TULISAN ini adalah lanjutan dari diskursus yang membahas tentang penyakit defisiensi (penurunan) karakter tegas dan visioner yang menjangkiti para pemimpin di Bali dewasa ini. Pada artikel sebelumnya, saya meminjam pisau analisis dari guru Sugi Lanus yang mengkritisi sikap pemerintah daerah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi Bali yang terkesan tutup mata akan fenomena viral jogéd jaruh beberapa waktu terakhir. Adapun dalam kesempatan kali ini, saya hendak menggunakan pendekatan ruang-dan-waktu untuk merangkum wabah rabies yang tak kunjung terkendali sejak 2008 silam.
Dinamika wabah rabies
Status Bali bebas rabies yang semula direngkuh secara cuma-cuma harus menguap ketika kasus rabies pertama kali dilaporkan di selatan pulau Bali pada tahun 2008. Setahun kemudian, kasus rabies terus meningkat serta menyebar ke wilayah timur dan tengah pulau Bali. Puncak wabah rabies terjadi pada tahun 2010 dengan 82 kasus kematian dari hampir seluruh pelosok wilayah pulau dewata.
Merespons wabah penyakit rabies, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota telah menggencarkan vaksinasi rabies pada anjing, serta penatalaksanaan sesuai indikasi medis berupa vaksin anti rabies (VAR) dan/atau serum anti rabies (SAR) bagi warga yang tergigit anjing. Rangkuman analisis ruang-dan-waktu terkait dengan respons pemerintah terhadap wabah rabies dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Dinamika upaya mengendalikan wabah rabies oleh pemerintah provinsi Bali periode 2008-2022
Seperti yang juga disebutkan pada artikel sebelumnya, sumbu x dan y masing-masing menandakan nilai visi dan ketegasan pemerintah, baik pemerintah Provinsi Bali maupun pemerintah daerah kabupaten/kota. Pada kesempatan kali ini spesifik menyoroti pemerintah provinsi karena perannya yang lebih dominan untuk merespons wabah rabies. Sedangkan sumbu z adalah garis waktu yang dimulai dari tahun 2008 sebagai titik awal saat kasus rabies pertama kali ditemukan.
Fase I antara tahun 2008-2012 ditandai dengan garis dan lingkaran yang berwarna kuning, sedangkan warna merah mengindikasikan fase II antara tahun 2012-2022. Sebagai catatan, pembagian fase I dan II tidak didasarkan pada waktu pergantian gubernur dan wakil gubernur yang terjadi tahun 2018. Tetapi perbedaan tren pengendalian wabah rabies sebelum dan setelah tahun 2012. Karena tahun ini pertama kali target Bali bebas rabies dicetuskan.
Harus diakui bahwa nilai dari visi pemerintah provinsi (sumbu x) saat awal rabies terdeteksi tahun 2008 tergolong tinggi karena berani menargetkan Bali bebas rabies di tahun 2012. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mencapai target tersebut juga sangat terukur dan tertuang dalam peraturan daerah provinsi Bali nomor 15 tahun 2009, sehingga nilai ketegasan (sumbu y) juga bisa dikatakan tinggi. Apresiasi bagi pemerintah provinsi saat itu dapat dilihat dari tingginya titik lingkaran kuning serta tren peningkatan karakter kepemimpinan tegas dan visioner (garis ungu) pada periode 2008-2012 seperti yang bisa dilihat dari gambar 1.
Hasil dari intervensi pemerintah mulai terlihat pada tahun 2011 yakni penurunan angka kematian akibat rabies menjadi 23 korban jiwa. Angka kematian kembali menurun menjadi 8 korban jiwa pada tahun 2012. Meskipun demikian, tetap saja capaian ini meleset dari target nihilnya kasus kematian sehingga predikat Bali bebas rabies kembali tak terengkuh.
Kegagalan untuk mencapai target Bali bebas rabies kemudian secara signifikan memengaruhi konsistensi pemerintah untuk mengendalikan wabah penyakit ini. Hal pertama yang terlihat mengalami penurunan drastis adalah visi pemerintah. Setelah mengalami kegagalan di tahun 2012, tenggat waktu kemudian direvisi menjadi tahun 2015—meski kembali gagal karena rabies merenggut nyawa 15 orang pada tahun yang sama.
Bukankah kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda? Barangkali peribahasa tersebut yang digunakan sebagai acuan untuk mengubah tenggat waktu dari 2015 menjadi tahun 2020. Kita semua mengetahui bahwa di awal tahun 2020 badai pandemi COVID-19 menghantam dunia, tak terkecuali Bali. Sehingga fokus pemerintah provinsi utamanya diarahkan untuk memitigasi pandemi COVID-19, sedangkan upaya pengendalian rabies sedikit banyak terpinggirkan. Oleh karenanya, nilai yang menggambarkan visi pemerintah menurun signifikan pada periode setelah tahun 2012 (garis merah, sumbu x).
Kegagalan mencapai target pada tahun 2012 ditengarai akibat kurangnya pendanaan untuk menunjang program pengendalian rabies. Permasalahan finansial ini, menurut hemat saya, adalah cerminan dari kurangnya kesungguhan dan skala prioritas jika menilik kemampuan finansial pemerintah yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Diketahui bahwa pembiayaan program pengendalian rabies membutuhkan anggaran sebesar 20 miliar rupiah/tahun, sedangkan dana yang tersedia adalah 10-13 miliar.
Di sisi lain, APBD Provinsi Bali tahun 2013 sebesar 4,1 triliun dan terus meningkat setiap tahunnya mencapai 6,6 triliun pada tahun 2019. Dengan demikian, biaya 20 miliar/tahun adalah kurang dari 0.5% dari APBD Provinsi Bali tahun 2013-2019. Apakah pemerintah tidak mempunyai kuasa—atau prioritas, untuk menggunakan sedikit lebih banyak dana APBD untuk program pengendalian rabies?
Selain itu, pemerintah juga mengeluhkan banyaknya populasi anjing di Bali dengan estimasi sekitar 500 ribu ekor. Sehingga jumlah minimal anjing yang harus divaksinasi adalah 350 ribu ekor untuk mencapai cakupan 70%. Tingginya populasi anjing di Bali adalah valid dan menjadi tantangan spesifik bagi pengendalian rabies. Tetapi, permasalahan ini sejatinya dapat dikesampingkan karena pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang dibantu oleh pemerintah pusat, akademisi serta lembaga non-pemerintah baik dari dalam maupun luar negeri, berhasil mencapai target cakupan vaksinasi 70% pada tahun 2010-2012.
Permasalahannya terletak pada kesanggupan pemerintah untuk mempertahankan konsistensi cakupan 70% vaksinasi pada anjing. Saya tidak mempunyai referensi tentang tren cakupan vaksinasi pasca 2012. Akan tetapi, dari pengalaman pribadi, terdapat perbedaan pelaksanaan program vaksinasi ketika awal wabah rabies merebak dibandingkan dengan setelahnya.
Pada permulaannya petugas vaksinasi untuk anjing mendatangi rumah ke rumah, kemudian berubah vaksinasi dilakukan di balai desa, kemudian berubah lagi menjadi vaksinasi anjing yang dilayani pada fasilitas kesehatan hewan atau dinas pertanian dan kesehatan hewan di kabupaten. Besar kemungkinan inkonsistensi tata cara program vaksinasi menurunkan cakupannya menjadi dibawah target 70%.
Terakhir adalah poin ketersediaan VAR dan prosedur untuk bisa mendapatkannya. Pengalaman sebagai dokter umum serta maraknya pemberitaan di media mencatat beberapa kali terjadi kekosongan stok VAR, bahkan di rumah sakit daerah sekalipun. Kelangkaan stok VAR ini diakibatkan karena permasalahan pada level birokrasi seperti kurangnya sinkronisasi pengadaan VAR dengan e-katalog atau distribusinya yang mengalami gangguan. Sempat juga muncul selentingan isu bahwa stok VAR ditimbun untuk kepentingan komersil.
Permasalahan yang tak kalah mengganggu pelayanan kesehatan adalah prosedur agar bisa mendapatkan suntikan VAR. Sebelumnya, siapapun bisa mendapat paket suntikan VAR. Setelahnya, prosedur diubah bahwa syarat mendapat VAR adalah jika tergigit anjing yang sudah dipastikan rabies melalui pemeriksaan laboratorium. Kemudian berubah lagi bahwa sebelum mendapat VAR anjing harus diobservasi dulu 10-14 hari, jikalau dalam periode tersebut anjingnya mati barulah suntikan VAR akan diberikan.
Ditambah lagi kompleksitas ketika pasien adalah “orang penting” baik orang yang memegang jabatan di pemerintahan, keluarga dari pejabat, atau perorangan yang dekat dengan penguasa. Sehingga syarat mendapatkan VAR harus dikesampingkan demi jenis-jenis pasien tersebut. Sedangkan syarat-syarat tersebut masih berlaku bagi masyarakat kebanyakan.
Anjing menggonggong, penguasa bersabda
Sederet permasalahan yang telah dikemukakan di atas merupakan salah satu sebab berulangnya kegagalan Bali untuk mencapai predikat bebas rabies. Hingga pada akhirnya sebanyak 22 korban jiwa kembali berjatuhan akibat rabies pada tahun 2022.
Sebagai catatan, terakhir kali terdapat >20 korban jiwa akibat rabies adalah tahun 2011. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terjadi tren penurunan karakter visioner dan ketegasan yang diterjemahkan dalam upaya pengendalian rabies pada periode setelah tahun 2012 (titik lingkaran merah).
Secara spesifik pada era kepemimpinan Made Mangku Pastika (2013-2018), poin yang patut dikritisi adalah gagalnya menjaga konsistensi pelaksanaan program pengendalian rabies. Sedangkan pada periode kepemimpinan I Wayan Koster (2018-2023), gubernur dan jajarannya tidak memiliki visi yang sungguh-sungguh untuk menuntaskan masalah rabies di Bali. Padahal jika berhasil mencapai predikat Bali bebas rabies maka legitimasi kepemimpinannya akan meningkat dan dapat dijadikan nilai jual untuk melanjutkan periode kedua tahun 2024-2029.
Tepat di akhir masa jabatannya setahun kemarin, pak Koster diketahui menargetkan Bali bebas rabies tahun 2028. Akankah target ini bisa tercapai setelah hampir dua dekade kemunculan rabies di Bali? Yang jelas, visi yang matang selalu diikuti dengan perencanaan detail untuk mencapai visi tersebut. Jika pemimpin hanya bisa memberi target tanpa adanya perencanaan lanjutan, maka hal itu tak ubahnya seperti sabda dari penguasa yang berharap bawahannya bisa bekerja sesuai sabda yang telah dititahkan.
Kembali ke pertanyaan apakah Bali memang mengalami krisis karakter pemimpin tegas dan visioner, hanyalah waktu yang akan menjawabnya. Belajar dari wabah rabies, permasalahan tidak akan selesai hanya karena pergantian estafet kepemimpinan. Tanpa karakter tegas dan visioner, tokoh-tokoh yang kita harapkan sebagai pemimpin bisa jadi sejatinya lebih bermental sebagai penguasa. [T]