“DARI kelas satu SD saya suka manjat pohon,” ujar lelaki itu sambil menghapus keringatnya yang bercucuran. Kerutan di wajahnya menggambarkan betapa keras hari-hari yang ia lalui. Nyaris setiap hari, menjelang matahari menghilang, ia baru akan kembali ke rumahnya dari mengumpulkan pundi-pundi rupiah.
Sore itu ia sedang duduk sambil menyender dengan mulut mengisap rokok dan secangkir kopi yang selalu menemaninya. Pria berumur kepala empat itu menceritakan suka-duka hidup yang ia jalani, tentang kegemarannya dalam memanjat pohon sejak kelas satu SD.
Di gazebo—orang Bali menyebutnya bale bengong—sederhana itulah ia duduk. Benar. Di sana, di bale bengong, selain sebagai tempat menyimpan beberapa peralatan tempur yang digunakan untuk mengais rezeki, seperti celurit, tali tambang, karung, dan tas gandong, juga biasa dijadikan tempat untuk bertukar pikiran.
“Dulu, waktu itu kelas satu, iseng-iseng saya nyoba manjat pohon jambu, pendek sih, namun yang namanya nasib nggak ada yang tahu, ranting yang saya jadikan pegangan patah, hingga saya terjatuh dan tangan saya bergeser sampai sekarang. Nih, bisa dilihat agak melengkung,” ceritanya sambil menunjukan tangannya yang cedera.
Gede Artana atau Gokong | Foto: Gus Eka
Pria kelahiran Pedawa, 7 November 1982, itu bernama lengkap Gede Artana. Ketika masih muda, ia mengaku bercita-cita menjadi pegawai kantoran. Tetapi, karena keterbatasan ekonomi, akhirnya ia mengubur dalam-dalam mimpi tersebut.
Lelaki yang akrab disapa Gokong itu saat ini berprofesi sebagai tukang panjat pohon di Desa Pedawa. Pohon apa saja pernah ia panjat. Ini profesi yang mengagumkan dan tak pernah terbayangkan oleh banyak orang.
Dan mengenai sejarah lahirnya nama panggilan yang cukup unik ini, ia berspekulasi mungkin karena keahliannya dalam memanjat pohon. Kita tahu, di film, Sun Go Kong memang tak ada lawan dalam hal ini.
“Panggilan itu sudah dari zaman saya masih SMP. Mungkin karena saya suka memanjat, makanya sampai dipanggil Gokong, seperti yang ada di film Sun Go Kong itu,” terangnya sambil tertawa.
Di Banjar Dinas Lambo, Desa Pedawa, di rumah sederhana dengan dinding anyaman bambu itu Gokong berlindung dari dinginnya malam dan panasnya matahari. Rumah yang jauh dari kata mewah. Tidak ada hiburan sama sekali di sana. Jangankan handphone, televisi saja ia tak punya.
Gokong bercerita sambil masih mengisap rokok dan sesekali menyeruput kopinya. Saat ini ia hidup sendiri karena memang belum menikah lagi.
Tahun 2004 ia pernah menikah, katanya. Tapi rumah tangganya hanya bertahan seumur jagung, harus kandas setelah enam bulan. “Biasalah, masalah keuangan saja. Mantan istri saya tidak kuat hidup susah, dan akhirnya pergi,” tuturnya dengan sorot mata yang agak sedih.
Berawal dari kesukaannya memanjat pohon sejak kecil itulah yang membuat Gokong melakoni perkerjaan yang “berbahaya”, yang tak banyak orang bisa melakukannya, yaitu tukang panjat pohon.
Tak banyak ia mendapat upah dari pekerjaan langka ini. Bahkan kadang-kadang ia malah tidak dibayar sepeser pun. Hal tersebut tentu tidak sebanding dengan risiko yang ia hadapi.
“Kalau tetangga yang nyuruh, palingan dikasih rokok saja. Tapi kalau musim panen cengkeh, upahnya 100 ribu per 8 jam kerja. Sekarang ini lagi musim buah ceroring, saya dibayar 12.000 per jamnya,” ujar Gokong sambil membuka topi yang ia gunakan ketika bekerja.
Hampir setengah dari hidupnya, ia habiskan untuk mengais rezeki dengan memanjat pepohonan. Sudah bermacam-macam jenis pohon sempat ia naiki, misalnya pohon pinang, cengkeh, kopi, durian, kelapa, manggis, ceroring, dan masih banyak lagi, sampai Gokong sendiri pun sudah lupa akan hal itu.
Matahari perlahan mulai menyembunyikan senyumnya. Di atas pohon cengkeh sebelah rumah Gokong, burung-burung berkicau dengan merdu, mengiringi setiap kisah yang diceritakan Gokong dengan sendu.
Gokong sedang memanjat pohon pinang | Foto: Gus Eka
Cuaca sangat cerah. Padahal, belakang ini biasanya di Pedawa selalu turun hujan. Tapi entah kenapa, saat itu tidak ada awan hitam terlihat, seolah langit sedang memberikan semangat kepada Gokong.
Gokong kembali bercerita. Ia tidak tamat SMA karena keterbatasan ekonomi orang tuanya. Padahal, menurutnya, sebenarnya ia ingin terus melanjutkan pendidikan. Namun, apa daya, orang tuanya tidak sanggup lagi untuk membiayainya.
“Karena kasihan, akhirnya saya berhenti dan membantu orang tua menjadi buruh tani,” tuturnya sambil memandang lurus ke depan. Entah apa yang ia lihat.
Selama ini, untuk mengisi waktu luang ketika tidak ada panggilan memanjat pohon, ia bekerja sebagai buruh tani: mencangkul, memotong rumput, dan lainnya. Pekerjaan apa pun akan ia lakukan asalkan itu menghasilkan uang.
Walaupun jam terbangnya dalam memanjat pohon sudah cukup lama, tapi namanya musibah tidak bisa ia hindari. Pada tahun 2014, saat ia mendapat pekerjaan untuk mengobati pohon cengkeh yang terserang penyakit, tanpa sengaja, pestisida yang digunakan untuk membunuh jamur di pohon cengkeh itu menetes di rokoknya. Tidak jatuh memang, tapi ia keracunan.
“Saya kira saya sudah mau mati. Saya keracunan pestisida. Untung ada tetangga yang lihat saat saya mengerang kesakitan. Saat itu saya dibawa ke rumah sakit,” kisahnya dengan berapi-api, seolah-olah menggambarkan betapa paniknya ia dulu.
Kejadian tersebut akan ia kenang seumur hidup. Itu kenangan yang cukup mendalam bagi Gokong. Ia merasa masih diberi keberuntungan oleh Tuhan karena masih berkesempatan merasakan manis pahitnya kehidupan di dunia yang semu ini. Dan sampai saat ini, selama bekerja memanjat pohon, sekali pun Gokong belum pernah jatuh. Itu seperti sebuah keajaiban.
“Waktu kecil itu saja, pas masih belajar memanjat. Ya namanya masih anak-anak waktu itu. Tapi saat saya sudah kerja menjadi tukang panjat, beruntung masih dikasih selamat oleh Tuhan,” terangnya sambil merenung, mengingat kisah masa kecilnya.[T]
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.
Reporter: Gede Agus Eka Pratama
Penulis: Gede Agus Eka Pratama
Editor: Jaswanto