“Ratu Bhatara, sing suud-suud teka rahinane…”
Seperti itulah cuitan yang saya dengarkan beberapa hari lalu. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, arti cuitan berbahasa Bali tersebut adalah: “Ya Tuhan, tidak selesai-selesai datang Hari Sucinya.”
Tidak mau menyebutkan siapa dan bagaimana ciri-ciri orangnya, untaian kalimat itu cukup membuat saya terhenyak. Dalam pikiran saya yang lulusan berbau sedikit agama: “Bukannya memang lumrah ya, kita di Hindu memiliki banyak hari suci?” Bahkan jika menelisik kembali buku karya Gde Aryantha Soethama yang berjudul “Bali is Bali.” Pulau Bali oleh orang luar bahkan diakronimkan dengan nama alias Bali = ‘Banyak Libur’.
Jika meneropong ke belakang, kedatangan hari suci yang berjejer dimulai dari datangnya Tumpek Wariga di tanggal 3 Februari 2024 lalu. Sebagai awalan dari rangkaian hari suci Galungan, Tumpek Wariga tentu dimaknai sebagai hari suci memuliakan tumbuh-tumbuhan yang dirayakan secara khidmat oleh umat Hindu. Diharapkan dengan merayakan hari suci Tumpek Wariga, tumbuh-tumbuhan dan pepohonan dapat tumbuh subur untuk dapat digunakan sebagai sarana Upakara dalam melaksanakan Yadnya.
Dapat istirahat sejenak, 3 minggu setelahnya umat Hindu menyambung merayakan hari suci penyucian Alam Semesta (Bhuana Agung) yang dikenal dengan istilah Sugihan Jawa, beserta penyucian manusia sebagai isinya (Bhuana Alit) yang dikenal dengan istilah Sugihan Bali. Hari suci ini secara berturut-turut tiba di hari Kamis dan Jumat, tanggal 22 dan 23 Februari 2024. Begitu istimewanya, karena keesokan harinya di Hari Sabtu, 24 Februari 2024, Purnama Sasih Kesanga juga turut nyempil di tengah persiapan Hari Suci Galungan.
Tibalah umat Hindu di Minggu Wuku Dungulan, dimana rangkaian agung hari suci Galungan dimulai dengan hadirnya hari suci Penyekeban dan Penyajaan di tanggal 25 dan 26 Februari 2024. Disambung kemudian datanglah hari suci Penampahan, hari suci Galungan, dan hari suci Umanis Galungan yang berturut-turut terlaksana dari hari Selasa sampai Kamis, 27 sampai 29 Februari 2024. Hal ini menandai sebagai puncaknya peringatan hari kemenangan Dharma melawan Adharma.
Lebih lanjut, umat Hindu bersiap-siap merayakan hari suci Pemaridan Guru, Ulihan, dan Pemacekan Agung yang hadir secara berturut-turut dari tanggal 2 sampai 4 Maret 2024. Disambung beberapa hari kemudian, beberapa umat Hindu juga perlu menyiapkan dan melaksanakan rangkaian hari suci Nyepi yaitu Melasti dengan pergi ke laut guna mengambil Tirta Amertha untuk menyucikan segala kotoran atau mala di dunia. Hari Jumat per tanggal 8 Maret 2024, umat Hindu melaksanakan hari suci Penampahan Kuningan. Tibalah puncak hari suci Kuningan yang terlaksana di keesokan harinya pada hari Sabtu, 9 Maret 2024.
Tidak berhenti sampai disana, umat Hindu juga perlu merayakan rangkaian hari suci Nyepi, tahun Baru Caka 1946 di minggu kedua bulan Maret. Hal ini diawali dengan adanya Tawur Agung Kesanga yang terlaksana tepat pada hari suci Tilem Sasih Kesanga, 10 Maret 2024. Pada hari tersebut, umat Hindu Nyomya atau mengarahkan energi Bhuta Kala agar mengisi tempat yang semestinya guna tidak mengganggu hidup manusia. Keesokan harinya, umat Hindu melaksanakan hening dan introspeksi diri dengan Catur Bratha Penyepian di Hari Suci Nyepi, tanggal 11 Maret 2024.
Pada akhirnya, rangkaian hari suci yang berjejer di bulan Maret ditutup dengan terlaksananya Ngembak Gni di hari Selasa, 12 Maret 2024. Eitssss, ternyata belum benar-benar selesai. Menyempil di satu minggu kemudian tepatnya hari Selasa, 19 Maret 2024, datang pula hari suci Anggara Kasih Medangsia yang oleh beberapa desa adat, diperingati sebagai Piodalan di salah satu Pura Kahyangan Tiga Desa.
“Bukan maennnn, akhirnya paham mengapa orang tadi berkata demikian.” ujar Sang Citta sambil melihat Kalender Bali dan mengangguk.
Pada bulan Februari sampai pertengahan bulan Maret 2024, ternyata umat Hindu memang menyongsong banyak hari suci secara berjejer dan berturut-turut. Tidak bisa dipungkiri juga, menimbang hari suci memang akan selalu hadir secara terstruktur, sistematis, dan masif selaras dengan perhitungan waktu, yaitu Wariga.
Dalam ajaran agama Hindu, hari suci merupakan bagian yang lekat dengan salah satu kerangka dasar agama Hindu, yaitu Upacara dan ajaran luhur, yaitu Yadnya. Sehingga apabila ditelaah secara esensial, persiapan dan pelaksanaan Yadnya pada hari suci seyogyanya selalu diimbangi dengan adanya unsur mutlak, yaitu Karya (Perbuatan), Sreya (Ketulusan), Budhi (Kesadaran), dan Bhakti (Persembahan).
Kemudian dari sisi kuantitas, persembahan Yadnya dalam pelaksanaan hari suci juga bisa dihaturkan sesuai kemampuan. Dimana Yadnya berdasarkan kuantitasnya, bisa dibuat dan dihaturkan dari yang terkecil hingga terkecil (Nistaning Nista), sampai yang terbesar hingga terbesar (Utamaning Utama). Jelas sudah, bahwa agama Hindu tidak bersifat memaksa dan tidak memberatkan umatnya dari sisi finansial.
Lebih lanjut dari sisi keutamaan, pelaksanaan hari suci pada hakikatnya menjadi sebuah keistimewaan bagi yang merayakannya dengan penuh ketulusan dan kebahagiaan. Rangkaian hari suci yang berjejer, semakin membuat umat Hindu dapat mengingat Yang Maha Kuasa secara intens, serta bersyukur atas nikmat yang telah diberikan. Hal ini selaras dengan tujuan pelaksanaan hari suci dan Yadnya itu sendiri, yakni sebagai cetusan rasa terimakasih, meningkatkan kualitas diri, sebagai sarana penyucian, dan yang paling utama sebagai sarana berhubungan dengan Tuhan melalui cara kesejukan.
Jadi, apakah berjejernya hari suci tersebut masih bisa disebut sebagai sebuah beban? Atau malah cuitan orang di awal merupakan refleksi dari sebuah keistimewaan? Jawabannya kembali lagi pada diri kawan-kawan umat sedharma yang merayakan. [T]
Sumber Referensi:
Sudarsana, I. B. Putu. 2003. Ajaran Agama Hindu Acara Agama (Edisi II). Denpasar: Yayasan Dharma Acarya.
Suratmini, Ni Wayan. 2016. Buku Penunjang Materi Agama Hindu dan Budi Pekerti untuk Siswa SMA/SMK Kelas X – Semester Ganjil. Denpasar: Tri Agung.