RAMAI dibicarakan, tentang kemacetan lalu lintas setelah mal baru dibuka di Denpasar, Bali. Sebaliknya, tersiar kabar tentang sepinya sebuah mal di Badung, Bali, berikut foto tenat-tenant yang banyak tutup di mal tersebut.
Di tengah gemerlap Pulau Dewata, keramaian mal bagaikan simfoni baru yang menggema. Di satu sisi, mal menghadirkan gemerlap ekonomi dan lapangan kerja. Di sisi lain, bayang-bayang budaya lokal yang tergerus menghantui. Dilema ini mengundang pertanyaan: Perlukah mal bagi masyarakat Bali?
Sebagai seorang yang pernah mengenyam studi Antropologi di universitas, saya tergerak untuk menyelami dilema ini. Perlukah mal bagi masyarakat Bali? Pertanyaan ini bagaikan benang merah yang mengantarkan kita pada perjalanan budaya dan ekonomi.
Pembangunan mal di Bali merepresentasikan modernisasi yang tak terelakkan. Di era globalisasi, pulau ini tak luput dari arus perubahan. Mal hadir sebagai simbol kemajuan ekonomi, membuka lapangan kerja, dan menyediakan akses terhadap berbagai kebutuhan.
Namun, di balik gemerlap ekonomi, mal menghadirkan budaya konsumerisme dan materialisme yang berbenturan dengan nilai-nilai tradisional Bali. Masyarakat yang terbiasa dengan kesederhanaan dan filosofi “Tri Hita Karana” (keseimbangan antara manusia, alam, dan tuhan) kini dihadapkan pada gaya hidup baru yang menekankan pada kepemilikan dan konsumsi.
Kekhawatiran tentang terkikisnya budaya lokal kian menguat. Mal bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan kemudahan dan hiburan. Di sisi lain, ia berpotensi menggerus identitas budaya dan memicu gentrifikasi, di mana masyarakat lokal terpinggirkan dari tanah mereka dan digantikan oleh bisnis dan pengembang.
Dampak positif mal tak dapat dipungkiri. Lapangan kerja terbuka, ekonomi lokal menggeliat, dan akses terhadap berbagai kebutuhan terpenuhi. Masyarakat lokal mendapatkan peluang baru untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Bagi wisatawan, mal menjadi tempat berbelanja dan menikmati hiburan yang lengkap.
Namun, di balik itu, dampak negatif pun mengintai. Budaya konsumerisme dan materialisme dapat mengikis nilai-nilai tradisional Bali. Kesenjangan sosial berpotensi meningkat, di mana segelintir orang yang memiliki modal besar mendapatkan keuntungan lebih besar, sementara masyarakat kecil terpinggirkan.
Dampak lingkungan pun tak luput dari perhatian. Pembangunan mal sering kali membutuhkan lahan yang luas, berakibat pada kerusakan habitat alami dan pencemaran lingkungan. Penggunaan energi yang besar dan produksi sampah yang berlebihan menjadi konsekuensi yang harus ditanggung.
Perlukah Mal Bagi Orang Bali?
Lalu, perlukah mal bagi orang Bali? Jawabannya tak sesederhana hitam putih. Mal adalah realitas modern yang tak terelakkan. Namun, jenis mal yang dibangun haruslah selaras dengan budaya dan kebutuhan masyarakat setempat.
Mal tak hanya tentang berbelanja, tetapi juga tentang melestarikan budaya dan mendukung usaha kecil menengah. Desain mal dapat mengadopsi arsitektur tradisional Bali, menampilkan produk dan kuliner lokal, serta menyediakan ruang bagi seniman dan pelaku budaya untuk berkarya.
Pembangunannya pun harus mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial. Mal harus didirikan di lokasi yang strategis dan mudah diakses dengan transportasi publik. Penggunaan energi yang efisien dan pengelolaan sampah yang bertanggung jawab harus menjadi prioritas.
Masyarakat lokal harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, mulai dari perencanaan hingga pengelolaan mal. Hal ini untuk memastikan bahwa mal bermanfaat bagi seluruh masyarakat dan tidak hanya bagi segelintir orang.
Keputusan tentang mal di Bali, pada akhirnya, ada di tangan masyarakat Bali sendiri. Dengan dialog terbuka dan inklusif, mereka dapat menentukan masa depan mereka. Pendekatan antropologis menjadi lentera yang menerangi jalan. Dengan pemahaman mendalam tentang budaya dan dampak pembangunan, masyarakat Bali dapat melangkah menuju masa depan yang harmonis: selaras dengan kemajuan ekonomi, pelestarian budaya, dan kesejahteraan sosial. Mari kita jaga Bali, bukan hanya keindahan alamnya, tetapi juga kekayaan budayanya. Mal boleh hadir, namun dengan ruh Bali yang tak lekang oleh waktu. [T]
BACA artikel lain dari penulis ANGGA WIJAYA