SEJAK pagi menjelang siang, orang-orang mengantre, mengisi administrasi, di dalam sebuah bangunan dengan empat tiang teras yang menjulang itu. Orang-orang itu datang ke sana—dan mengantre—untuk menghadiri pembukaan pameran yang digelar Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
Sekira setengah jam sejak tamu undangan memenuhi kursi acara, pembukaan pameran baru dimulai. Dua pemandu acara memberi salam dan penghormatan-penghormatan. Lalu mempersilakan orang paling “penting” dalam acara tersebut untuk maju ke dapan dan memberi sambutan sekaligus membuka pameran secara resmi.
“Pameran ini adalah tangkapan ekspresi budaya dari jalur rempah,” ujar Hilmar Farid, Direktur Jendral Kebudayaan Mendikbudristek, orang “penting” yang dimaksud, saat membuka Pameran Telu: Spice Market-Balinese Culture Art-Subak Cultural Landscape secara resmi, Selasa (21/5/2024) siang.
Replika lanskap subak di pameran “Telu” | Foto: Jaswanto
Pameran tersebut dibuka dan berlangsung di Museum Pasifika, Complex Bali Tourism Development Corporation (BTDC), Kuta Selatan, Badung, dari tanggal 21-25 Mei 2024. “Telu”, yang bermakna “tiga” dalam bahasa Jawa-Bali, tidak hanya mencerminkan filosofi Tri Hita Karana yang mendalam, melainkan juga menghidupkan kembali kearifan kuno melalui serangkaian pengalaman yang memikat.
“Telu” merupakan pameran hidup yang menyajikan pemutaran film dokumenter, lokakarya mini, presentasi kuliner, pameran produk kerajinan, dan teknik pemetaan video untuk menyampaikan secara visual konsep filosofis subak dan jalur rempah yang mendalam.
Menurut Hilmar, subak dan spice route (jalur rempah) telah menunjukkan prinsip-prinsip kesejahteraan bersama dengan menunjukkan bagaimana praktik pengelolaan air berkelanjutan bisa memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat, mendorong stabilitas ekonomi, kohesi sosial, dan pengayaan budaya.
Dalam kehidupan masyarakat Bali, dua kearifan lokal tersebut—subak dan rempah—telah menjadi ciri khas yang tak tergantikan. Manajemen air melalui subak dan penggunaan rempah-rempah dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan Bali semakin otentik.
Sejak dulu hingga kini, keduanya tetap lestari, menjadi tulang punggung budaya Bali yang kaya. Mengambil langkah pertama menuju penjelajahan yang mendalam terhadap kekayaan budaya Bali, “Telu” hadir sebagai titik temu harmoni dan warisan masa lampau.
Bubur moreng di pameran “Telu” | Foto: Jaswanto
Sebagaimana telah diketahui banyak orang, subak adalah kearifan lokal masyarakat Bali dalam mengelola air irigasi yang telah bertahan selama lebih dari seabad lampau hingga diakui sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO pada tahun 2012. Namun, perlu diketahui, subak bukan semata mengelola air irigasi persawahan saja, tapi juga merupakan fondasi budaya, spiritual, dan keberlanjutan lingkungan hidup di Bali.
“Selaras dengan filosofi hidup Tri Hita Karana, subak dilestarikan masyarakat Bali sebagai perwujudan nilai dan laku menjaga keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan,” ujar Hilmar.
Kehidupan yang harmonis antara tiga dimensi tersebut tercermin dalam subak—sebagai salah satu gambaran bagaimana umat manusia ingin secara bersama mewujudkan kesuburan, kemakmuran, dan kebahagiaan yang berlangsung terus menerus hingga bertahan dalam peradaban.
Di balik kemegahan subak, sistem irigasi tradisional Bali itu, terletak harmoni alam dan masyarakat. “Telu” membawa Anda untuk menemukan kearifan mendalam dalam praktik kuno ini, yang menjadi warisan abadi untuk pertanian berkelanjutan.
Seorang ibu sedang memintal benang di pameran “Telu” | Foto: Jaswanto
Tak hanya memamerkan sistem subak dalam bentuk audio-visual, “Telu” juga memperlihatkan ragam ekspresi budaya dalam jalur rempah (spice route) Bali, yang meliputi kerajinan, tarian, kuliner, dan obat-obatan.
Secara imajinatif, jalur rempah adalah suatu lintasan peradaban dalam bermacam bentuk, berupa garis lurus, lingkaran, silang, bahkan berbentuk jejaring. Jalur perdagangan antarbenua itu dikenal dengan “jalur rempah”—merujuk kepada salah satu komoditas utama perdagangan pada zaman kejayaannya, yaitu rempah.
Bersama dengan komoditas bernilai lainnya, rempah menyusuri pelabuhan demi pelabuhan dari Asia hingga Eropa. Dalam konteks perkembangannya di Bali, rempah tumbuh dari bagian utara Bali yang merupakan salah satu titik berlabuh dan bertolaknya rempah Nusantara. Para pelawat manca negara, terutama India dan Cina, telah tiba di Bali sejak awal abad Masehi.
Hingga saat ini, masyarakat Bali, secara kreatif, masih melestarikan rempah dan memanfaatkannya untuk kepentingan ketahanan alam, elemen ritual, ramuan pengobatan dan perawatan, serta mengembangkan gastronomi. Hal ini membuktikan bahwa jalur rempah adalah jalur budaya dan jalur perdagangan sekaligus—yang selama berabad-abad—dapat kita teroka jejak legasinya dalam masyarakat dunia, termasuk Indonesia.
“Telu”, dengan segala keterbatasannya, berusaha menampilkan ragam budaya di jalur rempah Bali, seperti sistem subak; proses pembuatan kain dari mulai ngelos, pempenan, sampai tenun; memperlihatkan ragam kuliner dari sate lilit, lawar, arak kunyit, bubur moreng, sampai bumbu-bumbuan seperti basa rajang dan basa genep; juga memamerkan rempah-rempah untuk merawat kecantikan seperti lulur beras dan sebagainya.
Basa rajang dan basa genep di pameran “Telu” | Foto: Jaswanto
Menelusuri pengetahuan tentang sistem subak dan pasar rempah pada jalur rempah-rempah kuno, “Telu” mengajak kita untuk menyingkap penghormatan atas air dan kenikmatan aromatik yang khas. Di sana kita akan menemukan pengetahuan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan; kekayaan cita-rasa, wewangian, dan kuliner eksotis Bali.
Melalui seni yang dinamis, bergerak, hidup, “Telu” mengungkap jiwa Bali. Di Museum Pasifika, keindahan Bali dapat dilihat dalam setiap sapuan kuas dan gerakan tarian, kelezatan dan keharuman rempah yang memperlihatkan kekayaan warisan dan kreativitas tak terbatas. Ini merupakan perjalanan yang tak terlupakan menuju jantung budaya Bali.
Selain pameran, Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan juga menggelar diskusi tentang “Sistem Subak dan Jalur Rempah” selama perhelatan World Water forum (WWF) ke-10 di Bali. Diskusi berlangsung di BICC pada tanggal 21 Mei 2024.
Diskusi yang menghadirkan Wakil Direktur Jenderal UNESCO, Xing Qu, dan Pengelola Pura Ulun Danau Batur sakligus dosen di Universitas Udayana, I Ketut Eriadi Ariana, sebagai narasumber dan pemantik itu, sebagaimana pameran “Telu”, bermaksud memperlihatkan kearifan lokal Indonesia terkait manajemen sumber air tradisional sebagai ejawantah filosofi Tri Hita Karana.
Hilmar Farid mencicipi sate lilit di pameran “Telu” | Foto: Jaswanto
Diskusi tentang subak dan jalur rempah pada perhelatan WWF ke-10 ini berkaitan dengan tema yang diangkat, yakni “Air untuk Kesejahteraan Bersama”. Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, menyatakan bahwa pameran dan diskusi ini sengaja dihadirkan agar berbagai pemangku kebijakan dan kepentingan di bidang manajemen air, baik nasional maupun internasional, melihat kearifan lokal memiliki peran penting dalam hal tersebut.
Lebih lanjut, Hilmar menjelaskan bahwa sistem subak sangat lekat dengan manajemen sumber air untuk kesejahteraan bersama, dan jalur rempah mengikat dan menghubungkan antarsuku bangsa dengan komoditas rempah melalui jalur air, yakni laut dan samudera.
Kedua Warisan Budaya tersebut mengejawantahkan filosofi Tri Hita Karana—sumber kesejahteraan dan kebahagiaan dengan menjaga keharmonisan antarketiga unsur: parahyangan (Tuhan), pawongan (manusia), dan palemahan (lingkungan).
“Kami ingin memperlihatkan kepada dunia, bahwa Indonesia dapat menjadi rujukan bagaimana pengelolaan air secara berkelanjutan sudah dilakukan sejak abad ke-9. Sistem subak adalah contoh konkret, itu kenapa disebut Warisan Dunia,” kata Hilmar.
Melalui kegiatan ini, diharapkan dapat membangun kesadaran para pemangku kebijakan dan kepentingan tentang pentingnya pengarusutamaan kebudayaan dalam pembangunan, khususnya dalam manajemen air di dunia.[T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole