JAGAT hiburan Tanah Air diramaikan dengan tayangan permintaan istri seorang artis yang sedang hamil dan mengidam sesuatu. Permintaan itu bagi kebanyakan orang dianggap di luar nalar. Bukan permintaan aneh, tetapi mengidam untuk membeli sesuatu yang sangat mewah bagi orang biasa.
Bayangkan, istri artis yang juga selebritis itu mengidam untuk dibelikan villa seharga 20 miliar rupiah. Selain itu dia juga pernah mengidam dan minta dibelikan pesawat helikopter. Suaminya yang tajir melintir itu pun menyanggupi permintaan istri tercintanya.
Apakah suami itu memang hendak membuktikan kebenaran mitos mengidam? Mungkin saja tidak. Bisa jadi ia ngin menjadi bagian dari infotainmen yang menghibur pemirsanya. Atau boleh jadi ia hendak menyajikan hedonisme dalam tayangan media.
Media komunikasi memang punya peran besar dalam menyuburkan hedonisme. Lihat saja tayangan televisi. Kenikmatan, kemewahan, dan gaya hidup orang berpunya dipertontonkan setiap hari. Mulai dari makanan, pakaian, rumah, dan kendaraan.
Sebagian besar selebritis tahu betul, bahwa di era kekinian kehidupan pribadi tidak perlu disimpan rapat. Pamer harta dan kekayaan adalah tontonan yang disukai khalayak. Sekaligus promosi untuk tetap dikenal di panggung hiburan.
Hedonisme
Secara etimologis hedonisme berasal dari kata hedone, yang berarti kesenangan. Hedonisme merupakan pandangan atau gaya hidup yang berfokus pada kesenangan dan kepuasan tanpa batas. Orang yang memiliki gaya hidup semacam ini disebut sebagai hedonis.
Perilaku hedonis bukan baru muncul saat ini. Sejak masa filsuf Sokrates tahun 433 Sebelum Masehi, hedonisme sudah menjadi wacana. Adalah Aristippos yang menjawab pertanyaan Sokrates tentang tujuan akhir manusia. Dia mengatakan, hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan; yang kemudian menjadi pandangan hidup hedonisme.
Hedonisme dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu personal, keluarga, dan sosial. Faktor personal lebih banyak didorong oleh motif individu untuk mengejar kesenangan. Perilaku hedon dan hidup mewah semata untuk memenuhi keinginan, bukan karena kebutuhan.
Keluarga turut mendukung seseorang untuk berperilaku hedon. Proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai dari keluarga akan membentuk seseorang menjadi hedonis. Ketika seorang anak melihat orang tuanya hidup berfoya-foya di luar kebutuhan hidupnya, maka sang anak akan mengikuti jejak orang tuanya.
Lingkungan sosial juga berperan membuat orang menjadi hedonis. Persaingan kepemilikan di lingkungan tempat tinggal seseorang akan membuat orang saling berlomba agar dianggap setara. Apa yang dimiliki tetangga harus dimilikinya juga.
Hedonisme sesungguhnya bukan hanya didominasi kelompok ekonomi atas. Masyarakat kelas menengah dan bawah pun memiliki potensi hedonisme. Sepanjang orang membeli sesuatu yang bernilai mewah dan mahal hanya untuk keinginan semata, maka dia sudah masuk kategori hedonis.
Bagi masyarakat bawah, hedonisme merupakan lompatan dari motif fisiologis ke motif penghargaan diri. Orang akan bangga bila dihormati dan dihargai oleh tetangga, karena mampu membeli sesuatu yang mewah untuk ukuran mereka.
Tidak heran jika kelas menengah dan bawah juga ikut-ikutan belanja barang secara online, baik makanan maupun pakaian. Orang yang secara ekonomi lemah dan tinggal di pemukiman kumuh mengadakan resepsi bagi pernikahan anaknya. Dia pun menanggap musik organ tunggal sebagai hiburan. Meski untuk itu semua ia harus berhutang kepada orang lain atau rentenir.
Peran Media
Media adalah teman dekat sekaligus pendukung hedonisme. Dan hedonisme adalah sekutu akrab kapitalisme. Karenanya media, hodonisme, dan kapitalisme merupakan tiga serangkai yang berangkulan mesra.
Kata kunci media sebagai pendukung kapitalisme adalah “produksi”. Semua berita, film, sinetron, kuis, talk show, reality show, dan iklan harus berorientasi pada produksi. Sehingga ada produksi berita, ada pula produksi hiburan.
Hedonisme bisa masuk ke semua hasil produksi media. Berita televisi tentang liputan ke rumah pejabat negara yang bergelimang barang-barang mewah merupakan contoh hedonisme yang dikemas dalam produksi berita.
Acara televisi maupun konten media sosial tentang gaya hidup artis yang glamour justru menjadi produksi hiburan di media. Sepanjang mendatangkan iklan dan mendongkrak rating, maka hedonism di media ini akan tetap dipertahankan.
Tak luput, gaya hidup tokoh dan pemuka agama juga menjadi bagian dari produksi media. Betapa tidak; tokoh agama yang dalam program ceramahnya di televisi senantiasa menganjurkan kesahajaan, tampil di program lain dengan koleksi rumah dan mobil mewahnya.
Bukan berarti media tidak peduli dengan kesederhanaan. Tetapi khalayak media jugalah yang dengan suka cita mengkonsumsi produk hedonisme itu. Kemewahan yang mestinya menjadi konsumsi personal, berpindah menjadi konsumsi pasar. Itulah persekongkolan hedonisme dan kapitalisme media.
Televisi dan media komunikasi lain memang punya andil besar bagi perilaku hedon. Setiap tingkah laku orang adalah duplikasi kesekian kali dari tayangan televisi setiap hari. Batas antara yang maya dan yang nyata menjadi kabur, karena media menjadi model simulasi perilaku (Hikmat Budiman, 1997)
Bahkan media komunikasi mampu memproduksi hyperrealitas. Yaitu leburnya batas antara yang nyata dan yang tidak. Masyarakat akan menganggap apa yang ditayangkan media lebih nyata dari yang benar-benar nyata. Peran dokter yang ganteng, pengusaha yang tajir, tokoh agama yang alim, maupun istri yang setia di sinetron televisi menjadi hiperrealitas; lebih nyata dari yang nyata.
Hidup di era kepungan media memang tragis. Batas antara kemewahan dan kemiskinan semakin tipis ketika menjadi produk media. Bahkan batas antara baik dan buruk pun semakin tak jelas, ketika doa dan ceramah agama menjadi produk kapitalisasi media.[T]
- BACA artikel lain dari penulisCHUSMERU