2 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Merayakan Kemurungan Bersama Sarah Monica

Agus ManajibyAgus Manaji
April 29, 2024
inUlas Buku
Merayakan Kemurungan Bersama Sarah Monica

Buku "Bangkitnya Kemurungan" karya Sarah Monica

“Manusia itu adalah makhluk yang berhadapan dengan diri sendiri dalam dunianya.” — (Prof. N. Drijarkara)

MANUSIA mengalami berbagai peristiwa yang menyebabkannya merasakan beragam perasaanseperti bahagia, sedih, haru, dan cinta. Sebagai makhluk yang berbadan2, manusia hadir di tengah alam (realitas), dan dengan inderanya menghayati dirinya, duduk, berjalan, makan dan seterusnya.

Peradaban manusia dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya berusaha memastikan masa depan manusia yang lebih baik, mudah, nyaman dan membahagiakan. Kegagalan meraih tujuan atau harapan membuat manusia mengalami kesedihan kemurungan. Manusia adalah makhluk yang mampu menghadapi dirinya sendiri, menghayati kesedihan untuk mengambil hikmah. Terlebih manusia penyair macam Sarah Monica lewat buku puisi Bangkitnya Kemurungan.3  

Judul buku bergambar sesosok tubuh tanpa kepala, dengan dada gerowong, dan warna dominan hitam ini menyiratkan kemurungan. Nama penyair tertulis di pojok kanan atas, judul buku berada di bagian bawah, menegaskan keterpurukan.  Tulisan warna perak, tampak redup dalam latar hitam, seakan membiarkan gambaran sosok tadi “lebih bicara”: murung.

Umumnya “kemurungan” bermakna negative, kata ini senada dengan makna kejatuhan dan keterpurukan, tapi Sarah justru merangkai dan menyandingkan kata “bangkitnya” (berkesan positif). Apakah judul ini mewakili seluruh tema puisi dalam buku ini? Dalam Pengantar Penerbit kita membaca: “Namun Sarah memiliki perspektif berbeda. Ia merasa kemurungan itu satu titik yang mengurung subyek dalam nuansa kelabu, dan karena itu ia menyentuhnya dengan upaya-upaya personal untuk membangkitkannya, mewarnainya. Seolah ia sadari bahwa jauh di dasar kemurungan itu mengendap perasaaan-perasaan sedih, kecewa atau terlunta, sakit dan menderita; dan itu bukan lagi dalam lingkup personal namun pengalaman kolektif yang direfleksikan…”4

Bagaimana Penyair memaknai kemurungan? Mari, kita baca langsung lewat puisi-puisinya. Lima kali kata “kemurungan” muncul dalam buku ini, yakni pada puisi Penantian (hal. 6), Sepasang Mata (hal. 8), Kepergian (hal. 11), Berserah (hal 29-30) dan Malam Kudus (hal. 77 -78).

Puisi Penantian, sebentuk solilokui, menggugah kesadaran bahwa kebahagiaan ruhani takkan terwujud tanpa proses perjuangan. Kegagalan dan kejatuhan semata bagian dari proses pendewasaan, serupa proses “peram” peragian anggur spiritual. Kata “anggur” tentulah lambang kepuasan dan kebahagiaan ruhani. Penyair berseru:

Kau tak akan mampu membuat sebotol anggur dari darah ketabahan
diperas dari harapan yang tak pernah runtuh
dari pahit kenangan yang membeku
dari mimpi-mimpi yang tercekik di cakrawala
dari doa-doa yang jatuh kala dipanjatkan….”.

Karena itu, Penyair harus senantiasa waspada, di antara masa lalu dan masa depan yang bergandengan tangan seraya meronda menyalakan kemurungan siang/ mengunci kesunyian malam. Sebab segala sesuatu di alam semesta sejatinya tidak mati, mereka penyaksi atas hidup: Batu-batu kian mendengar/ lirih rindu yang dibisikkan jejak kakiku saat berkelana. Demikian, hidup adalah penantian panjang atas keputusan takdir, meski risau telah mendarah daging dan rindu begitu memabukkan, dan meski sejauh kesabaran bernafas ujung jalan itu tetaplah lengang.

Pada puisi Sepasang Mata, lewat majas sinekdok pars pro toto, penyair menyapa “seseorang yang lebih tahu”: Wahai mata yang menyalakan kemurungan. Sekali lagi Penyair menggunakan frase “menyalakan kemurungan”. Menariknya, sapa ini diikuti baris-baris antithesis: aku menyaksikan binarmu/ redam oleh angan-angan/ sekarat dalam pemujaan/ merindukan apa yang telah tiada/ mendamba yang tak pernah ada. Penyair mendambakan “kebahagiaan” (yang dilahirkan para wali) dan “kebenaran” (yang berputar bersama bintang).

Penyair meraba “kesejatian” itu lewat kesaksian pendengaran:

Aku mendengarnya bangkit dan berkelana
meratapi warta dunia
memanggil-manggil dalam hening
kebahagiaan yang dilahirkan para Wali
kecintaan yang ditawarkan para Nabi
dan kebenaran yang berputar bersama bintang”.

Puisi Kepergian dengan anak judul “Kepada: I.D.K.P” menggambarkan kesadaran akan makna pengalaman dan tanggung jawab manusia di tengah alam semesta. Menggunakan kata ganti jamak “kita”, penyair berseru, Kita mengenal tiap gurat di pelipis kita/ pun pernah mencoba/ menanggung planet yang sekarat dalam buku jiwa. Penyair sadaralam luar dana lam dalam bertaut. Tubuh mengalami gurat di pelipis dan jiwa harus menanggung planet yang sekarat. Manusia dan  alam semesta Saling menafsir/ setiap air terjun peristiwa. “Kita” menyadari bahwa mimpi kian bercabang di setapak kita sementara aku berpacu kilat padahal perahumu tertambat erat. Di bait akhir, penyair berujar kepada sang kawan, Nyanyikanlah tiap kemurungan malam ini sebab sebagaimana tersebut akhir bait ketiga, kepergian adalah niscaya di perjalanan kita.

Puisi keempat dan kelima yang memuat kata “kemurungan” adalah puisi Berserah dan puisi Malam Kudus. Puisi “Berserah” di halaman 29-30, terdiri atas 7 bait 29 baris, dan tertulis “Depok, Januari 2014”. Sedang puisi “Malam Kudus” termuat di halaman 77-78, 6 bait 24 baris, bertuliskan “Bogor, 2017”. Kedua puisi ini sebetulnya “satu puisi”. Banyak kesamaan diksi dan frase pada dua puisi ini, dan tampaknya puisi Malam Kudus merupakan revisi dari puisi Berserah, lebih ringkas, diksinya lebih mengena.

Puisi Malam Kudus berhasil menampilkan dilema dan kesepian eksistensial manusia, bagaimana tarikan rasionalitas yang digelorakan ilmu pengetahuan dan dahaga ruhani seolah bertolak belakang. Penyair berseru, Dunia menyala/ dalam lorong-lorong kepalaku/ sedang hatiku berjalan/ di padang pasir kesunyian. Paradoks belum usai, di bait kedua, Penyair melanjutkan kesaksiannya: Betapa aku menjumpai duka/ pada tiap wajah kenikmatan/ tersingkap bagai malam di punggung senja. Dilemma inilah memaksa Penyair agar “Di malam-malam kudus/ aku mendaki bukit kemurungan/ bersama jiwa para pengembara”. Demikian, manusia berikhtiar memaknai momentum “saat ini” dan “di sini”, keluar dari kungkungan waktu “kemarin” dan “besok”, demi merasakan keabadian, Telah kularung masa lalu,/ harapan, dan segalanya palsu/ di lautan hampa./ aku pun tiada/ dalam samudera ada.

Berlainan dengan puisi-puisi murung ratapan, puisi-puisi Sarah sesungguhnya menggambarkan perjuangan pencarian jati diri anak manusia secara merdeka, di tengah hiruk-pikuk peradaban, di arus laju pesat kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, terombang ambing rayuan gaya hidup hedonis dan materialistis. Manusia terus berada di persimpangan untuk menentukan pilihan (dan beresiko). Ilmu pengetahuan membawa manusia pada kemudahan, namun nafsu serakah manusia ditambah watak ilmu pengetahuan modern yang sejatinya lahir dari sekularisme, perlahan menyeret manusia kepada kehampaan spiritual, kerusakan moral dan bencana ekologis. Cogito ergo sum, aku berpikir, maka aku ada. Manusia seolah tidak memerlukan agama dan Tuhan untuk mengada.

Fisuf Modern Islam Seyyed Hosein Nasr menggambarkan peradaban modern yang berkembang di barat (dan berulang di Negara-negara timur) maju sejak zaman renaissance adalah sebuah eksperimen yang telah mengalami kegagalan5. Hidup manusia seperti bumi kehilangan sumbu edar revolusi, kehilangan orientasi hidup, hampa.

Ignas Kleden telah merasakan kehampaan spiritual dalam masyarakat Indonesia pada awal decade tahun tujuh puluhan. Dalam Tjatatan Bulan Ini, esai ringkas pembuka majalah Budaja Djaja Nomor 50 tahun ke lima, Juli 1972, ia menulis: “Adakah sesungguhnya kita masih percaya kepada Tuhan? Dunia kita adalah dunia yang makin kecil, tetapi hidup yang bertumbuh di dalamnya mencakar langit dengan kekuatan-kekuatan berukuran besar. Rangsang-rangsang kita harus cukup mengguncangkan untuk dapat masuk kesadaran: perjalanan ke bulan, kompetisi produksi senjata, kriminalitas yang nekat dan sex terbuka… Kepuasan kita lebih ditakar dengan kwantitas, keindahan adalah ukuran matematis dan cinta –supaya mengesankan- harus menjadi barang dagangan dengan setumpuk uang sebagai harganya”.6 Menarik, Ignas juga menyebut “kepercayaan kepada Tuhan” sebagai “semacam puisi”.

“Kemurungan” Sarah Monica berbeda dengan “kemurungan” Cecep Syamsul Hari. Kemurungan Cecep dalam puisi-puisinya berada dalam ranah romantisme cinta penuhi isotopi perempuan, imaji-imaji perempuan.7 Kemurungan Cecep sampai taraf tertentu bahkan menjadi tujuan. Ada nuansa erotisme, kadang transenden. Tiga kutipan puisi dari buku Efrosina8 berikut ini kiranya bisa menunjukkan kecenderungan tersebut:

…. Tubuhku kecut dan pasi,
hujan menyiram rambutku semalaman; seseorang bermuka
pucat bermahkota cahaya ke dalam cawan menuangkan cairan
merah bagai anggur, seperti darah: “Untuk kesehatan kita.” Kami
pun bersulang, aku bersulang, dengan murung.
(puisi “Efrosina”)

Menulis puisi pada sebuah malam yang sedih.
Seseorang bersenandung. Kemurungan riang berpendaran
menangkap cahaya ada tirai jendela.
(Puisi “Syair Kemurungan”)

……. Bangun dan peluklah Don Quixote
malang ini, pengembara penuh duka, jatuh cinta

berulangkali pada perempuan yang sama. Perempuan
yang sama. Orang Dewasa yang selalu takjub pada kemurungan
tak terduga.
(puisi “Molto Allegro”)

Sementara, kemurungan Sarah Monica adalah keresahan jiwa sebagai resiko kehidupan urban dan  pendidikan modern rasional yang mengabaikan aspek ruhani. Keresahan inilah yang menjadi tolakan energi untuk bangkit meronda memaknai (peristiwa, luka, dan takdir) kehidupan.

Menarik, terdapat18 kali penyebutan kata “takdir”, 17 kali penyebutan kata “Tuhan”, 19 kali penyebutan kata “cinta”, 10 kali penyebutan kata “kesunyian” dalam buku Sarah. Ini tentunya menggambarkan perhatian penyair akan aspek religiositas eksistensial puisi-puisi Sarah.

Nuansa murung dan resah sarat kebingungan ruhani banyak mewarnai puisi-puisi Sarah Monica periode tulis 2010 – 2017. Namun, puisi-puisi periode setelahnya, 2019 – 2022, menampakkan suasana lebih sumeleh. Agaknya, berkat perenungan meronda “mendaki bukit-bukit kemurungan”, Sarah kemudian menemukan solusi sumber ketenangan: Tuhan, cinta, keluarga, juga tradisi. Puisi Malam Kudus seolah menjadi tapal batas, titik balik keresahan menuju kepasrahan akan takdir Tuhan.

Puisi-puisi seperti puisi Dan Renungan Senantiasa Lahir, puisi Catatan Seorang Anak, puisi Ziarah, atau puisi Laylatul Qadar menunjukkan fase damai. Pada puisi Dan Renungan Senantiasa Lahir penyair menyadari keterbatasannya sebagai manusia: Bahasa kita terbatas membaca gerak semesta. Selanjutnya penyair berseru, Tuhan, telah terjerat hati meski jalan terentang jauh dan kita pun menanggung rindu.

Puisi Catatan Seorang Anak dengan tenang spontan menyampaikan udar rasa seorang anak di hadapan orang tuanya. Bagaimana kepergian petualangan seorang anak, meski demi mengejar cita-cita sekalipun, ternyata menyisakan ceruk rindu/ milik ayah-ibuku. Penyair telah keliru menilai keluarga sebagai penjara dari sumber segala tanya, dan akhirnya insyaf: perjalanan akan selalu/ memberi alasan berpulang/ dan makna diri/ membutuhkan akar/ untuk tumbuh dan berdiam.

Lewat puisi Ziarah Sarah menyalami diri sendiri, Salam pada pendendam/ jiwa kelam yang dihantam/ peristiwa demi peristiwa/ lembar-lembar luka. Hati damai sumeleh membuatnya tidak lagi memandang alam dari perspektif eksploitatif, alam menjadi sahabat dalam perjalanan menuju Tuhan, Alam berbicara/ di keheningan batin/ yang gemetar. Tak cuma itu penyair berikhtiar berdamai dengan sejarah, tradisi, dan warisan spiritualitas ulama pendahulu: Nalar kita mencoba/ menembus kerajaan sejarah/ dari kubur alim-ulama/ menyelami telaga doa/ yang terus menghilir ke muara takdir. Dan akhirnya, dalam puisi Laylatul Qadar penyair bisa berzikir dan menari bersama para sufi: Dengar, O, dengar! Nadi bumi bergetar/ oleh tarian memutar/ ruh-ruh para pemabuk abadi/ pertapa gila yang merindu.

Bangun puisi Sarah Monica kokoh, ditopang dengan diksi-diksinya yang bersih dan efektif, menunjukkan pondasi nalar penyair yang kuat. Puisi-puisi Sarah Monica dekat dengan perpuisian Faisal Kamandobat dalam soal struktur bangun dan pola susun larik, juga dalam gaya sunting larik (enjabemen). Kita simak petikan puisi Faisal Kamandobat berikut:

aku kehilangan peta
menuju tuhan
sudah lama aku tak bicara
dengan langit dan planet-planet
sudah lama aku tak bicara
dengan diriku sendiri9

Yang tertuang dalam puisi-puisi Sarah, boleh jadi sedikit banyak juga menghantui hati dan pikiran kita. Sebagai manusia, sebagaimana kutipan N Drijarkara di muka, Sarah Monica telah berhadapan dengan dirinya sendiri. Kita belajar pada Sarah memahami diri. Saya tutup pembacaan ringkas ini dengan kutipan berikut:

Selamat datang rahasia
merekahlah
agar kusingkap rupa ilahiah.
(puisi “Ziarah”)

Muntilan Jogja, 27 April 2024

Bacaan:

1: Filsafat Manusia, Prof. Dr. N Drijarkara,Penerbit Jajasan Kanisius, tahun 1969, halaman 6

2: Filsafat Manusia, hal. 8.

3: Bangkitnya Kemurungan, Kumpulan Puisi Sarah Monica, Penerbit Framepublishing, cetakan I, Juli 2023

4: Bangkitnya Kemurungan, hal v

5 : Islam dan Nestapa Manusia Modern, Seyyed Hossein Nasr, penerbit pustaka, tahun 1983.

6 : majalah “Budaja Djaja” Nomor 50 tahun ke lima, Juli 1972, dalam “Tjatatan Bulan Ini”  halaman 386-387.

7 : Nafas Gunung, Suara dari Jawa Barat, antologi puisi Penyair Jawa Barat, serial Cakrawala Sastra Indonesia, Penerbit Logung Pustaka, Tahun 2004. Kata Penutup oleh Muh. Wan Anwar diantaranya mengulas kecenderungan “kemurungan” dalam puisi-puisi Cecep Syamsul Hari.

8 : Efrosina, Kumpulan Puisi Cecep Syamsul Hari, Orfeus Books, Cimahi 2002.

9 : Puisi Seperti Tuhan dalam buku Alangkah Tolol Patung Ini, Faisal Kamandobat, penerbit Olongia, tahun 2007.

Membaca Puisi Penyair Kupu-Kupu : Ulasan Kumpulan Puisi I Made Suantha “Kukubur Hidup Hidup Puisiku Dalam Hidupku”
Negara Tidak Hadir dalam Perkara-perkara Nyaris Puitis
Rendezvous: Puisi-puisi yang Melawan Keberserakan Kata-kata
Tags: buku puisiPuisiresensi bukuSarah Monica
Previous Post

“Love Robots” dari Antonius Kho, Ketika Manusia Dikuasai Robot

Next Post

Temukan “Basic Integrated Local Genius in Tourism”, Agus Muriawan Putra Menjadi Doktor Pariwisata ke-111 di Unud

Agus Manaji

Agus Manaji

Lahir di Bekasi, 16 Maret 1979. Tinggal di dusun Ngentak, Muntilan, Magelang. Guru Fisika SMK N 3 Yogyakarta. Antologi puisi tunggalnya Seperti Malam-malam Februari (penerbit Interlude, 2018). Puisinya dumuat Majalah Horison, jurnal Puisi, KR, Suara Merdeka, Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, dll.

Next Post
Temukan “Basic Integrated Local Genius in Tourism”, Agus Muriawan Putra Menjadi Doktor Pariwisata ke-111 di Unud

Temukan “Basic Integrated Local Genius in Tourism”, Agus Muriawan Putra Menjadi Doktor Pariwisata ke-111 di Unud

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

by dr. Putu Sukedana, S.Ked.
June 1, 2025
0
Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

LELAH dan keringat di badan terasa hilang setelah mendengar suaranya memanggilku sepulang kerja. Itu suara anakku yang pertama dan kedua....

Read more

Google Launching Veo: Antropologi Trust Issue Manusia dalam Postmodernitas dan Sunyi dalam Jaringan

by Dr. Geofakta Razali
June 1, 2025
0
Tat Twam Asi: Pelajaran Empati untuk Memahami Fenomenologi Depresi Manusia

“Mungkin, yang paling menyakitkan dari kemajuan bukanlah kecepatan dunia yang berubah—tapi kesadaran bahwa kita mulai kehilangan kemampuan untuk saling percaya...

Read more

Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

by Made Chandra
June 1, 2025
0
Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

PERNAHKAH kita berpikir apa yang membuat sebuah foto begitu bermakna, jika hari ini kita bisa mereproduksi sebuah foto berulang kali...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu
Panggung

Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu

HUJAN itu mulai reda. Meski ada gerimis kecil, acara tetap dimulai. Anak-anak muda lalu memainkan Gamelan Semar Pagulingan menyajikan Gending...

by Nyoman Budarsana
June 1, 2025
Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025

MEMASUKI tahun ke-10 penyelenggaraannya, Ubud Food Festival (UFF) 2025 kembali hadir dengan semarak yang lebih kaya dari sebelumnya. Perayaan kuliner...

by Dede Putra Wiguna
May 31, 2025
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co