DI Pura Ratu Gede Sambangan, Desa Pakraman Tejakula, orang-orang mengular dengan pakaian adat dominan putih. Orang-orang itu, dengan sabar meniti satu per satu ratusan anak tangga menuju jaba sisi pura. Di samping kiri di sepanjang tangga beton itu, para pedagang (makanan dan minuman) dan bandar judi menggelar lapak.
Anak-anak kecil, remaja, dengan gembira, sambil menikmati es kelapa muda ketengan dan sosis goreng sebesar jempol kaki orang dewasa yang berlumur saus, mempertaruhkan uang sakunya di atas gambar-gambar seram, lucu, dan luncah itu—satu di antara enam gambar di atas kertas taruhan itu terlukis sesosok perempuan berwajah menor dengan tulisan “mama muda” di samping bahunya.
Namun, terlepas dari adegan bandar pengocok dadu itu, suasana parkiran dan tangga menuju Pura Ratu Gede Sambangan ini mirip seperti makam-makam wali di tanah Jawa. Hanya saja, pedagangnya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan pedagang di sekitar makam para wali.
Suasana di jaba tengah Pura Ratu Gede Sambangan Tejakula, tempat pementasan Wayang Wong | Foto: Amri
“Beginilah odalan di Tejakula, selalu ramai,” ujar seorang gadis berpakaian adat Bali sambil mengelap keringat di wajahnya menggunakan selembar tisu. Ia tersenyum. “Tadi pagi ada ucapara ngagem tapel, upacara nedunin, menghias topeng-topeng Wayang Wong. Semua penari (pemain Wayang Wong) ikut upacara,” ucapnya kemudian.
Memasuki jaba sisi Pura Ratu Gede, tapel-tapel Wayang Wong digantung di tali tampar seperti pakaian yang baru saja dicuci. Topeng-topeng berbagai tokoh dalam epos Ramayanan itu berjumlah sekitar 40-an. Di sana, dua penari Wayang Wong yang sudah berpakaian lengkap memeriksa topeng yang hendak mereka pakai. Salah seorang di antaranya merokok dengan santai.
Benar. Di pura yang terletak di punggung perbukitan Tejakula ini, sebentar lagi, akan digelar pementasan Wayang Wong dengan lakon “Ripati Patih Sputa Daksa lan Pratapa Naksir”. Pementasan ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari “kelahiran” Pura Ratu Gede Sambangan yang tahun ini jatuh pada Senin sampai Rabu, 26-29 Mei 2024.
“Piodalan ini diadakan setiap tahun pada hari anggara kasih prangbakat. Setiap tahun pula kami mementaskan Wayang Wong di pura ini,” terang Ketut Sweta Swatara, salah satu tokoh Wayang Wong Tejakula yang menjadi (atau memakai topeng dan menarikan) Wibisana dalam pentas kali ini.
Dua minggu sebelum piodalan besar ini dilakukan, menurut informasi dari Eta, panggilan akrab Ketut Sweta Swatara, umat Hindu Tejakula sudah berbondong-bondong ke pura untuk melakukan persiapan-persiapan (dalam bahasa Bali disebut ngayah). Namun, Sekaa Wayang Wong Tejakula, mereka—penari dan penabuh—kumpul seminggu sebelum gawe agung ini digelar.
Topeng-topeng Wayang Wong di Pura Ratu Gede Sambangan Tejakula | Foto: Amri
“Kami kumpul untuk diskusi tentang cerita yang akan dibawakan, baru latihan menari,” ujar Eta menjelaskan pra-acara piodalan. “Kami latihan setiap hari, sampai empat kali,” sambungnya kemudian.
Pagi menjelang pentas, sebagaimana telah disampaikan seorang gadis yang mengelap keringat di wajahnya itu, para penari Wayang Wong mengikuti upacara ngagem topeng dan menghias topeng-topeng Wayang Wong.
“Pagi jam tujuh, kami sembahyang dulu di Pura Maksan, tempat topeng-topeng Wayang Wong sakral disimpan. Selesai sembahyang, topeng-topeng dikeluarkan, dibersihkan, diperbaiki, baru dihias dan dilengkapi dengan daun girang dan bunga,” Eta menerangan dengan detail.
Tak sampai di situ, setelah topeng-topeng Wayang Wong dihias, pada saat dikumpulkan menjelang dipakai pentas masih harus diupacarai sekali lagi dengan banten yang dipimpin seorang pemangku. “Setelah selesai baru dikirim ke pura tempat pementasan,” terang Eta.
Eta memberi keterangan, piodalan di Pura Ratu Gede Sambangan ini dilakukan selama tiga hari. Hari pertama dilakukan upacara munggah canang; hari kedua adalah puncak acara (di hari kedua ini Wayang Wong mulai dipentaskan); dan hari ketiga akan dilakukan upacara panglebar, atau upacara terakhir.
Di hari panglebar, Wayang Wong kembali pentas, melanjutkan kisah pada hari kedua piodalan. Namun, bedanya dengan hari kedua, lanjut Eta, sebelum pertunjukan Wayang Wong, Randa akan pentas terlebih dahulu.
***
Di jaba tengah (madya mandala) Pura Ratu Gede Sambangan, orang-orang Tejakula berkumpul menanti pertunjukan. Ada yang berdiri; ada pula yang duduk nyaman di pinggir-pinggir arena pementasan. Tangga menuju utama mandala—atau jeroan pura—menjelma tribun yang paling strategis untuk menonton. Di tempat penonton sebelah timur, segerombolan bule berkulit pucat dan berambut pirang ikut berebut tempat duduk. Suasana kian ramai, Pecalang ekstra menertibkan.
Sesaat setelah rombongan bule itu duduk panas-panasan, sekira pukul 4 sore kurang sedikit, delapan gender mulai ditabuh. Kendang dan gong menyusul kemudian.
Jro Dalang Sukadana berkacamata hitam duduk di antara penabuh kendang dan gender | Foto: Amri
Seorang lelaki paruh baya berambut panjang berkacamata hitam metalic memulai melanggamkan tembang—seperti merapal mantra-mantra purba. Suaranya menggema di antara ramai yang kian tak terkendali. Di sela jari tangan kiri lelaki paruh baya tersebut, terselip rokok yang tak kunjung ia isap.
Duduk di depan para penabuh gamelan pengiring, lelaki “nyentrik” itu kadang berteriak, bergumam seperti berdialog, dengan suara berat kadang ia juga merintih menyedihkan. Dialah Jro Dalang Sukadana yang berlaku sebagai sendon—orang yang melukiskan suasana, tempat, atau keadaan yang sifatnya mengharukan. Seusai menembang, Jro Dalang menenggak air dalam kendi yang teronggok di sampingnya.
Pertunjukan dimulai. Dua punakawan, Malen (Tualen) dan Wana (di Bali Selatan disebut Merdah), memasuki arena. Tualen yang bertubuh gemuk dan Wana yang kurus, dua-duanya berwajah jenaka, namun juga seperti dua orang tua bijak yang sekaligus konyol—gambaran punakawan yang umum digunakan dalam cerita pewayangan, sebagaimana Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong dalam cerita pewayangan di Jawa.
Tualen dan Wana menari-nari kecil mengintari panggung pertunjukan yang dirubung penoton. Mereka berdialog, meski tak seorang pun mengerti apa yang dikatakan. Selain karena pelan, kalah dengan ramai di sekitarnya, bahasa yang digunakan juga tak mudah dipahami. Mereka menggunakan bahasa Kawi.
Tak lama setelah dua abdi kesatria Ayodhya itu menari-nari kecil dengan gestur konyol dan mengundang gelak, tiga kesatria memasuki arena pertunjukan. Tualen dan Wana menghaturkan sembah.
Ialah Rama dari Ayodhya, dengan simbol topeng berwarna hijau, mahkota, dan pernak-pernik mewah, menari dengan angun, berwibawa, dan tampak bijaksana. Sama halnya dengan Tualen dan Wana, Rama juga berbicara menggunakan bahasa manusia yang hidup di masa lalu yang jauh itu.
Di tempat penonton, sambil berdiri dan berdesakan, seorang ibu bertanya, setengah berbisik, kepada anaknya yang juga berdiri di dekatnya. “Dialah Rama. Kalau sudah besar, kamu mau belajar menarikannya?”
Sambil menyedot minuman rasa-rasa yang mengandung aspartam, si anak—yang mungkin baru berumur lima tahunan—tak menanggapinya. Barangkali si anak tak paham maksud ibunya. Mungkin pertanyaan itu masih gelap bagi anak seusianya. Atau si anak justru memiliki ketertarikan yang lain?
Babak demi babak berlangsung begitu saja. Jro Dalang kembali menembang. Gender, gong, dan kendang ditabuh, serempak mengiringi setiap tokoh Wayang Wong yang keluar-masuk satu per satu. Pada babak Sugriwa, Hanoman, dan pasukan keranya masuk, penonton bersorak sekaligus takjub melihat penari Hanoman melompat-lompat lincah.
Para bule berkulit pucat itu terbelalak, tersenyum, memotret dan merekamnya. Anak-anak, yang duduk dan berdiri berdesakan, menyebut nama-nama para tokoh Wayang Wong sambil sesekali menirukan gerak tari dan suara-suara yang terlontar dari lisan para pasukan kera.
Pementasan Wayang Wong di Pura Ratu Gede Sambangan Tejakula dimulai | Foto: Amri
Menjelang akhir cerita, pasukan Rama yang didominasi wangsa kera dan burung, adu tanding dengan bala tentara Rahwana dari kalangan raksasa. Simbol kebaikan dan keangkaramurkaan itu bentrok, penonton bersorak, anak-anak melontarkan teriakan-teriakan yang membuat arena laga itu menjadi seru dan meriah. Dan suara gamelan membuatnya semakin dramatis. Jaba tengah Pura Ratu Gede Sambangan menjelma arena laga para pendekar pilih tanding beradu kesaktian.
Meski tak ada adegan salto, terbang, atau gimik-gimik semacamnya, sebagaimana film-film kolosal Tanah Air, pertarungan antara simbol kebaikan dan kemungkaran itu tetap seru dan menegangkan. Dan begitulah lakon “Ripati Patih Sputa Daksa lan Pratapa Naksir” Wayang Wong Tejakula memungkasi pementasannya.
“Besok, pada saat panglebar, Wayang Wong akan dilanjutkan dengan lakon Ripati Jambul Mali, Senopati Rahwana, yang akan melawan Hanoman,” ujar Eta memberi informasi di akhir wawancara.
***
Sampai di sini, Wayang Wong di Tejakula, sebagaimana keyakinan masyarakatnya, sepertinya tidak akan pernah “mati” selama masih berkaitan—dan menjadi sesuatu yang dianggap penting—dalam upacara yadnya. Kesenian ini akan selalu ada di tengah-tengah masyarakat Tejakula bagaimana pun kondisinya.
Meski tak luput dari cerita yang gampang ditebak atau jadi dunia verbal yang itu-itu-lagi; jadi narasi yang kehilangan hening, yang mengakibatkan—memimjam kata Goenawan Mohamad—“klise tumbuh seperti benalu pada karya seni, yang mematikan daya cipta” sebab “klise adalah hasil yang selalu siap mengikuti formula—gampang karena mengulang”, Wayang Wong akan selalu dipelajari dan dipentaskan sampai kapan pun. Kesakralan kesenian ini menjadi benteng utama dalam kelestariannya.
Pementasan Wayang Wong di Pura Ratu Gede Sambangan Tejakula dimulai | Foto: Amri
Hal tersebut tentu sangat berbeda dengan pertunjukan wayang kulit di Jawa. Di Jawa hari ini, seperti yang pernah dikatakan Mahfud Ikhwan dalam esainya, tanpa mencoba meremehkan para pemujanya, juga falsifikasi atasnya, wayang kulit tak pernah melebihi fungsi asalinya: hiburan rakyat. Dengan bahasa yang lebih akademis: budaya massa.
Tetapi, hari ini, wayang di Jawa kalah bersaing dengan budaya massa yang lain, dan kemudian gagal lolos dari ujian masa. Mungkin karena formatnya yang kurang menarik, mungkin perangkat sosial-budayanya kurang memadai, atau mungkin juga ada penyebab lain.
Sepertinya, sekali lagi mengutip Goenawan Mohamad, memang sudah lama dunia pewayangan tak digerakkan daya cipta. Kisah Mahabharata dan Ramayana berubah sekadar jadi potongan-potongan melodrama. Cerita-cerita wayang hanya menempatkan para Kurawa dalam pihak yang-jahat-dan-pasti-kalah, dan Pandawa pada posisi sebaliknya. Wayang kulit makin tak berdaya membangun sebuah tragedi. Semoga, Wayang Wong Tejakula tak bernasib demikian. Ya, semoga.[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole