatan yang memotivasi generasi muda Denpasar untuk belajar Tari Barong Ket.
Berdasarkan hasil wawancara dengan I Gede Radiana Putra, sesuhunan Barong (sakral) di Denpasar hanya ada di sejebag banjar di Kesiman, Tatasan, Panjer, dan paling banyak ada di Sanur. Sedangkan menurut I Gede Dana Suwandita, bapang (atau penari) Barong Ket dari Banjar Tatasan, Desa Adat Tonja, pendistribusian Tari Barong Ket sakral dalam satu bulan rata-rata pentas sebanyak 3 kali untuk ngayah odalan di pura.
“Sedangkan, Tari Barong Ket dalam industri pariwisata (hiburan) pentas setiap hari, seperti yang dilakukan Sanggar Eka Budhi di Kesiman,” lanjutnya.
Sementara itu, sesuai dengan kajian Analisis Ekosistem Barong Ket (2023) Mulawali Institute dan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XV dan hasil wawancara dengan beberapa narasumber, sanggar dan sekaa yang mementaskan Barong Ket di Denpasar untuk hiburan industri pariwisata (balih-balihan), antara lain: Sekaa Eka Budhi (dulu bernama Catur Eka Budhi yang berdiri sejak tahun 1990); Barong Tanah Kilap Sari Wisata Budaya; Barong Dance Uma Dewi; Sekaa Barong Gita Widya Kencana (di Kelurahan Padang Sambian, Denpasar Barat); dan Sekaa Barong Candra Geni Tatasan (berdiri di Kelurahan Tonja, Denpasar Utara).
Beberapa sanggar atau sekaa mementaskan Tari Barong Ket di kalangan masing-masing dan beberapa pentas di hotel di sekitar Denpasar. Di zaman perdagangan seperti sekarang, seniman dituntut memasarkan diri dan keseniannya, sebagai komoditi yang asyik.
Selain didistribusikan di pura dan kalangan sanggar, Tari Barong Ket juga didistribusikan di perlombaan/festival “Bapang Barong” yang sering diadakan di Bali. Dua di antaranya sering diadakan di Dharma Negara Alaya dan di Pesta Kesenian Bali (PKB) yang diselenggarakan setiap tahun.
Penyeragaman Cerita
Barong Ket Kunti Sraya sebagai satu varian pertunjukan yang paling populer di Denpasar tidak lepas dari pengaruh dan perbedaan Barong Ket lain di Denpasar. Barong Ket Kunti Sraya adalah pertunjukan Barong Ket atau Ketet yang menggunakan alur pembabakan cerita dari kisah Kunti Sraya. Sehingga, secara identitas, Barong Kunti Sraya melekat pada konteks cerita Tari Barong di Denpasar.
Pertunjukan Barong di Denpasar, jika dilihat konteks perbandingannya, baik dalam konteks sakral maupun profan, hanya mengenal satu cerita, yaitu lakon Barong Ket Kunti Sraya. Hal tersebut disampaikan Wayan Gede Ary Mayun, pengiring musik Tari Barong Ket.
“Juga tidak ada perbedaan secara cerita antara pertunjukan Barong Ket yang ada di Denpasar dan daerah lain,” ujarnya. Ia menekankan bahwa struktur cerita pada pertunjukan Tari Barong Ket telah menjalani proses penyeragaman di masa lalu.
Pertunjukan Barong Kunti Sraya sebagai lakon populer di Denpasar tidak dapat memberi perbandingan secara signifikan dalam konteks cerita yang digunakan. Namun, I Gede Radiana Putra menyatakan, yang menjadi pembeda dari bentuk-bentuk Barong Kunti Sraya terletak pada alur pembabakan yang tidak baku. Sehingga, dapat dikatakan, walaupun bersumber dari cerita yang sama, namun sifatnya masih dapat dikreasikan mengikuti konsep pertunjukan.
“Pemadatan cerita dan penambahan adegan yang sifatnya eksploratif hadir di Barong Ket Kunti Sraya di Denpasar. Sebagai contoh, pada bagian bebondresan—dengan identitas suasana kerakyatan—biasanya sering kali dimasukkan adegan-adegan yang lebih bebas yang sifatnya komedi maupun teatrikal untuk lebih menghidupkan pertunjukan secara utuh,” jelas Radiana.
Dari situ dapat disimpulkan bahwa Barong Kunti Sraya tidak memiliki perbedaan secara konteks cerita yang dibawakan, namun perbedaan terletak pada bentuk dan struktur adegan yang dikreasikan mengikuti konteks pertunjukan secara utuh.
Pada titik ini, permasalahan krusial dalam kondisi kreasi Tari Barong Ket yang ada di Denpasar secara holistik mengerucut pada satu permasalahan pokok, yaitu wacana. Wacana sebagai ide dan gagasan kelahiran Barong Ket merupakan identitas kultural yang melekat pada masyarakat tertentu.
Namun, pada perkembangannya di Denpasar saat ini, pelan-pelan wacana identitas kultural itu mulai buram. Wacana Barong Ket sebagai identitas kultural akhirnya lenyap-meresap pada satu persepsi wacana identitas yang seragam, yaitu wacana Barong Ket Kunti Sraya.
Penyeragaman kondisi kreasi ini merujuk pada terjadinya upaya untuk menciptakan keseragaman atau standar dalam kreativitas dan ekspresi seni Barong Ket dalam konteks profan di Denpasar. Sehingga, jika membahas kesenian Barong Ket dalam ranah kreasi cerita, tentu wacana yang muncul akhirnya Barong Ket identik dengan cerita Kunti Sraya.
Padahal, pada dasarnya, Barong Ket tidak pernah mengeksklusifkan diri pada wacana cerita Kunti Sraya saja; tapi lebih luwes dari itu, yang sesuai simbol atas identitas aslinya. Sebagai contoh, posisi kesenian Barong dalam konteks Calon Arang, misalnya. Tentu, Calon Arang merupakan wacana cerita yang digunakan. Sehingga dalam konteks ini, Barong Ket nyatanya dapat disesuaikan dengan wacana cerita tertentu, sekalipun simbol kemahakuasaan Tuhan tetap menjadi wacana yang melekat.
Akhirnya, pertunjukan Barong Ket Kunti Sraya akan kehilangan energi totalnya: hanya jadi cerita yang gampang ditebak; jadi dunia verbal yang itu-itu-lagi; jadi narasi yang kehilangan hening. Dan, seperti sabda Goenawan Mohamad, “klise pun tumbuh seperti benalu pada karya seni; ia mematikan daya cipta. Klise adalah hasil yang selalu siap mengikuti formula—gampang karena mengulang.”
Sepertinya memang sudah lama dunia kesenian tradisional tak digerakkan daya cipta. Kisah Mahabharata dan Ramayana berubah sekadar jadi potongan-potongan melodrama. Sedangkan kita tahu melodrama tak betah dengan kompleksitas kehidupan. Cerita-cerita itu hanya menempatkan para Kurawa sebagai pihak yang-jahat-dan-pasti-kalah, dan Pandawa pada posisi sebaliknya. Kesenian tradisional makin tak berdaya membangun sebuah tragedi.[T]
Baca juga artikel terkait LIPUTAN KHUSUS atau tulisan menarik lainnya JASWANTO
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole