SATU hal yang luput dari pembahasan tentang Ida Padanda Made Sidemen adalah tentang proses berguru dan berburu pengetahuan yang dilakoninya. Kenapa jejak aguron-guron itu begitu penting? Karena hari ini kita sering silau dengan hasil akhir kualitas Ida Padanda Made Sidemen tanpa melihat jatuh-bangunnya dalam proses pembelajaran di universitas kehidupan.
Kita juga semakin banyak melihat kenyataan bahwa pendidikan kependetaan saat ini terlihat sangat instan. Belum genap menjadi pendeta yang lingsir karena pengetahuan dan pengalaman, seseorang sudah merasa berhak menjadi guru nabe yang akan melahirkan calon-calon penjaga benteng rohani baru.
Kita tentu simpati melihat tingginya minat masyarakat yang ingin membaktikan hidupnya di lanskap rohani. Akan tetapi, jika proses pembelajarannya tidak matang tentu kualitas ajaran yang berhasil diserap tidak akan utuh. Oleh karena itu, mari kita simak sekilas perjalanan hidup Ida Padanda Made Sidemen di masa awal berguru ke Gria Mandarawati Sidemen, Karangasem.
Kala Ida Padanda Made Sidemen muda, perjalanan masih biasa dilakukan dengan berjalan kaki, meski jarak dari Sanur menuju Karangasem terbilang cukup jauh. Namun demikian, jarak konon adalah persoalan yang terletak di tataran pikiran seperti yang diingatkan oleh Kakawin Dharma Shunya dengan ungkapan hiḍĕpta pamĕkas panaṅkana kabeh tan madoh prihĕn. Bagi seseorang yang pikirannya tengah disusupi Dewa Smara atau Dewa Cinta, jarak bisa seketika lebur entah kemana. Sama halnya dengan pikiran yang telah dirasuki oleh Dewi Saraswati maka pengetahuan bisa menjadi lebih menarik tinimbang kecantikan fisik-biologis-ragawi.
Seperti yang masih bisa disaksikan hingga saat ini, perjalanan menuju Gria Mandara, Sidemen-Karangasem dari Sanur melewati gugusan pantai termasuk pula muara sungai yang akan segera bertemu dengan laut lepas.
Dalam perjalanan itu, Padanda Made Sidemen menjalankan brata rahina tan suptaturu. Geguritan Salampah Laku menyatakan brata tersebut dengan untaian kalimat ini. “Hana brata rahina tan suptāturu, suptaniṅ tĕtĕp inapti, sakĕdap denya awuṅu, sabhranyāluṅguh anulis, riṅ sawah nurat asiṅ ṅgon”. Petikan tersebut bermakna“ada brata siang hari tidak tidur, tidur tetap dilakukan, sekejap lalu terbangun, di manapun-duduk menulis, di sawah, menulis di semua tempat”.
Dari petikan tersebut kita dapat mengetahui bahwa Ida Padanda Made Sidemen melakukan brata dengan tidak tidur selama matahari tengah bekerja untuk kehidupan. Meski sesekali tidur, itu hanya dilakukan sebentar lalu terjaga lagi. Sepanjang perjalanan, Ida Padanda Made Sidemen mengisi waktunya dengan menulis. Dengan cara menulislah pendeta yang mempersiapkan kematiannya sendiri itu menggembala gerak pikiran yang tiada henti.
Beliau sepertinya tahu betul bahwa pikiran yang terus bergerak pada saat yang bersamaan juga menyebabkan manusia cepat lupa. Anehnya, pikiran justru sering mengingat sesuatu yang hendak dilupakan. Gerak dari lupa dan ingat ini lalu menyebabkan para penyair sering menganalogikan pikiran seperti riak-riak permukaan laut yang tak pernah diam.
Itulah aktivitas Ida Padanda Made Sidemen ketika siang hari dalam perjalanan menuju Gria Mandarawati, Sidemen, Karangasem. Perjalanan yang ditempuh berhari-hari itu juga menyebabkan Ida Padanda Made Sidemen bersama sang istri harus tidur di pinggir pantai, bahkan tidak jarang menginap di rumah-rumah warga. Malam hari sebelum tidur, beliau mempraktikkan yoga pasuduking liring yang sangat penting untuk mendapatkan sari tidur.
Yoga pasuduking liring adalah proses penyatuan angkasa dan pertiwi bhuwana alit dengan cara mempertemukan ujung hidung dan lidah. Pertemuan keduanya menggunakan sarana pikiran itu menyimbolkan penunggalan amerta atau air suci kehidupan dengan api suci dalam tubuh yang menghasilkan Sang Hyang Dumaketu. Menemukan Sang Hyang Dumaketu sama dengan menemukan Atma, energi terhalus kehidupan dalam diri.
Barangkali dengan yoga itu kualitas kebugaran fisik dan rohani untuk meneruskan perjalanan hingga tiba di asrama sang guru nabe senantiasa beliau dapatkan. Sesampainya di Gria Mandara, Geguritan Salampah Laku memuat sejumlah materi pelajaran yang ditempuh Ida Padanda Made Sidemen ketika masih walaka.
Ajaran itu di antaranya tentang hakikat dan teknik melepaskan jiwa dari kungkungan tubuh ketika kematian tiba (gĕlariṅ pati urip, pasurupaniṅ jñāna, yan katĕkan hantu, pasahiṅ atma bandana), teguh memegang sasana atau etika (aṅamoṅi sasana yukti), tahu cara mengurangi indria (wruh aṅuraṅi indriya), memerangi sad ripu dan tri mala (maṅlagada sad ripu, krodha lobha göṅ katresnan), menahan panas dan dingin (anahĕn panĕs tis), dan sebagainya.
Ajaran-ajaran tersebut pasti tidak mudah dilakukan bagi seseorang yang tidak memiliki panggilan diri dari dalam, ketetapan hati, dan keteguhan jiwa. Apalagi bagi seseorang yang hanya ingin mendapatkan popularitas dan pundi-pundi materi dengan menjadi pendeta. Jangan-jangan Ida Padanda Made Sidemen sudah tahu, kelak jenis wiku raksasa, wiku taluh, dan wiku mayong yang materialistisakan semakin banyak karena proses aguron-guron yang instan? Entahlah.[T]
- BACA artikel lain tentang IDA PEDANDA MADE SIDEMEN
- BACA artikel lain dari penulis PUTU EKA GUNA YASA