UPACARA DIRI
ini hari
buik rajah ni dirah
menguasai kalangan
setiap lekuk di tubuhnya
penuh kilatan api
tebar teluh
ke semua penjuru mata angin
menyusup ke akar-akar nadi
layu pepohonan ditadah bara api
jangan ada yang mendekat
sebelum kabut terkuak
saat matahari bergerak tegak lurus
mengitari ubun-ubun si anak lanang
suruh pakembar datang
buat melepas brumbun sangkur
orang-orang menari-nari sambil menenggak tuak
bersorak mengusung gerhana
kalangan riuh bergetar
buik rajah ni dirah
terbang mengitari kalangan
jampi-jampinya menyusup menutup kabut
pada satu loncatan
tajian temberang brumbun sangkur
menancap di jantung gerhana
berjatuhan percikan api
buik rajah ni dirah
terkapar
orang-orang membisu
bagai timpakan kutuk
pada lelaki tua
yang sudah berjalan jauh mencari sunyi
dengan kesia-siaannya
begitulah aku senantiasa
gurat nasib di telapak tangan
tersurat dalam lontar para dewa
selalu berakhir sebagai pecundang
dalam pergumulan waktu
umah panjer ‘24
PESISIR SINDU
sepasang bule
tidur telentang
setengah telanjang
di pasir-pasir pesisir sindu
bermandikan cahaya pagi
hangatnya matahari tropis
membiarkan mata tuaku
menjelajahi setiap lekuk tubuhnya
penuh pesona
aku terpukau
lupa
akan bayang sendiri
lepas
hanyut
dibawa arus pasang
ke muara senja
umah panjer, juni ‘24
SEPANJANG PESISIR SEMAWANG
(bersampan bersama sahabat Made Suda)
menyelinap diantara bule-bule di sepanjang pedestrian pesisir semawang
terasa sesak dan penuh aroma
bar dan cafe yang berjajar
menawarkan berbagai kenikmatan
aku tak tahu rupa dan namanya
tiba-tiba seorang pramusaji muncul dalam bayangku
sambil menawarkan daftar menu
“kau boleh minikmati menu apa yang kau suka!”
“jangan tanya itu padaku!
karena aku mau bersampan menunggang ombak
mengail mimpi yang hanyut semalam di pesisir!”
suara hingar-bingar musik
begitu deras meluncur
menusuk telinga
aku tak hirau
suara ombak yang pecah di pesisir
terasa lebih memanggil
dan
penantian panjang sampan-sampan di penambatan
tak oleng diterjang ombak
tak seperti tubuhku yang renta
gelisah menunggang ombak
sungguh
seperti juga penantianku
yang penuh tanya
kapan mengayuh sampan jiwa
mencari samudra cahaya di kejauhan
dengan riak sunyi gelombang yang tak pecah
dihempas angin timur
dalam perjalanan ini
penantian panjang dan melelahkan
umah panjer, juni ‘24
BULAN TERKAPAR DI PESISIR SERANGAN
Setelah bulan mabuk cahaya
bayangnya masih nampak terkapar di permukaan pesisir
seperti ketidakberdayaan para pribumi
untuk menjaga tanah warisan
dari cengkraman para cukong
menyeberangi kanal
saat pasang mulai surut
ada garis pembatas
bagai naga yang melingkar
berkelok-kelok
aku menyaksikan
dua tempat terpisahkan
daratan yang masih tersisa
tempat bermukim para pribumi
dengan laut yang sudah direklamasi milik para cukong
jangan ada yang memijakkan kaki
di tanah reklamasi
ini kawasan privasi
para centeng
dengan wajah sangar
akan mengusirmu menjauh
aku sedih menyaksikan ini
tak tahu
masa depan semakin tersudutkan
untuk kemudian menGyerah lagi!
umah panjer ‘24
DI PANTAI KARANG AKU MENGAIL BAYANG SENDIRI
saat aku turun di pesisir pantai karang
menyibak riak air pasang
apa ikan-ikan tahu
aku membawa mata kail
yang penuh tipu daya ?
ikan-ikan berenangan di antara pasir putih dan rumput laut
menari mengitari mata kail
sekali waktu
muncul di permukaan
untuk kemudian menyelam lagi
seperti mengejek
tahu akan tipuanku
dengan ekornya yang lincah
mengibas mata kail
lalu berenang menjauh
menyelinap di celah-celah karang diantara denyut nadi
meninggalkan aku sendiri
tanpa ada yang menyapa
atau mempermainkan mata kailku
di riak air pasang yang semakin meninggi
matahari redup
lepas bayangku
disusur angin
mengambang bersama buih
hanyut menjauh
dibawa derasnya arus
aku gagap
mengail bayang sendiri
agar tak disantap ikan-ikan
pantai karang-umah panjer, ‘24