— Catatan Harian 30 Juni 2024
SUATU hari saya memasuki sebuah ruangan khusus untuk meditasi pelatihan sāmaṇera dan sāmaṇerī (calon bhikkhu-dan bhikkhuni). Ruang khusus yang berisi tengkorak manusia utuh: Dari kepala sampai ujung kaki.
Tengkorak diletakkan di atas meja seperti altar. Terhampar. Di ruang sunyi di kaki pegunungan indah tanpa penghuni.
Sang bhikkhu senior yang menjadi membimbing pelatihan sāmaṇera dan sāmaṇerī memberikan penjelasan:
“Di sini para pelatihan sāmaṇera dan sāmaṇerī yang bertekad memasuki kehidupan menjadi bhikkhu-bhikkhuni duduk saya arahkan untuk merenungi bahwa tubuh kita fana. Tubuh tak kekal, pikiran pun tak kekal, semua tak kekal”.
“Sāmaṇera yang kadang masih sesekali memikirkan kecantikan tubuh perempuan, atau sāmaṇerī yang masih tertawan pikirannya dengan imaji lelaki, saya anjurkan merenung di ruangan ini. Bisa beberapa hari atau seminggu atau dua minggu, untuk merenungi bahwa elok tubuh, kecantikan, ketampanan, elegan indrawi dan badani, pesona cerdasan, serta kemasyuran yang menyertainya, pada akhirnya akan berakhir seonggok tengkorak”.
Saya duduk bersila, tak bergerak, di depan tengkorak. Ruang dingin dan sunyi, angin malam bertiup, di kaki gunung sepi: Apa sebenarnya yang abadi?
Beberapa tahun kemudian saya menjumpai sang bhikkhu senior dalam suasana lain. Beliau sedang mempersiapkan ‘keberangkatan’. Tubuhnya mulai renta. Menua digelayuti usia. Sedang dirawat jalan di sebuah vihara. Senyumnya tenang. Kata-katanya tenang. Menutup pertemuan dengan sebuah cerita tentang perjumpaannya dengan seseorang yang memberikanya kitab Sutasoma.
Tak lama kemudian sang bhikkhu senior berpulang. Iba karena kepulangannya, saya tidak tahan untuk menitikan air mata, tapi: Apa sebenarnya yang abadi?
Sang bhikkhu senior sempat mengantar saya ke beberapa situs candi dan permandian kuno peninggalan abad 11. Di sana tiba-tiba beliau nyeletuk: “Jika kita bisa teringat semua masa kelahiran sebelumnya, kita tidak perlu belajar ulang lagi”.
Orang-orang sekitarnya tahu bahwa beliau adalah lulusan fakultas kedokteran dari kampus ternama. Setelah diwisuda menjadi dokter, beliau langsung pamitan dari kedua orang tuanya. Pamit untuk menjadi bhikkhu.
Kenapa setelah menyelesaikan kuliah kedokteran langsung pamitan?
Jawabnya singkat: “Waktu kecil saya diminta untuk kuliah kedokeran oleh ibu saya. Saya mengiyakan. Saya menyelesaikan kuliah kedokteran untuk membayar janji saya.”
Saya berpikir nakal: Bukankah kampus kedokteran tempat yang tepat untuk ‘meditasi tengkorak’? Kuliahnya paling banyak bergelut dengan sakit, derita manusia, tubuh tak abadi, tubuh rentan, dan kematian. Di jurusan ini anak didik diajak memahani tubuh fana yang pada akhirnya menua, membusuk dan berujung menjadi tengkorak. Sang bhikkhu senior pastilah belajar banyak dari kuliahnya di fakultas kedokteran, terutama di ruang mayat.
Minggu lalu, pukul tengah malam, saya masuk kuburan, membawa sesaji ‘piuning’ di petunon, titik pembakaran jenasah, untuk mempersiapkan pembakaran mayat paman saya. Memohon dan memberitahukan pada pertiwi, tanah, semua penjaga yang tak tampak, bahwa esok hari kami akan melangsungkan pembakaran jenazah paman saya di titik itu.
Esoknya, dari dekat saya melihat bagaimana tubuh terpanggang, tengkorak paman saya dijamah api, tulang belulangnya menjadi abu. Setelah api pembakaran dimatikan, kami duduk mengitari jenazah yang tinggal abu. Abu kami kumpulkan , didoakan, dan selanjutnya dihanyut ke laut.
Di depan jenazah paman saya, di hari yang terik bercampur jilatan api pembakaran jenazah, saya kembali teringat ruang meditasi tengkorak di kaki gunung itu.
Kita semua adalah sāmaṇera dan sāmaṇerī di ruang sunyi diri sendiri. Berkawan tengkorak dalam tubuh kita masing-masing: Apa sebenarnya yang abadi? [T]
BACA artikel lain dari penulisSUGI LANUS