Fakta-Fakta Yang (Seakan) Tabu Diungkap
Sudah menjadi kepercayaan publik bahwa perguruan tinggi merupakan sumber ilmu pengetahuan, teladan integritas, produsen budaya, atau pintu gerbang terakhir yang harus dilewati mahasiswa untuk menjadi profesional di dunia nyata kelak ketika tali toga mereka telah dipindahkan dari kiri ke kanan oleh pimpinan kampus, sebagai tanda mereka “siap” mengarungi dunia yang sebenarnya.
Banyak lagi istilah luar biasa yang dinisbatkan kepada perguruan tinggi sebagai bentuk pengakuan bahwa lembaga ini merupakan pembentuk keterampilan kognitif, mental, motorik, sekaligus spiritual bagi para mahasiswa untuk bisa sukses dengan perannya masing-masing di kehidupan.
Faktanya?
Sebagian kampus relatif berhasil mengeksekusi “tugas suci” tersebut, sebagiannya lagi—bahkan banyak yang menyatakan mayoritasnya—gagal. Skeptisme yang menyebutkan bahwa perguruan tinggi dewasa ini laiknya pabrik ijazah, menjadi kelaziman yang kerap terdengar. Konon, ada simbiosis mutualisme yang terjadi antara kampus dengan mahasiswa. Banyak mahasiswa—meskipun banyak juga yang tidak begitu—menginginkan proses perkuliahan yang “dimudahkan” dan nilai yang “dimurahkan” dari dosennya.
Demand yang cukup besar ini kemudian direspon secara pragmatis oleh kampus—dengan dalih hyper competition antar perguruan tinggi—dengan menggampangkan proses masuk/rekrutmen dan keluar/kelulusan mahasiswa. Bukan sekadar lulus tentu saja. Dengan dalih kebutuhan akreditasi, yang di antara poin “gemuk”nya adalah nilai rata-rata dan masa studi mahasiswa, dewasa ini nilai tiga koma lima ke atas nyaris menjadi nilai rata-rata kelulusan di banyak kampus—(maaf) khususnya swasta—yang kemudian secara semu dicap sebagai prestasi kampus.
Bahkan, jika satu-dua dekade lalu mahasiswa yang mampu mendapat predikat cum laude sangat langka, jangan heran jika saat ini predikat tersebut menjadi begitu mudahnya didapat. Daya magis cum laude seolah memudar. Bahkan ironisnya, tidak lagi aneh ketika kita mendengar ada dosen “ditegur” oleh pimpinan kampus ketika memberikan nilai rendah untuk mahasiswa.
Dari sisi integritas pengajarnya sendiri, bisik-bisik yang terdengar jelas di kalangan dosen mengatakan, cukup banyak dosen yang tidak cakap mengajar serta lemah dalam riset, cenderung boros nilai dan “malas” mengevaluasi hasil kerja mahasiswanya. Di kelas sekadar duduk mendengarkan mahasiswa presentasi, berkomentar berdasarkan opini pribadi, tidak didasarkan pada teori dan penelitian yang menjadi kepakaran ilmunya, lalu dengan begitu saja menyelesaikan sesi perkuliahan. Nyaris tidak ada ilmu yang ditransfer kepada mahasiswanya.
Yang lebih menggenaskan bahkan ada oknum dosen yang “membarter” nilai bagus kepada mahasiswa dengan tebusan beberapa puluh hingga ratusan ribu harga buku tulisan oknum dosen yang bersangkutan. Tak kalah ironis, dalam konteks kepemimpinan, tidak jarang mahasiswa merasa aneh ketika ada sejumlah dosen yang menurut pengamatan dan pengalaman mereka selama berinteraksi di kampus dianggap “tidak berkualitas” justru menduduki jabatan-jabatan penting di kampus yang di tangan mereka tergantung hidup matinya perguruan tinggi.
Konsekuensinya, ketika pimpinan kampus itu sendiri “tidak berkualitas”, bagaimana mungkin berharap mereka bisa menjadi teladan, mengonsolidasi kurikulum dan proses pembelajaran, serta mengawasi jalannya proses pembelajaran yang berkualitas?
Ini belum bicara soal fasilitas pembelajaran yang memprihatinkan, sementara uang pembangunan terus mengalir setiap tahun ke kocek kampus setiap tahun ajaran baru. Orientasi anggaran seolah-olah tidak diprioritaskan untuk mahasiswa sebagai kontributor finansial utama yang menggerakkan operasional kampus.
Dalam banyak kasus, mahasiswa bahkan tidak tahu kemana saja anggaran yang bersumber dari SPP/UKT yang mereka setorkan itu dibelanjakan oleh pimpinan kampus. Keterbukaan menjadi barang langka dan super mahal. Ironisnya, oknum pimpinan kampus ada yang dengan sengaja mengintervensi kepemimpinan organisasi mahasiswa atau memberikan iming-iming kepada oknum pejabat organisasi mahasiswa untuk “tidak bersuara” terhadap kondisi kampus.
Maka menjadi tidak mengherankan jika saat ini cukup banyak aktivis mahasiswa terkesan begitu garang mengkritik tata kelola pemerintah yang jauh dari kampusnya, tapi “masuk angin” dengan kondisi tata kelola kampusnya sendiri yang mungkin tak kalah bobroknya. Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak!
Lebih ironisnya, pemahaman akan prinsip kolegialisme dalam struktur kepemimpinan kampus banyak dipahami secara keliru. Perguruan tinggi sering disamakan dengan perusahaan yang sifat hubungan vertikalnya adalah manajerial—prinsip atasan bawahan. Jadi ketika seorang dosen terpilih menjadi pimpinan, seolah-olah segala titah dan perilakunya akan dianggap benar dan harus dipatuhi layaknya seorang bos perusahaan.
Padahal dalam konsep kolegialisme, pimpinan kampus bukan “majikan” dosen, melainkan sekadar dosen yang dipilih dan diberi tunjangan dalam periode terbatas untuk mengurusi administrasi, manajemen kampus, serta melayani dosen dan mahasiswa. Ketika masanya habis, maka pimpinan tersebut akan kembali menjadi dosen biasa yang duduk bersama secara sejajar di ruangan dosen.
Apa bedanya?
Prinsip kolegialisme menghalalkan kritik dan kebebasan akademik, sebaliknya prinsip manajerial, dalam batasan tertentu di kehidupan politik kampus, boleh dikatakan agak alergi terhadap kritik dan kebebasan akademik yang mengkritisi—atau setidaknya menyindir—berbagai kebijakan pimpinan yang dianggap kurang patut. Lagi-lagi, bisik-bisik bahwa mereka yang kritis cenderung “dipinggirkan” oleh pimpinan kampus, cukup santer terdengar. Bentuknya beragam, mulai dari mempersulit proses administrasi, mengurangi jam mengajar dan bimbingan mahasiswa, menghalangi keikutsertaan dalam sejumlah kegiatan, diskriminasi, mereduksi hak-hak tertentu namun disaat bersamaan memberatkan kewajiban, atau menghalangi karir struktural dan akademik dosen yang dianggap berseberangan dengan kebijakan pimpinan.
Dampaknya, terjadi perkubuan (in-group vs. out-group) dan silence behavior—sebuah kondisi dimana warga kampus lebih memilih diam (playing safe) ketika menyaksikan berbagai indikasi fraud, sexual abuse, moral hazard, tindakan inkompeten dan tidak professional, bahkan perilaku koruptif dari sejumlah oknum pimpinan kampus. Fenomena ini menjadi sebuah ironi ketika kampus yang identik sebagai pejuang dan penjaga demokrasi, justru menjadi institusi yang menghalangi demokrasi menyala di sendi-sendi kehidupan kampus.
Politisasi Rekrutmen dan Pengawasan
Tak ada asap jika tak ada api.
Tidak akan terjadi fakta-fakta di atas tanpa sebab. Ada dua mekanisme untuk mendapatkan sumberdaya manusia yang professional dan berintegritas. Di hulu, melalui proses rekrutmen dan penempatan. Di hilir, melalui proses pengawasan. Di perguruan tinggi negeri (PTN), boleh dibilang proses tersebut lebih baik karena regulasi yang berlapis, bahkan hingga melibatkan pihak eksternal seperti inspektorat, BPK, KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Hal ini dikarenakan pendanaan yang berasal dari negara dan status mayoritas SDM-nya adalah aparatur sipil negara (ASN). Tetapi jumlah PTN adalah minoritas, ± 10%-an dari total kampus di Indonesia yang mencapai 4000 lebih. Sisanya adalah swasta. Problematika rekrutmen dan pengawasan paling besar—namun jarang terungkap—ada di perguruan tinggi swasta (PTS), terutama yang berstatus medioker ke bawah.
Mayoritas sistem rekrutmen pimpinan PTS dilakukan dengan mekanisme pemilihan senat akademik sebagai perumus kebijakan sekaligus bertindak sebagai pengawas jalannya proses akademik di perguruan tinggi. Celakanya, komposisi mayoritas senat akademik di banyak PTS justru didominasi oleh jajaran pimpinan incumbent akibat adanya sistem ex-officio di mana pimpinan-pimpinan di tingkat universitas, fakultas, hingga jurusan/program studi, otomatis menjadi anggota senat akademik.
Bahkan tak jarang, rektor dan dekan sebagai kepala eksekutif pelaksana kebijakan sekaligus menjabat sebagai ketua senat akademik sebagai kepala pengawas pelaksanaan kebijakan pimpinan kampus. Regulasi mengharamkan kondisi ini pada PTN, tapi tidak pada PTS. Itu sama artinya, seorang presiden, gubernur atau bupati merangkap sebagai ketua DPR/DPRD. Alhasil, peta keanggotaan senat akademik, dari aspek suara, didominasi oleh para pimpinan itu sendiri. Sisanya ada yang dari utusan dosen, tapi jumlah suaranya relatif hanya sebagai “pelengkap penghibur” sistem politik demokratis kampus. Sebagian PTS mungkin memiliki utusan-utusan dari Dewan Guru Besar, namun jumlahnya sangat kecil mengingat banyak PTS menengah ke bawah masih kesulitan memiliki dosen berstatus Lektor Kepala hingga Guru Besar/Profesor.
Pola seperti ini berbeda dengan sistem demokrasi praktis one man one vote, karena aspirasi dosen dan mahasiswa dalam memilih pimpinan sangat mungkin berbeda dengan apa yang diinginkan oleh anggota senat akademik. Dosen pun tidak bisa “menghakimi” dan “menghukum” anggota senat akademik apabila “salah pilih” karena mayoritas keanggotaan senat akademik adalah ex-officio yang bukan dipilih oleh dosen. Sementara anggota senat akademik pilihan dosen mungkin hanya 1-2 orang per jurusan/program studi, yang itu pun di banyak PTS “diharamkan” menjadi ketua dan sekretaris senat akademik.
Dengan mekanisme “demokrasi semu” seperti itu akan sangat membuka peluang terjadinya politik transaksional di antara anggota senat akademik itu sendiri. Sinisme yang muncul adalah “siapa akan mendapatkan apa?” Sangat mungkin terjadi, pertimbangan rekrutmen dan penempatan calon pimpinan kampus tidak lagi didasarkan pada prinsip merit system yang mengutamakan kompetensi, kualitas kepemimpinan, dan rekam jejak meskipun calon tersebut notabene kritis terhadap berbagai kebijakan yang ada.
Tapi kan banyak juga pimpinan PTS yang bagus dan berkualitas.
Pasti! Tapi pokok permasalahannya bukan pada personal pimpinannya belaka, melainkan pada sistem. Faktanya, tidak semua manusia itu baik. Jangankan di institusi pendidikan tinggi, bahkan di institusi keagamaan pun ada cukup banyak oknum yang berperilaku buruk. Orang baik dalam pusaran sistem yang buruk, pun berpotensi untuk terkontaminasi keburukannya—minimal mendiamkan keburukan itu, karena memang sistemnya “menghalalkan” itu terus terjadi.
Sebaliknya, sistem yang baik akan menyaring dan menghalangi agar calon-calon yang buruk tidak bisa masuk ke dalam dan menguasai sistem tersebut. Kecemasan yang terbesar adalah, ketika sistem yang buruk merekrut dan menempatkan calon-calon yang buruk tersebut masuk dan menguasai sistem. Ketika ini terjadi, maka siklus keburukan akan berkelanjutan dan dipelihara karena sistem yang buruk itu memberikan kenyamanan bagi pimpinan-pimpinan yang sama buruknya.
Apa Yang Harus Dilakukan?
Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely. Adagium Lord Acton (1834-1902), yang masih relevan hingga hari ini, mengingatkan kita bahwa kekuasaan tidak boleh terlalu kuat pada satu orang atau kelompok karena akan memicu potensi perilaku pemimpin yang sentralistik yang tidak terawasi secara seimbang. Kampus bukan kerajaan atau perusahaan. Bahkan Yayasan pendiri PTS pun diharamkan menjadi raja-raja yang bisa sesukanya memperlakukan kampus, karena lembaga pendidikan tinggi ini merupakan badan publik yang melaksanakan fungsi negara di bidang pendidikan. Kampus hanya tunduk pada peraturan perundang-undangan terkait—bukan “diskresi liar” pimpinan kampus atau Yayasan dan keluarga serta kroninya.
Komposisi pemerintahan kampus harus dikelola secara proporsional dengan pemisahan yang jelas antara pimpinan pelaksana (rektor, direktur, dekan) dengan pimpinan pengawas (senat akademik). Harus ada power balance yang bisa merumuskan dan mengawasi berbagai kebijakan kampus, mulai dari hulu hingga hilir, termasuk dalam hal rekrutmen/penempatan pimpinan-pimpinan kampus.
Partisipasi dosen dan mahasiswa harus mendapatkan porsi yang memadai dalam proses pengawasan. Sentralisasi kekuasaan dikhawatirkan hanya akan menimbulkan pola transaksional di dalam lingkaran kekuasaan yang itu-itu saja, sehingga menegasikan urjensi mengedepankan merit system dalam praktik politik kampus yang professional dan berintegritas. Bukankah ini yang selalu kita ajarkan kepada mahasiswa di kelas? [T]
BACA artikel lain tentang PERGURUAN TINGGI