“Kalau dilihat dari quick count itu ya jauh. Tetapi harus semangat, ini namanya ujian.” Begitu kata Wayan Koster, Ketua Tim Pemenangan Daerah (TPD) Ganjar-Mahfud Provinsi Bali sekaligus Ketua DPD PDIP Bali sebagaimana dikutip dari bisnis.com.
Ungkapan itu tentu saja terkesan pasrah. Namun mau apa lagi. Berdasar hasil hitung cepat perolehan suara Pilpres 2024, Rabu, 14 Februari 2024, di Bali, pasangan capres/cawapres Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang diusung PDIP kalah jauh dengan pasangan capres-cawapres Prabowo-Gibran.
Media balipolitika.com, pada pemberitaan Kamis, 15 Februari 2024 menyebutkan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar meraih 15.599 (3,73 persen), Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka meraih 217.047 (51,89 persen), dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD meraih 185.622 (44,38 persen) per Kamis, 15 Februari 2024 pukul 12.00:22 dengan progres input 4.595 dari 12.809 TPS atau 35.87 persen.
Meski kalah di Pilpres 2024, diketahui sesuai hasil hitung suara legislatif DPR RI 2024 di situs resmi Komisi Pemilihan Umum, PDI Perjuangan Bali mendulang perolehan suara tertinggi dengan 41.844 (56,29 persen) disusul Partai Golkar dengan 9.148 (12,31 persen), Partai Gerindra 6.617 (8,9 persen), Partai Demokrat 4.223 (5,68 persen), Partai NasDem 3.689 (4.96 persen), dan parpol-parpol lainnya.
Hitungan sementara ini mengacu hasil input 2.452 dari 12.809 TPS atau data masuk 19,14 persen per Kamis, 15 Februari 2024 pukul 12:01:31.
Ujian Kesekian
PDIP, khususnya PDIP di Bali, sesungguhnya sudah mengalami sejumlah ujian dalam perhelatan Pemilu sejak awal reformasi. Selain, tentu saja menunjukkan kecendruangan anomali, di satu sisi menang pemilu legislatif tapi kalah dalam pemilihan pemimpin seperti presiden, gubernur dan bupati.
Mari ingat-ingat lagi pemilihan presiden tahun 1999, pada awal-awal reformasi. Saat itu posisi PDIP adalah sebagai pemenang Pemilu. Namun, dalam pemilihan presiden (masih lewat MPR), Megawati yang notabene Ketua Umum PDIP kalah suara dengan Gus Dur. Dan, seperti diketahui, Gus Dur kemudian dilengserkan, baru kemudian Megawati jadi presiden ke-5 RI.
Ketika pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung, Megawati yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi, yang diusung PDIP, kalah dari pasangan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK). Perolehan suara SBY-JK 60,62 persen, dan Megawati-Hasyim 39,38 persen.
Lima tahun berikutnya Megawati yang berpasangan dengan Prabowo juga kalah dari SBY-Budiono. Namun, yang membuat PDIP Bali masih bisa menegakkan kepala adalah ketika Megawati kalah pada hampir semua provinsi di Indonesia, justru Megawati tetap menang di Bali. Saat itu hanya Bali dan NTT yang memenangkan Megawati, sementara provinsi lain dikuasai SBY.
Namun saat Pilpres tahun 2024 ini, dari hasil hitung cepat, pasangan Prabowo-Gibran menang hampir di semua provinsi di Indonesia, dan yang mengejutkan, termasuk Bali juga ikut dikalahkan. Benar-benar menyakitkan. Padahal, sepanjang 25 tahun PDIP tetap sebagai partai terbesar dan partai pemenang di Bali. Tentu saja ini ujian.
Ujian pada Pilkada di Bali
Tapi ujian yang lebih menyakitkan tentu saja terjadi dalam Pilkada di Bali, baik pada Pemilihan Gubernur dan Pemilihan Bupati. PDIP, dalam pilkada, juga berkali-kali menghadapi ujian.
Mari ingat-ingat peristiwa yang jauh di belakang. Pada awal-awal reformasi, ketika PDIP menang di seluruh kabupaten di Bali, justru terdapat calon Bupati dari PDIP keok di tangan lawan dalam pemilihan Bupati. Saat itu, pemilihan masih dilakukan lewat voting di DPRD,
Logikanya, dengan anggota DPRD terbanyak, PDIP bisa menang mudah dalam pemilihan kepala daerah. Saat itu, pemilihan kepala daerah dilakukan lewat sidang DPRD. Yang memilih hanya anggota DPRD, belum berlaku sistem pemilihan langsung oleh rakyat. Jika terjadi voting, PDIP dengan jumlah suara terbanyak pastilah bisa memenangkan calon bupati dari PDIP.
Tapi nyatanya tidak. Di Kabupaten Jembrana, pada sidang Pemilihan Bupati, calon Bupati dari PDIP, Ketut Sandyasa, ternyata kalah. Yang menang adalah calon Bupati I Gede Winasa yang saat itu berpasangan dengan Suania. Padahal Winasa-Suania diusung oleh fraksi dari partai kecil di Jembrana, yakni PPP dan Partai Republik.
Winasa saat itu mendapatkan 19 suara, sementara cal;on dari PDIP mendapat 11 suara.
Tahun 2002, drama serupa terjadi di Kabupaten Buleleng. Pada Pilkada yang dilakukan melalui sidang DPRD, pasangan calon bupati dan calon wakil bupati, Putu Bagiada dan Gede Wardana, menang, mengalahkan calon bupati dan wakil bupati yang diusung Fraksi PDIP, Nyoman Sudharmaja Duniaji dan Nyoman Sudiana.
Kisahnya sungguh mirip dengan yang terjadi dalam sidang pemilihan bupati di Jembrana tahun 2000. Di DPRD Buleleng, jumlah anggota Fraksi PDIP terbanyak, bahkan jumlah kader PDIP setengah lebih dari keseluruhan 45 jumlah anggota DPRD Buleleng. Namun calon dari PDIP kalah.
Pasangan Bagiada-Wardana memperoleh 25 suara, sementara pasangan Sudharmaja-Sudiana hanya mendapatkan 18 suara.
Nah, terjadilah kemudian ujian pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) yang dilakukan secara langsung tahun 2013. Saat itu, PDIP mengusung pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur AA Ngurah Puspayoga-Dewa Nyoman Sukrawan. Sementara Partai Golkar bersama koalisinya mengusung pasangan Made Mangku Pastika-I Ketut Sudikerta.
Saat itu, PDIP masih tetap sebagai partai terbesar dan pemenang di Bali. Namun pada Pilkada Gubernur itu, PDIP kalah. Puspayoga-Dewa Sukrawan memperoleh suara 1.062.738 (49,98 persen), sementara Mangku Pastika-Sudikerta meraih suara 1.063.734 (50,02 persen).
Selisih kekalahannya sangat tipis, dan hal itu tentu saja ujian yang menyakitkan.
Ini ujian terakhir sebelum Pemilu 2024. Terjadinya dalam Pilkada Jembrana. Pasangan capres-cawapres dari PDIP dikalahkan calon lain, padahal PDIP masih sebagai partai terbesar di daerah itu.
Pada pilkada Jembrana itu, pasangan cabup-cawabup I Nengah Tamba dan I Gede Ngurah Patriana Krisna mengalahkan pasangan Kembang-Sugiasa yang diusung PDIP.
Jadi, ujian untuk PDIP di Bali bukan pada Pemilu 2024 ini saja terjadi. Sudah berkali-kali. Jika ujiannya berkali-kali, tentu banyak pelajaran yang diperoleh. Tapi masalahnya, apakah ujian itu membuat para tokoh dan kader PDIP belajar?
“Hitung dengan teliti kekalahan, hitung dengan teliti kemenangan,” begitu kata Chairil Anwar dalam puisinya. Jadi, saat menang PDIP harusnya belajar juga, apalagi saat kalah. [T]