SEBAGAi daerah tujuan wisata utama, tidak hanya di Indonesia tetapi juga dunia, bisnis perhotelan berkembang sangat pesat di Bali. Investasi di bidang ini merupakan salah satu yang terbesar dan menghasilkan pendapatan yang tinggi bagi Bali karena kebutuhan orang untuk menginap yang semakin banyak.
Selain jumlah, karakteristik wisatawan yang ke Bali pun terus berkembang. Kini, banyak tipe wisatawan dengan tuntutan kebutuhan penginapan yang berbeda-beda.
Akibatnya, muncul jenis-jenis penginapan yang juga beragam. Mulai dari yang super mewah, Bintang 5 ke atas, sampai tipe penginapan bungalow di tengah sawah dan hotel tengah kota. Bentuk dan desainnya pun menyesuaikan dengan diversitas selera wisatawan yang menginap. Hal ini menjadikan Bali sebagai pulau dengan kekayaan desain akomodasi wisata yang tinggi.
Tetapi, bagaimana semua hal ini berawal? Sejak kapan ada hotel di Bali? Bagaimana desain awalnya? Apakah terjadi transformasi dalam hal desain di masa awal pariwisata tumbuh?
Tulisan singkat ini menggali desain-desain awal penginapan dan transformasinya mulai dari awal pengembangan hingga mati surinya pariwisata di Bali saat perang dunia ke-2 yang pecah tahun 1938 di Eropa.
H. Van Kol, seorang anggota parlemen Belanda yang juga insinyur pengairan, sering dianggap sebagai turis asing pertama yang datang ke Bali. Ia datang pada tahun 1902 bukan atas tugas dan biaya negara tetapi keinginan dan biaya sendiri.
Kunjungan H. Van Kol itu dilaksanakan setelah lebih setengah abad Buleleng ditaklukan oleh Belanda, keadaan yang sudah cukup aman bagi turis untuk melancong.
Kondisi jalan masa itu tentu tidak sebaik sekarang. Hal tersebut, ditambah dengan Bali bagian selatan yang masih dikuasai oleh raja-raja lokal, membuat kunjunganya terbatas pada Bali bagian utara dan sedikit ke arah timur. Keterbatasan daya jelajah ini bisa jadi juga disebabkan belum tersedianya tempat menginap yang cukup aman baginya bermalam.
Umumnya, yang datang ke Bali masa itu adalah pegawai yang menginap di kantor-kantor milik pemerintah yang dilengkapi fasilitas untuk bermalam.
Laporan perjalanan menjadi media yang efektif untuk mengenalkan pulau-pulau dan wilayah-wilayah asing di timur kepada pembaca di Eropa yang penasaran. Laporan perjalanan H. van Kol di wilayah- wilayah jajahan, ditulis sepanjang 800 lebih halaman di mana 120 halaman narasi tentang Bali termasuk di dalamnya, mengenalkan Bali kepada dunia luar yang jauh di Eropa.
Meski demikian, narasi van Kol jauh dari positif, ia memberi peringatan kepada pelancong berikutnya tentang hal-hal negatif yang mungkin akan dijumpai di Bali.
Setelahnya, para petualang, termasuk di dalamnya seniman, antropolog hingga penulis datang dengan berbagai motif termasuk mencari inspirasi hingga mengumpulkan koleksi eksotis dari dunia yang jauh dari tanah kelahirannya. Ini ditunjang dengan semakin majunya teknologi pelayaran yang memungkinkan perjalanan jauh dilakukan dengan lebih aman dan jangka waktu yang lebih pasti.
Di antara para pelancong awal, W.O. J. Nieuwenkamp penting disebut berkat laporan perjalanan bergambarnya yang memberi imaji lebih nyata tentang tanah yang jauh dari Eropa.
Bali bagian selatan ditaklukkan secara berturut-turut tahun 1906 dan 1908. Setelah penaklukan itu, Bali dianggap lebih aman, karena tidak ada lagi perlawanan penguasa lokal, untuk dikunjungi oleh pelancong dan warga kulit putih lainnya. Orang-orang dengan motif berwisata berdatangan.
Pelancongan mulai menjadi bisnis. Seorang pengusaha Armenia, Minas, memiliki sebuah biro dengan puluhan mobil yang siap melayani perjalanan ke berbagai wilayah di Bali. Tidak banyak catatan yang bisa saya gali terkait keberadaan dan kiprahnya. Setidaknya, orang-orang Armenia tinggal dan berbisnis di beberapa kota Hindia Belanda termasuk Batavia, Surabaya, Singaraja dan Makassar. Kedekatan mereka dengan bangsa Belanda memfasilitasi kiprahnya di tanah yang jauh dari negeri asalnya.
Sebuah buku kecil berjudul “Bali en Lombok, Reisgids voor Toeristen“ karya Dr. A. H. Pareau terbitan Amsterdam – J.H. De Bussy tahun 1913 menjadi bukti tanah di timur Jawa menarik untuk dijelajahi. Saat itu, wilayah Bali utara dan selatan sudah dihubungkan oleh dua buah jalur di barat dan timur. Jalur barat melewati Bubunan, Munduk Baturiti, Tabanan hingga Denpasar. Sementara jalur timur melewati Tamblang, Kintamani, Kayubihi, Bangli, Gianyar, Klungkung, Muncan, Karangasem dan juga berakhir di Denpasar.
Itu tentu saja bukan perjalanan yang singkat. Untuk bisa mengunjungi semua kawasan yang disebut tadi, dibutuhkan waktu setidaknya 6 hari. Mereka yang ingin berwisata lebih singkat, bisa menempuh waktu 3 hari tetapi tidak menjangkau seluruh kawasan. Baik yang 6 maupun 3 hari tentu saja mensyaratkan tempat menginap.
Pariwisata yang berkembang menyebabkan pemerintah menaruh perhatian. Penginapan-penginapan awal yang dibangun dalam bentuk pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kemudian disewakan untuk pengunjung umum. Beberapa di antaranya ditambahkan kamar di bagian belakang untuk meningkatkan kapasitas.
Dalam laporan buku panduan wisata yang ditulis tahun 1935 oleh Soe Lie Piet berjudul “Pengoenjoekan Poelo Bali” disebutkan sudah ada beberapa pesanggrahan yang bisa dijadikan tempat bermalam. Lokasi pesanggarah tersebar di jalur barat dan timur, yaitu di Baturiti, Bedugul, Gitgit, Karangasem, Kintamani, Klungkung, Munduk, Negara, Petang, Pulukan, Selat, Singaraja, Tirta Empul.
Di Kintamani terdapat dua buah pesanggrahan satunya milik perusahaan pelayaran, KPM, dan satunya lagi milik pemerintah. Sementara di Denpasar sudah tersedia hotel yaitu Bali Hotel dan Satrya Hotel milik orang Eropa dan Oriental Hotel milik orang Tionghoa.
Sebaran itu menunjukkan bahwa jalur pelancongan dimulai dari Bali utara dan bergerak ke Bali selatan, Sekaligus menunjukkan bahwa masa sebelum perang dunia ke-2, pariwisata berkembang baik di Bali.
Sebagai bangunan yang awalnya dirancang untuk keperluan pemerintah, wujud fisik pesanggrahan dirancang sesuai kebutuhan pegawai yang menginap. Bangunan dibuat dalam beberapa kamar dengan organisasi ruang yang sederhana. Fungsi utama, sebagai tempat istirahat, mendapat porsi yang paling besar dalam bentuk kamar tidur. Tidak banyak ruang lain yang tersedia bahkan toilet dan kamar mandinya yang dipakai secara bersama terletak di bangunan terpisah bersama dapur dan ruang pelayan. Tugas pegawai pemerintah yang lebih banyak bekerja di luar pesanggarahan tidak mensyaratkan adanya ruang utama lain selain tempat untuk beristirahat.
Desain ini kemungkinan sudah menjadi pakem di seluruh wilayah Hindia Belanda. Hal ini terlihat dari ketiadaan unsur lokal dalam fisik bangunannya yang berupa struktur tunggal menghadap jalan di dalam sebidang plot lahan yang cukup luas.
Tiang-tiang kayu yang menyatu dengan dinding berwarna putih menjadi penopang atap berbentuk gable yang tinggi. Bagian dinding ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan bangunan tradisional di Bali yang menggunakan proporsi tubuh manusia sebagai patokan bangunan. Jendela-jendela besar di sekujur dinding bangunan mendinginkan ruang dalam di wilayah yang relatif lebih panas dan lembab dibandingkan di Eropa.
Penggunaan material kayu sebagai struktur utama ini nampaknya mempertimbangkan segi kepraktisan karena bangunan pesanggarahan yang tidak selalu terletak di sekitar pusat kota dengan mobilisai material yang mudah. Dengan menggunakan kayu, pengerjaan bisa dilakukan di workshop dan diangkut dalam bentuk setengah jadi.
Pesanggarahan di Kintamani sekitar tahun 1921, bandingkan ukuran manusia dengan tinggi bangunan | Foto: KITLV
Guesthouse milik KPM di Kintamani | Foto: KITLV
Meski demikian, ada juga pesanggarahan yang memiliki ruangan yang lebih lengkap. Tipe ini bisa dijumpai pada pesanggarahan yang lokasinya ada di daerah dengan fasilitas infrastruktur yang lebih memadai. Di Klungkung, misalnya, pesanggarahan dilengkapi juga dengan ruang makan dan halaman luas tempat jamuan makan malam serta pertunjukan tari.
Guest house di Gitgit | Foto: KITLV
Di daerah Gitgit, pesanggrahan dibuat dengan dinding bata yang tebal. Desainnya tidak jauh berbeda dimana dindingnya terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan tempat tinggal masyarakat. Bagian halaman dilengkapi taman.
Hotel pertama di Denpasar, Bali Hotel, juga awalnya merupakan pesanggarahan tempat para pegawai KPM bermalam. Di akhir tahun 1920-an, bangunannya direnovasi untuk menambah jumlah kamar yang disewakan kepada wisatawan. F.J.L Ghijsels yang memiliki jasa konsultansi arsitektur terbesar di kawasan Hindia Belanda, AIA (Algemeen Ingenieur Architectenbureau), menjadi perencananya. Ghijsels mengerjakan hampir semua proyek-proyek milik perusahaan pelayaran kerajaan Belanda tersebut di Hindia Belanda.
Bali Hotel milik KPM di pusat Kota Denpasar | Foto: KITLV
Seperti karya AIA lainnya dimana kesederhaan menjadi pakemnya, desain hotel ini berwujud arsitektur tropis modern dengan dinding pemikul tebal, atap tinggi, teras lebar dan bukaan-bukaan dengan prinsip ventilasi silang. Strategi yang sesuai untuk membuat ruang dalam menjadi sejuk dan cocok untuk orang berkulit terang yang tidak tahan terhadap panas terik di kawasan khatulistiwa.
Halaman luas ditanami rumput. Sebuah ruang pertemuan besar dipakai untuk rapat-rapat resmi pemerintah, sementara ruang pertemuan terbuka dipakai sebagai tempat perjamuan. Bangunan terakhir ini memiliki desain yang mirip dengan bangunan wantilan: atap lebar ditopang deretan tiang kurus tanpa dinding.
Bali Hotel menjadi penginapan utama di Bali selatan. Dalam waktu-waktu tertentu, pertunjukan tradisional dipentaskan untuk menghibur serta memberi tontonan kepada tamu. Manajemen hotel juga menawarkan layanan perjalanan dengan mobil dan sopir yang siap mengantar tamu hotel ke obyek-obyek wisata utama di seluruh pulau.
Dengan segala layanannya, hotel ini menjadi yang paling representative untuk berbagai jenis kegiatan. Konferensi Denpasar, sebuah pertemuan yang menghasilkan kesepakatan berdirinya Negara Indonesia Timur sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat, dilaksanakan di hotel ini pada tahun 1946.
Seniman Walter Spies mengritik bangunan-bangunan pemerintah yang dibangun tidak dengan referensi arsitektur lokal. Baginya, Bali termasuk arsitekturnya harus dipertahankan sebagaimana aslinya. Ke’asli‘an yang berakar dari kejujuran atau keluguan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi Bali di mata seniman yang haus terhadap eksotika timur. Tempat-tempat dengan karakter dan identitas yang berbeda dengan dunia Barat, wilayah-wilayah di mana mistisisme, animisme, ritual dan keseharian yang tidak mudah dipahami dengan logika mampu memenuhi imajinasi keseniannya.
Untuk dirinya sendiri, Spies membangun sebuah studio di tepian sebuah sungai di Ubud. Hunian ini dibuat dengan mengambil inspirasi dari bangunan wantilan dan dikerjakan oleh arsitek/undagi lokal. Materialnya sama serupa dengan yang dipakai untuk bangunan-bangunan tradisional yang ada di sekitarnya. Atapnya alang-alang, tiang-tiang dari kayu kelapa, dan, dimana dibutuhkan, dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Wujudnya yang serupa dengan struktur lain disekitarnya, membuatkan menyatu dengan mudah, menjadi bagian integral dari permukiman warga.
Rumah Studio yang dibangun oleh Walter Spies bersama undagi lokal | Foto: KITLV
Studio Spies ini lalu menerima kunjungan dari seniman, penulis, antropolog dan turis. Akhirnya, beberapa bangunan baru ditambahkan dan menjadi penginapan kecil. Sesekali, pertunjukan kesenian juga dipentaskan di halamannya yang luas dilengkapi kolam.
Selain Spies, masih ada beberapa seniman yang datang dan bermukim di Bali sekitar akhir 1920-an hingga pertengahan 1930-an. Para seniman awalnya datang sebagai turis namun memutuskan untuk tinggal lebih lama. Berdiam di hotel tentu saja menjadi mahal untuk waktu panjang sehingga beberapa di antaranya mencari alternatif.
Arthur Fleischmann membangun studio patung di Denpasar dalam bentuk bungalow yang terpisah dari permukiman penduduk. Ia menikmati kesunyian dan menyebutkan saat malam ada ribuan kunang-kunang mengitari tempat tinggal dan studionya.
Pelukis Belgia Adrien-Jean Le Mayeur de Merpres tinggal di Sanur sejak tahun 1934 disusul oleh pelukis Swiss, Theo Meier, juga di kawasan yang sama setahun kemudian. Pelukis yang disebut belakangan lalu pindah ke Karangasem di Bali bagian timur.
Musikus Collin McPhee untuk waktu singkat tinggal di sebuah bangunan yang ada di lingkungan rumah penduduk di Denpasar sebelum akhirnya memutuskan membangun sendiri rumahnya dalam desain yang meniru rumah penduduk lokal di Sayan, dekat Ubud dengan bantuan undagi lokal. Tidak seperti seniman lain yang hanya membangun bangunan tunggal, McPhee memilih untuk membuat sebuah compound terdiri atas beberapa struktur lengkap dengan sanggah. Mirip rumah tradisional Bali di kawasan tersebut.
Berbeda dengan bangunan yang dibuat oleh pemerintah yang umumnya dikerjakan oleh kontraktor China, para seniman lebih suka melibatkan tukang dan undagi lokal untuk mewujudkan desain rumah atau studionya. Ini memberi wawasan baru bagi seni ketukangan lokal karena bangunan tradisional Bali tidak bisa langsung ditempati oleh penghuni internasional. Penyesuaian, modifikasi dan inovasi struktural mulai dipraktekkan. Ada banyak perbedaan pendapat dan juga perdebatan dalam prosesnya dimana golongan kulit putih ingin bangunan cepat selesai sementara proses membangun secara lokal butuh hari baik, material yang harus dikumpulkan satu persatu dan dalam pengerjaan, para tukang seringkali harus meninggalkan lokasi jika ada upacara adat di kampungnya. Hal ini diceritakan cukup detail dalam buku “A House in Bali” tulisan Collin McPhee.
Seni ketukangan lokal semakin mendapat tempat saat pemerintah kolonial ikut serta dalam Pameran Colonial di Paris tahun 1931. Untuk mewujudkan pavilion, pemerintah mengadakan sayembara sketsa desain dengan persyaratan salah satunya menyebutkan:
…bangunan harus otentik; …. memiliki karakter Hindia (sebutan Indonesia masa itu). Oleh karena itu, bangunan tersebut tidak diperbolehkan untuk meniru bangunan yang sudah ada atau dirancang dengan “gaya pameran konvensional…”
Arsitek P.A.J. Moojen, Ketua Kehormatan Asosiasi Lingkaran Seni India Belanda, anggota dari Komisi Umum dalam delegasi Belanda menyebutkan bahwa selain menunjukkan kemajuan pengelolaan tanah jajahan, delegasi Belanda juga harus menunjukkan gambaran umum tentang pengetahuan dan kemampuan masyarakat adat.
Sebelumnya, Moojen sendiri pernah terlibat dalam beberapa proyek konservasi di Bali pasca gempa tahun 1917. Sebelum itu, ia juga ikut dalam tim pelaksana pembangunan Museum Bali di Pusat Kota Denpasar yang berwujud bangun-bangunan tradisional.
Paviliun Hindia Belanda pada Pameran Kolonial Internasional di Paris tahun 1931 | Foto: KITLV
Paviliun Hindia Belanda di Paris tahun 1931 | Foto: KITLV
Arsitektur paviliun yang terbangun menggambarkan gabungan antara arsitektur bangunan-bangunan di Sumatera dan Jawa serta, terutama, di Bali. Pintu gerbang megah, candi bentar, tembok keliling pavilion semua menggambarkan arsitektur yang ada di Bali. Dua tower serupa meru bertumpang 11 tampak dominan meski mengapit atap besar terinspirasi oleh arsitektur Sumatera. Pementasan tari dan kesenian Bali setiap hari memperkuat kesan itu. Imaji ini menancap di benak audien Eropa, membentuk identitas imajiner Bali di kepala orang yang belum pernah mengunjungi pulau ini.
Saya menduga, identitas imajiner ini turut mempengaruhi kebijakan pemerintah di tahun 1930-an. Seruan untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan Bali untuk menjaga serta mengonkretkan identitas ini diwujudkan melalui apa yang kita kenal “Baliseering“. Peneliti pariwisata Picard menyebutnya Balinisasi Bali atau mem-Bali-kan Bali untuk membuatnya menjadi museum hidup kebudayaan timur.
Jika berhasil, secara ekonomi ini menguntungkan karena akan mendatangkan wisatawan. Secara politik akan memperkuat kedudukan pemerintah kolonial guna membendung arus nasionalisme yang sedang tumbuh di Jawa dengan membuat orang Bali menolak ide kemajuan yang diimajinasikan berasal dari Jawa. Secara artistik, ini akan menyediakan lahan eksplorasi yang tiada batas bagi seniman-seniman barat. Secara sosial, masyarakat Bali tidak perlu beralih dan menyesuaikan diri dengan sistem-sistem baru.
Imbasnya ada pada imajinasi para turis yang berkunjung setelahnya. Banyak yang berusaha mencari yang ‘asli Bali‘ seperti imajinasi yang terlanjur terbentuk. Dari sini, desain penginapan modern mulai kehilangan pamor. Orang lebih memilih untuk mencari pengalaman hidup dalam alam Bali, bukan dalam kungkungan penginapan modern berdinding putih tebal berdesain modern.
Pasangan Louis dan Robert Koke menangkap arus perubahan ini. Sebagaimana diceritakan dalam bukunya ”Our hotel in Bali: How two young Americans made a dream come true”, mereka merancang sebuah hotel tepi pantai dengan imajinasi perkampungan tropis. Bangunan kayu beratap alang-alang dengan dinding gedeg bambu di mana tamu akan merasakan sensasi lokal yang kental.
Kuta Beach Hotel milik pasangan Robert dan Louise Koke | Sumber: BukuOur Hotel in Bali-Louise Koke
Untuk memperkuat karakter setempat, semua pelayan berpakaian tradisional. Setiap sore ada alunan musik tradisional yang akan terdengar. Makanan lokal disajikan di atas meja di bawah pohon kelapa yang memberi keteduhan.
Saat mulai beroperasi, hotel ini mendapat sambutan yang baik. Wisatawan datang menginap silih berganti membuat kamar-kamar selalu penuh. Pemerintah nampak tidak senang. Louise, dalam bukunya menuliskan jika mereka sering mendapat intimidasi. Tamu-tamu yang menginap juga diberi warning karena kondisi hotel dianggap jorok dan tidak sesuai dengan standar higienis bangsa Eropa.
Intimidasi serupa juga dialami oleh Collin McPhee saat memutuskan pindah dari Bali Hotel ke rumah penduduk. Tetapi, kuatnya imajinasi tentang eksotika Bali tidak bisa dicegah, tamu tetap berdatangan membuat pasangan tersebut untung besar.
KPM, perusahaan pemilik beberapa pesanggarahan, akhirnya menyerah dan mulai mengikuti selera pasar. Mereka menugaskan Walter Spies, yang dianggap memiliki pengetahuan artistik lokal, untuk merancang sebuah penginapan baru yang akan mereka operasikan di tepian Danau Beratan. Pemerintah juga menugaskan Spies untuk merancang beberapa sekolah dalam wujud yang terinspirasi dari seni membangun tradisional.
Museum Bali, yang digagas sejak tahun 1910-an akhirnya juga dibuka untuk umum pada tahun 1932 dengan Spies sebagai kuratornya. Museum akan menjadi rumah bagi koleksi eksotis Bali yang sebelumnya banyak diangkut dan diperjualbelikan secara internasional terutama di Eropa. Untuk memenuhi ambisi tersebut, diterbitkan larangan ekspor barang seni dari Bali ke luar daerah.
Bungalow milik pelukis Belanda C.L.Dake | Foto: KITLV
Masa tahun 1930-an sepertinya adalah periode di mana pemahaman tentang identitas mulai tumbuh. Majalah ilmiah Djawa edisi tahun 1936 memuat beberapa persoalan tentang modernitas yang berlangsung di Bali. Salah satunya, artikel foto yang meyebutkan mana bangunan yang “BENAR” serta mana yang “SALAH“. Kategori “BENAR“ tentu saja jatuh kepada karya yang menggunakan material lokal, dengan ornamen lokal dan merupakan produk dari para tukang setempat. Berkebalikan, yang dianggap “SALAH“ adalah bangunan-bangunan beton yang saat itu mulai masuk ke Bali.
Wacana untuk mem-Bali-kan Bali terutama di bidang arsitektur ini mandeg karena pada tahun 1938 pecah perang dunia kedua di Eropa yang merembet hingga ke Asia Tenggara termasuk Bali. Orang-orang Eropa dan Amerika pergi meninggalkan Bali. Walter Spies ditangkap dan dideportasi. Kapal yang membawanya terkena bom dan tenggelam. Pasangan Koke kembali ke Amerika dan meninggalkan hotelnya di Kuta.
Dari perjalanan ini, dengan data yang masih cukup terbatas, kita bisa melihat bahwa arsitektur penginapan/perhotelan di Bali mengalami transformasi. Masa inkubasi pariwisata pra 1930-an menyaksikan pembangunan beberapa fasilitas dengan desain yang serupa dengan fasilitas sejenis di Jawa dan Sumatera.
Pasca 1931, terutama berkat beberapa individu kreatif, desain bangunan pariwisata mengalami pergeseran dengan mulai mempertimbangkan keunggulan desain lokal. Pameran kolonial di Paris tahun 1931 menjadi titik balik penting dalam arah pembangunan di Bali setelahnya. Dukungan untuk membangun dengan cara lokal guna menciptakan sebuah wilayah eksotis yang menjaga tradisi klasik abad pertengahan menjadi kiblat utama kebijakan. Ini menunjukkan bahwa ekonomi dan politik memainkan peran yang signifikan dalam transformasi pembangunan di Bali. [T]
BACA artikel-artikel lain dari penulisGEDE MAHA PUTRA