SESEKALI Aris Jack menyapa barisan penonton yang duduk santai di depan panggung, saat jeda lagu—ia seperti ingin mengajak mereka bernyanyi bersama. Namun sayang, tak sedikit pula orang Singaraja yang merasa asing dengan lagu bahkan nama band itu.
“Ini band dari Singaraja ya? Masa sih?” ucap seseorang mahasiswi dari salah satu perguruan tinggi di Singaraja yang hadir sebagai penonton malam itu. Saya kira keasingan yang sama juga terjadi di penonton lain. Tidak banyak terdengar suara penonton mengikuti lirik lagu yang dibawakan band itu.
Band itu adalah Empat Detik Sebelum Tidur (EDST). Aris atau Jack, atau Aris Jack, adalah vokalis dari band itu.
Band itu manggung dalam acara “Malam Semarak Buleleng Berbangga” serangkaian HUT ke-420 Kota Singaraja di Lapangan Bhuana Patra Singaraja, Selasa malam, 26 Maret 2024.
Empat Detik Sebelum Tidur di panggung Malam Semarak Berbangga di Lapangan Bhuana Patra Singaraja | Foto: Istimewa
Band itu sesungguhnya tidak asing di Singaraja, atau di Bali, atau bahkan di Indonesia. Empat Detik Sebelum Tidur memiliki banyak penggemar fanatik. Secara kuantitas alias banyak-banyakan barangkali penggemarnya tidak sebanyak band atau penyanyi lain di Buleleng, namun secara kualitas penggemarnya berasal dari kalangan anak muda yang menggemari musik yang serius, yang paham bagaimana seharusnya menciptakan lagu dan musik dengan tingkat orisinalitas yang tinggi dan punya jatidiri serta ciri yang khas.
Dan barangkali memang tidak banyak penggemar mereka hadir di Lapangan Bhuana Patra pada malam HUT Kota Singaraja itu. Perayaan itu memang dibuat untuk menciptakan kerumunan dan keramaian, karena kerumunan dan keramaian, bagi banyak orang, dianggap sebagai indikator suksesnya sebuah acara. Dan siapa penyanyi dan band yang bisa mendatangkan kerumunan paling banyak, band dan penyanyi itulah yang dianggap paling bagus.
Dan itu sah. Tidak ada yang salah. Hanya, pertanyaannya, kenapa kita suka bicara kreatif, tapi indikator yang dipakai adalah banyak-banyakan jumlah? Kreatif itu bertumpu pada ide, gagasan, orisinalitas, kualitas, dan branding yang tepat, yang kadang tak langsung berhubungan dengan jumlah.
Boleh dikata, Empat Detik Sebelum Tidur, pada malam itu, seakan-akan berada pada panggung yang salah. Penonton yang hadir kebanyakan berasal dari segmentasi yang berbeda dari segmen penggemar Empat Detik Sebelum Tidur. Penonton kebanyakan datang untuk menonton band yang selama ini dianggap viral, dan sekaligus juga band atau penyanyi yang hampir selalu diundang pada event-event yang, terutama, diselenggarakan lembaga pemerintah.
Apalagi, Empat Detik Sebelum Tidur rasa-rasanya sejak awal memang tidak dianggap sebagai bintang utama pada malam HUT Kota itu, terbukti pada poster-poster promosi, nama band itu tidak ditulis secara menonjol. Sepertinya band itu dianggap sebagai band kelas dua, dan seolah-olah ditampilkan dengan kadar rasa bangga yang minimal.
“Yang nonton lebih banyak expektasinya goyang oa oe, tapi kami sudah ngeh itu, dan kami coba untuk merasakan sensasinya bermain di tengah-tengah pendengar yang bukan segmen kami. Tapi ya, mereka mendengarkan meskipun kami merasa sedikit aneh, ya tapi kami anggap pengalaman baru,” kata Aris Jack, sang vokalis, ketika ditanya kesannya pentas pada panggung HUT Kota Singaraja malam itu.
Sesungguhnya band Empat Detik Sebelum Tidur inilah yang sejatinya layak untuk dibanggakan, serta seharusnya diberi perhatian yang lebih besar, diberikan tempat dan ruang yang layak, cocok, dan lebih banyak. Perhatian yang dimaksud, bukan hanya mengundangnya untuk tampil di panggung hiburan (apalagi segmennya tak sesuai), melainkan perhatian besar agar band-band semacam itu bisa berkembang untuk membawa nama Buleleng ke dunia musik yang lebih luas, bahkan bisa jadi berkembang hingga ke dunia musik internasional.
***
Kenapa band Empat Detik Sebelum Tidur layak menjadi kebanggaan Buleleng yang sejati dan sesungguhnya?
Meski bukan band yang bisa menarik kerumunan massa paling banyak, namun band ini punya alasan paling utama untuk bisa dibanggakan. Empat Detik Sebelum Tidur adalah sekelompok anak muda yang selalu berjuang untuk menemukan jati diri dan ciri khas dalam bermusik. Mereka tak pernah melakukan cover atau membawa lagu orang lain hanya untuk tujuan mencari duit atau hanya sekadar menciptakan keramaian.
Mereka menulis lirik lagu sendiri, mengaransemen sendiri, meramu alat-alat musik sendiri, sehingga tercipta garapan-garapan lagu yang autentik. Karya-karya semacam inilah yang bisa diperkenalkan keluar Buleleng atau keluar negeri sebagai produk khas seniman Buleleng.
Lirik lagu mereka tak jauh-jauh dari gambaran Buleleng atau Kota Singaraja dan sekitarnya. Kata-kata dalam lirik lagu mereka bahkan sepertinya diniatkan sebagai semacam promosi untuk memperkenalkan bahwa Buleleng layak dikunjungi.
Dengan semangat dan kengototan berkarya semacam itu, Empat Detik Sebelum Tidur bukanlah tipe band yang melayani selera pasar, melainkan mereka berusaha membentuk selera pasar sekaligus menemukan segmen penggemar yang terpilih.
Personel grup band Empat Detik Sebelum Tidur | Foto: Dok Empat Detik Sebelum Tidur
Mari berkenalan dengan personel-personel Empat Detik Sebelum Tidur. Personelnya ada empat orang, semuanya anak muda yang cuek namun kreatif, anak muda yang tidak pedulian pada pasar namun responsif terhadap perubahan lingkungan sekitar.
Mereka adalah Yogi yang memainkan percussion sekaligus vokalis, Sonata pada minor pecussion sekaligus juga vokalis, Aris Jack dan Konot memainkan gitar dan juga vokalis.
Aris Jack menuturkan sejak awal mereka bertekad untuk berkarya bersama dalam sebuah group musik akustik bergenre alternative ethnic folk yang mereka beri nama Empat Detik Sebelum Tidur.
Group ini terlahir berdasarkan pemikiran yang lebih menumpu pada garis natural dan sederhana. Terlahir pada tanggal 19 Maret 2016 yang berawal dari keinginan salah satu personil, yakni Sonata, yang ingin menggubah karya tulis puitisnya menjadi sebuah lagu.
Hingga sampai saat ini dalam kurun waktu yang relatif singkat mereka sudah merilis satu mini album yang bertajuk “Penganut Sederhana”. Mini album itu dirilis pada tanggal 26 April 2016 tepat pada pukul 1 dini hari. Adapum dalam mini album ini diputuskan untuk mengambil live recording yang murah meriah dan simple untuk mengutamakan kenaturalan. Bahkan beberapa lagu di-take hanya sekali saja, tanpa menyembunyikan kesalahan dan/ kekurangannya.
“Menurut kami, Empat Detik Sebelum Tidur punya kelemahan yang juga sebagai partikel pembentuk harmonisasi yang indah dan apa adanya,” kata Aris Jack.
Influences, kata Aris Jack, bisa musik apa saja, gamelan/musik ethnic tradisional dan suara alam.
Dengan menulis lagu yang bernada sederhana, kata Aris Jack, Empat Detik Sebelum Tidur berharap karya musik yang dihasilkan, selain menjadi pemutar roda keindahan juga liriknya dengan mudah bisa menginspirasi para penikmat musik Indonesia.
“Hari-hari ini sedikit digandrungi lirik lirik yang kurang mendidik dan terlalu menganga,” kata Aris Jack.
***
Kembali ke panggung HUT Kota Singaraja, Empat Detik Sebelum Tidur bukannya tak ada yang menonton. Meski banyak penonton yang sepertinya tak sabar menunggu band berikutnya, namun penonton yang memang datang untuk menonton Empat Detik Sebelum Tidur juga banyak. Hanya saja, mereka adalah penonton yang sepertinya lebih suka menikmati lirik lagu dengan serius dan mendengar gubahan lagunya dengan seksama, ketimbang berjingkrak-jingkrak.
Empat Detik Sebelum Tidur di panggung Malam Semarak Berbangga di Lapangan Bhuana Patra Singaraja | Foto: Rusdi Ulu
Malam ketika Empat Detik Sebelum Tidur di atas panggung, penonton duduk berbaris santai menikmati kudapan dan minumannya depan panggung—ada yang sengaja di kerumunan hanya untuk merenung, atau muda-mudi yang silang mesra.
Aris dan kawan-kawan menyanyikan lagu pertamanya berjudul Wilderness, lagu berbahasa Inggris dengan alunan musik etnik.
Lagu berikutnya mengalir seperti air yang sejuk mengalir di pegunungan, tenang dan damai namun menyimpan energi alam yang menggetarkan. Penonton tertib mendengarkannya.
Di akhir penampilannya, mereka membawakan lagu yang paling ditunggu-tunggu—Nona Manis, semakin memberi nuasa puitis angin malam kala itu.
Nona Manis adalah lagu yang terkenal di kalangan penggemar Empat Detik Sebelum Tidur. Nona Manis, sekali lagi, memang salah satu yang mampu membangkitkan roh kenangan pada Kota Singaraja. Kenangan yang hampir tak pernah dijumpai pada lagu-lagu yang diputar oleh kedai kopi di pusat kota—atau, misalnya, pada sela jedag-jedug riuh di Pantai Penimbangan, Singaraja.
Lagu Nona Manis tidak bisa luput dinantikan pada setiap penampilan Empat Detik Sebelum Tidur—khususnya bagi telinga orang Singaraja yang tahu lagu itu.
Seperti pada malam HUT Kota Singaraja itu beberapa orang berteriak, “Nona manis-siapa yang punya…” saat Aris perlahan menaiki panggung, seolah-olah penonton ingin mengingatkan jangan sampai tidak dinyanyikan lagu yang satu itu. Seperti lagu wajib setiap upacara bendera, seperti itu pula Nona Manis harus ada pada setiap Empat Detik Sebelum Tidur manggung.
Coba simak liriknya:
Sudut jantung kota
Ambara di Bali Utara
Nona manis
Melengkapi pesona
Ukir romansa
Cinta di tugu tua kenangan
Meretas tawa
Hingga menuju senja
Pantai Binaria, ombak landai
Rangkum nostalgia, sambut semesta
Tari riang lumba-lumba
Nona bunga pelataran kota
Mencuri hati, jejaka muda
Deru jantung berdebar
Saat bergandeng tangan
Di sepanjang jalan
Langit berpayung sejuk
Nona ku peluk
Pantai Binaria, ombak landai
Rangkum nostalgia, sambut semesta
Tari riang lumba-lumba
Nona bunga pelataran kota
Mencuri hati, jejaka muda
Deru jantung berdebar
Saat bergandeng tangan
Di sepanjang jalan
Langit berpayung sejuk
Nona ku peluk
Deru jantung berdebar
Saat bergandeng tangan
Di sepanjang jalan
Langit berpayung sejuk
Nona ku peluk
Nona ku peluk
Nona ku peluk
Nona manis siapa yang punya
Nona manis siapa yang punya
Nona manis siapa yang punya
Yang punya Singaraja
Malam itu, selain mebawakan lagu Wilderness, Aris Jack dan kawan-kawan membawakan l;agu Cintai Dirimu, Perempuan Perkasa dan tentu saja Nona Manis.
***
Lagu-lagu Empat Detik Sebelum Tidur memang memberikan pengalaman mendalam tentang romansa tempat, terutama tempat-tempat di Bali Utara, yang seolah-olah membawa pendengar terbang mengarungi kota dengan lirik puitis.
Dalam album Terserah Anda misalnya—yang rilis tahun 2018, lagu Udara, Cahaya Utara menjejal telinga bagai sedang merenungi ingatan yang membekas di bawah langit pesisir dengan hamparan angin laut.
Personel grup band Empat Detik Sebelum Tidur | Foto: Dok Empat Detik Sebelum Tidur
Pada lagu Jogja Dewata, mereka bercerita pesona gadis Jogja yang dirayu seorang pria Bali—liriknya tak jauh dari suasana pesisir “meski ujung senja – ragukan cinta kita berpeluk mesra.”
Hal serupa juga ada dalam lagu Rayuan 1958, diawali lirik “Pesona surya tenggelam – menggenggam tangan jelita – Nyiur dan basah dihembuskan angin pecinta gerimis.”
Nampaknya Empat Detik Sebelum Tidur memang ingin memeras suasana pesisir Bali Utara dengan alunan musik altenative ethnic folk-nya. Musik yang mengajak orang membayangkan duduk santai pinggir pantai—sesekali berdansa di atas pasir.
Selain album di atas, pada album pertama, Penganut Sederhana, Aris dan kawan-kawan mencoba menampilkan landscape kenangan dari kota kelahirannya, Singaraja.
“Kami dedikasikan untuk semua kota yang memiliki kearifan lokal gedung-gedung tua dan tugu-tugu tua penginggalan sejarah seperti tempat kami lahir Singaraja” dikutip dari laman youtube Empat Detik Sebelum Tidur.
Tak hanya itu, mereka juga menangkap gejolak pembangunan yang memporak-porandakan alam. Lewat lagu Borneo/SAPE, mereka menunjukkan kegelisahannya tentang situasi alam, “Lagu yang kami dedikasikan untuk Hutan Borneo ini merupakan bentuk kegelisahan kami atas berkurangnya Hutan Hujan Borneo dari tahun ke tahun,” tulis keterangan di youtube Empat Detik Sebelum Tidur.
Empat Detik Sebelum Tidur seolah ingin memberitahu, pengalaman akan sebuah tempat bisa saja hitam ataupun putih. Seperti hitam elegi lirik Borneo/SAPE atau putih manis sajak kenangan dalam Nona Manis.
Nah, kurang apa lagi? Empat Detik Sebelum Tidur memang band kebanggaan Buleleng yang sesungguhnya. [T]
Reporter dan Pengumpul Data: Rusdy Ulu
Penulis: Adnyana Ole dan Rusdy Ulu
Editor: Adnyana Ole