DI panggung Sasana Budaya sisi timur, sebarung gong kebyar tanpa ukiran di ancak-nya ditata sedemikian rapi. Seperangkat gong dengan penyangga kayu bergaris biru muda dan putih itu, berhadap-hadapan dengan gong berancak ukiran—yang terkesan sangat mewah—yang terletak di panggung sebelah barat. Gong-gong itu diam seribu bahasa sebelum para penabuh memainkannya.
Suasana sekitar panggung pementasan sudah tampak ramai. Dari anak-anak, remaja, sampai orang tua, berduyun-duyun, datang dari berbagai arah. Mereka duduk bergerombol dan berderet di tribune-tribune Sasana Budaya sambil berbincang, merokok, dan menikmati kudapan.
Pangung, lampu, dan segala piranti pendukung pertunjukan sudah siap. Pewara mempersilakan para penabuh untuk memasuki panggung. Ia memanggil penabuh dari Sekaa Eka Wakya dari Banjar Paketan untuk masuk terlebih dahulu. Para penabuh Eka Wakya muncul dari sisi timur—representasi dangin njung. Sesaat setelah Sekaa Eka Wakya menempati posisinya, dari sisi barat—representasi dauh njung—penabuh Sanggar Seni Wahana Santhi Desa Umejero memasuki panggung.
Suasana gong mebarung Banjar Paketan dan Desa Umejero serangkaian acara Festival Komponis Perempuan Wrdhi Cwaram | Foto: Rusdy
Kedua grup gong kebyar sudah berada di atas panggung dan para penabuhnya sudah menempati posisi masing-masing. Dan inilah gong mebarung antara Sekaa Eka Wakya dengan Sanggar Seni Wahana Santhi dalam acara Festival Komponis Perempuan Wrdhi Cwaram di Sasana Budaya, Jumat (31/5/2024) malam.
Ada empat materi tabuh, tanpa tari, yang ditampilkan pada mebarung kali ini. Masing-masing sekaa menampilkan dua tabuh. Sekaa Eka Wakya membawakan tabuh Nem Lelambatan “Galang Kangin” Style Banjar Paketan dan Tabuh Tari Subali Sugriwa. Sedangkan Sanggar Seni Wahana Santhi membawakan tabuh Terunajaya dan Taruna II.
Sanggar Eka Wakya lebih dulu mendapat kesempatan untuk unjuk kebolehan. Di tribun Sasana Budaya, orang-orang bersorak dan tepuk tangan pecah di sana. Suasana sangat ramai—dan seharusnya memang demikian. Mebarung tanpa keramaian itu rasanya memang ada yang kurang.
Penabuh Eka Wakya—sekaa gong Banjar Paketan yang pada 1926 dipimpin oleh Pan Sasih berdasarkan catatan yang ada dalam Soerat Nomor 68 tanggal 25 November 1926 oleh Poenggawa Diestriet Boeleleng itu—mulai memainkan gamelan kebanggan mereka. Tabuh Nem Lelambatan Galang Kangin mengentak, memenuhi ruangan Sasana Budaya. Temponya mengeras, cepat, melambat, seperti tak terduga.
Penabuh terompong menunjukkan keahliannya. Bergantian dengan ugal, terompong memimpin melodi. Sedangkan kendang, gangsa, gong, pemade, jublag, jegog, reyong, seruling, dan cengceng membuat utuh komposisi tersebut. Semua instrumen sama-sama memiliki peran penting. Tak ada yang satu lebih penting daripada yang lain. Semua menyatu menjadi komposisi yang, tak hanya enak didengar, tapi barangkali juga membangkitkan ingatan-ingatan masa silam orang-orang tua yang hadir malam itu.
Tabuh Nem Lelambatan Galang Kangin tentu saja bukan tabuh baru dalam panggung kekebyaran. Tabuh ini digubah sekitar tahun 1950-an oleh tangan dingin Wayan Beratha—seniman yang dianggap sebagai pembaharu gamelan kebyar. Pada kisaran tahun tersebut, bersama Gde Manik dan I Gusti Agung Made Kertha (purnawirawan TNI AD), I Wayan Beratha membina sekaa gong Banjar Paketan, Singaraja.
Sekitar tahun 1968, Tabuh Nem Lelambatan Galang Kangin dianggap telah mencapai kejayaannya. Dan dalam perkembangannya, tabuh ini memiliki sejumlah versi yang berbeda.
Sekaa Eka Wakya Banjar Paketan saat mebarung di Festival Komponis Perempuan Wrdhi Cwaram | Foto: Rusdy
Pada kisaran tahun tersebut, dua pembina tabuh di Banjar Paketan, Bapa Ketut Dasna dan Bapa Ketut Supatra—yang berasal dari Desa Munduk—menyempurnakan tabuh ini dengan menambahkan pengawit, angsel-angsel, dan kekotekan-kekotekan. Sehingga, lahirlah Tabuh Galang Kangin Style Banjar Paketan seperti yang dibawakan Sekaa Eka Wakya kemarin malam.
Namun, seiring perkembangan zaman, tabuh ini sudah jarang dibawakan, memang. Tetapi beruntung, tokoh-tokoh Sekaa Eka Wakya Banjar Paketan masih mau dan mampu merekonstruksinya kembali, sehingga pecinta dan penikmat kesenian gong kebyar hari ini masih bisa mendengarkan, menyaksikan, dan barangkali mempelajarinya.
“Saya bertahun-tahun merekonstruksi Tabuh Galang Kangin, sampai berkunjung ke desa-desa karena banyak versi. Saya ke Ambengan, Sangket, Menyali, Sawan, Bebetin, sampai Buleleng bagian timur untuk menggali dan memastikan bahwa Tabuh Galang Kangin yang sebenarnya itu bagaimana,” ujar Dek Pas Kocok Wirsutha, seniman Sekaa Eka Wakya yang bernama asli Kadek Pasca Wirsutha itu seusai mebarung.
Kurang lebih lima belas menit Nem Lelambatan Galang Kangin mendaulat Sasana Budaya. Penonton, sekali lagi, bersorak memberi apresiasi.
Suasana kembali riuh saat pewara mempersilakan Sanggar Seni Wahana Santhi memainkan gamelannya. Seperti tak mau kalah, para penabuh muda-mudi itu, dengan semangat meluap, mulai unjuk kebolehan. Sebagaimana telah disinggung di awal, Sanggar Seni Wahana Santhi membawakan Tabuh Terunajaya karya sang maestro Gde Manik.
Dalam sinopsis karya yang ditayangkan di layar di panggung pementasan dan yang dibacakan pewara sebelum penabuh memainkan gamelan, Terunajaya disebut sebagai tabuh versi pendek dari Kebyar Legong ciptaan Wayan Paraupan pada tahun 1914. Nama Terunajaya sendiri konon diberikan oleh Ir. Soekarno ketika menyaksikan pertunjukkan di Istana Tampak Siring.
Masih dalam sumber yang sama, secara kompositorik, komposisi Terunajaya didominasi oleh tekstur bapang dengan skema kontras yang ditunjukkan dalam setiap perubahan tempo, dari cepat menuju lambat, pada bagian pengadeng. Komposisi ini memperlihatkan konsistensi tonika dalam menempatkan figur nada dung dan ding sebagai identitas yang mendominasi dan menempati posisi penting dalam durasi siklus meter.
Dalam komposisi Terunajaya, menurut keterangan dalam sinopsis, skema elastisitasnya tidak hanya ditunjukkan pada rangkaian struktural yang terintegrasi, tapi juga terdapat pada bagian lainnya seperti pada pengadeng—penggandaan dari kontur bapang yang berdurasi delapan ketukan itu.
Tak sampai di situ, teknik kamuflase dengan menempatkan ornamentasi tekstur gangsa dan elaborasi ugal juga turut memberikan pengayaan yang kompleks, sehingga persepsi kita tentang satu substansi yang sesungguhnya sama adalah berbeda.
Salah satu bagian menarik pada komposisi Terunajaya versi Jageraga—berdasarkan rekaman Bali Barong tahun 1974—adalah munculnya pukulan gong secara tiba-tiba pada setiap aksen “byang” reyong pada posisi off-beat. Pada versi komposisi ini, peranan gong secara substansial tidak hanya dipersepsi sebagai tanda awal atau akhir dari suatu siklus melodi, tetapi (peranannya) semakin dimaksimalkan untuk mengartikulasikan kebyar yang datang secara tiba-tiba.
Namun, terlepas dari teori-konsep Terunajaya, malam itu, para penabuh dari sanggar yang berdiri sejak tahun 2016 itu tampak bersemangat dan seolah menjiwai spirit Terunajaya yang memang mewakili gelora anak muda. Pemain ugal (instrumen yang memimpin melodi), sambil menggerakkan kedua tangannya, juga menggerakkan kepalanya mengikuti nada yang dimainkan—kepalanya tampak seperti menari.
Sanggar Seni Wahana Santhi Desa Umejero saat mebarung di Festival Komponis Perempuan Wrdhi Cwaram | Foto: Rusdy
Selesai Terunajaya dimainkan, kini giliran Sekaa Eka Wakya menunjukkan repertoar Tabuh Tari Subali Sugriwa hasil rekonstruksi Made Keranca dan I Made Pasca Wirsutha. Tari Subali Sugriwa juga tercipta sekitar tahun 1950-an. Tari ini diciptakan oleh I Wayan Beratha bersama Gde Manik.
“Tari Subali Sugriwa direkontruksi dan diaransemen kembali oleh Mayor (Purn) TNI AD I Gusti Agung Made Kertha (Mayor Kertha) dengan menata kekotekan dan kekebyaran yang dinamis pada tahun 1960-an saat membina di Banjar Paketan,” Dek Pas Kocok menjelaskan.
Menurut Kocok, Tari Subali Sugriwa bisa dibilang menjadi tari kebesaran Banjar Paketan. Jika Jagaraga memiliki Terunajaya dan Kedis memiliki Wiranjaya, maka Banjar Paketan mempunyai Subali Sugriwa. Tetapi, Subali Sugriwa tak hanya ada di Banjar Paketan saja, di Jagaraga juga ada. “Gaya Jagaraga lebih panjang daripada versi Banjar Paketan,” kata Kocok.
Gong mebarung dalam acara Festival Komponis Perempuan Wrdhi Cwaram ini semakin malam semakin meriah. Sampai saat Tabuh Subali Sugriwa selesai dipentaskan, orang-orang masih bertahan di tempat duduk masing-masing, hanya barang dua atau tiga orang saja yang memilih untuk tidak menyaksikan dan mendengarkan tabuh selanjutnya, yakni Taruna II, tabuh terakhir yang dimainkan malam itu.
Taruna II, sebagaimana tertulis dalam sinopsis, adalah komposisi musik baru dalam gamelan gong kebyar yang lahir dari pikiran I Ketut Pany Ryandhi, komponis muda Buleleng yang sedang mekar saat ini. Tabuh ini dibawakan oleh Sanggar Seni Wahana Santhi dengan sangat baik.
Komposisi garapan Pany ini merupakan upaya reintepretasi terhadap tekstur kebyar dalam komposisi Terunajaya karya Gede Manik yang menjauhkan stigma kebyar sebagai tekstur dengan fitur meter non-siklis, fluktuasi tempo secara mendadak.
Menurut Pany dalam sinopsis karyanya, penerapan berbagai teknik komposisi, seperti retrograde pada tekstur kotekan, augmentasi lintas strata, tempo, adalah upaya kamuflatif yang menjadi dasar pijakan berkomposisi. Pola ocak-ocakan pada bagian akhir mengadopsi fitur bapang dengan tidak lagi mempertahankan aturan kolotomik yang menandai jarak-jarak temporal secara simetris dan konsisten.
Hal-Hal yang Menarik
Pada gong mebarung antara Banjar Paketan dan Desa Umejero kemarin terdapat beberapa hal yang berbeda dan menarik untuk dibahas. Selain perbedaan materi yang dibawakan, jenis gong dan rata-rata usia penabuh juga berbeda. Sekaa Eka Wakya Banjar Paketan membawa dua tabuh hasil rekonstruksi sedangkan Sanggar Seni Wahana Santhi menghidangkan dua tabuh hasil reinterpretasi Terunajaya karya Gde Manik.
Kata “rekonstruksi” dan “reinterpretasi” tentu memiliki makna yang berbeda. Rekonstruksi berasal dari kata “konstruksi” yang berarti pembangunan. Kata tersebut kemudian ditambah imbuhan “re” menjadi “rekonstruksi”. Jadi, rekonstruksi dapat diartikan membangun kembali atau mengembalikan seperti semula. Dan memang begitulah yang dilakukan Sekaa Eka Wakya. Tabuh Nem Lelambatan Galang Kangin dan Subali sugriwa, sekali lagi, bukan karya baru—atau hasil ciptaan baru—dalam jagat gong kebyar.
Berbeda dengan apa yang dilakukan Sekaa Eka Wakya, Sanggar Seni Wahana Santhi (dalam hal ini I Ketut Pany Ryandhi) lebih memilih menafsir kembali (reinterpretasi) komposisi Terunajaya yang sudah “mapan”. Penafsiran ulang ini dilakukan atas dasar pembacaan dekat Pany Ryandhi atas komposisi yang termuat dalam karya yang melambungkan nama Gde Manik itu.
“Selain dihubungkan dengan berbagai intrik komposisi musik, Terunajaya juga terdiri dari diam; sebuah refleksi yang mengingatkan sejauh mana semuanya berlalu, dan bagaimana mengantisipasi masa depan,” terang I Ketut Pany Ryandhi, komponis muda Buleleng, pada saat bincang seniman seusai kedua sekaa gong sama-sama menampilkan tabuh-tabuhnya.
Dek Pas Kocok Wiesutha (kiri), Ketut Pany Ryandhi (tengah), dan Wayan Gde Yudane (kanan) saat “Bincang Seniman” seusai gong mebarung | Foto: Rusdy
Sebagai seniman sekaligus intelektual-akademis, Pany mencoba menawarkan, seperti yang telah disinggung di atas, pembacaan “baru” atas Terunajaya. Menurutnya, dengan menjauhkannya dari konvensi tradisi, itu akan memungkinkan kita melihat sesuatu di masa depan.
Pany memiliki pemikiran bahwa dalam Terunajaya ada ruang diam—bahkan dalam Taruna II, selain memasukkan rebab, ia juga menambahkan permainan-permainan kecil yang nyaris tak terdengar. Baginya, karya ini terbuka atas tafsir—dan itulah spirit yang ingin ia sampaikan.
“Saya bisa memainkan gamelan dari kebyar. Dan saat memainkannya, seolah saya mendapat semangat lain. Sebenarnya saya sulit mengutarakannya dengan kata-kata. Tetapi, saat mendengarkan atau memainkan kebyar, saya merasakan kebebasan,” ujar Pany.
Selain materi tabuh, gong yang masing-masing grup mainkan juga berbeda. Sekaa Eka Wakya menggunakan gamelan berbilah yang dipacek, sedangkan Sanggar Seni Wahana Santhi memainkan gamalen berbilah yang digantung. Dalam khazanah gong kebyar, menurut sebagian orang, dua jenis gong ini identik dengan utara dan selatan. Gong mepacek mewakili Bali Utara, sedangkan gong megantung mewakili Bali Selatan.
Namun, malam itu, tak jelas apa alasan atau pertimbangan kedua grup memilih gamelan yang berbeda. Tapi menurut Dek Pas Kocok, mungkin, itu hanya soal teknis saja. “Gaya (tabuh) Buleleng itu kan cepat dan banyak kekotekan, terutama gending-gending kunonya. Makanya, mungkin, saat memaki gamelan mepacek, itu lebih tekek—kukuh,” ujarnya.
Sekadar menyebut satu hal lagi, jika penabuh dari Sekaa Eka Wakya semua berjenis kelamin laki-laki—dan beberapa sudah berusia lanjut, sebaliknya, Sanggar Seni Wahana Santhi justru terdiri dari laki-laki dan perempuan—dan semua masih sangat muda. Percampuran penabuh di Sanggar Seni Wahana Santhi seolah menunjukkan bahwa karakter mereka sangat terbuka (tidak konservatif), menjunjung kesetaraan, dan berpikiran lebih maju.
Sampai di sini, terlepas dari banyak hal di atas, gong mebarung adalah warisan masa silam yang membawa semangat konstruktif antarseniman. Dari gong mebarung seniman belajar menguji diri dan barangkali juga mendapat “pengakuan” dari sana. Ini semacam medan laga untuk unjuk “kesaktian”.
Maka wajar jika di masa-masa awal Kebyar, sebagaimana percakapan Edward Herbst dengan I Made Monog (2007), sekaa-sekaa zaman dulu bahkan sampai mengirim mata-mata—untuk pergi memanjat pohon sekitar tempat latihan lawan dalam jarak sependengaran dan sepengelihatan—dengan harapan dapat mengetahui ciptaan terkini yang akan dipertandingkan oleh kelompok lawan dalam perlombaan (mebarung) berikutnya.
Namun, walau “persaingan” (mebarung) merangsang kreativitas, dunia seni—dalam hal ini gong kebyar—di Bali tidak serta-merta hanya terbangun dari itu saja, tapi juga berkembang dari hasil kerja sama yang baik dan erat antara seniman dari berbagai desa dan daerah yang berbeda, sebagaimana dicatat oleh Miguel Covarrubias dalam “Island of Bali” (1937) itu.[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana Ole