DALAM buku Lingkungan Hidup dan Kapitalisme, Fred Magdoff dan John Bellamy Foster (2017) menyitir teorema ketidak-mungkinan (Herman Daly), yang menyatakan bahwa ekonomi tidak mungkin bisa tumbuh secara terbatas. Teori yang sekaligus sindiran terhadap penguasaan ekonomi oleh kapitalis.
Maka menciptakan lingkungan sempit mempertajam gerak kapitalis dengan cara-cara masif. Salah satu cara untuk menguasai karakter manusia termasuk mengabaikan karakter budaya. Dan menjadi ritme permainan yang kian menarik dalam sistem perpolitikan. Apalagi waktunya yang begitu dekat dengan kontestasi pemilu.
Masih adakah kenuranian etika, di tengah demokrasi yang kian terpuruk? Mungkin hanya logika orang kurang normal yang menganggap situasi kini aman-aman saja. Sebab jika sudah bersentuhan dengan norma-norma demokrasi, maka rakyat dan negara ada di dalamnya, tidak terpisah satu sama lainnya.
Benarkah zaman kini memunculkan rasa ketakutan; rasa was-was; ketidakpastian yang berkepanjangan, hingga melahirkan asumsi logika yang disebut sebagai zaman nalar. Revolusi logika seakan memacu pemikiran moderat yang mematahkan teori-teori masa lalu. Pemikiran antitesis seakan menyejajarkan pemikiran manusia dengan konsepsi malaikat. Membangun mimpi dengan tangan-tangan manusia yang kemudian memunculkan asumsi baru.
Menyitir sebuah catatan peristiwa yang dirilis Majalah Tempo berjudul: “2023 Tahun Politik yang Mengerikan” (31 Desember 2023), apakah ini dampak dari kemerosotan demokrasi dan kebebasan hukum menjadi stagnan? Secara logika, dinamika politik akan berimbas pada perilaku sosial (etika budaya). Kondisi kestabilan politik tentunya akan memengaruhi struktur sosial yang dihadapkan pada pilihan-pilihan dilematis. Maka, sangat wajar jika muncul istilah annus horribilis (tahun yang mengerikan).
Seyogianya, jika ada dinamika dalam politik ini bisa dianggap sebagai hal yang wajar. Tetapi karena kebijakan yang dilaksanakan melanggar tata normatif hukum, oleh sekelompok orang yang mengatas-namakan negara, ini artinya tidak ada lagi etika pada putusan-putusan tersebut. Munculnya kerusakan-kerusakan demokrasi yang memperparah kondisi dalam kehidupan bangsa dan negara, hingga konsep pemikiran bisa terstimulasi oleh hal-hal yang agak sensitif.
Budaya yang dianggap sebagai tradisi peninggalan masa lalu, seperti memacu kereta-kereta konvensional, berjalan terseok-seok di antara deru zaman yang bertransformasi diri menjadi kapitalis teknologi. Kekuatan baru yang meruntuhkan nilai-nilai entitas manusia, yang seyogianya tetap menjadi manusia beradab dan berintelektual. Konsep ini, mungkin hanya penggalan sejarah yang tidak lagi relevan dengan tantangan kini.
Pemikiran manusia terpacu. Risiko yang harus ditanggung oleh pengendali dunia, yang dinamakan manusia, sudah melupakan siapa sesungguhnya manusia itu. Hari kiamat seperti yang tertulis dalam kitab suci, seakan menjadi penghalang untuk mewujudkan impian sekelompok manusia. Meski risiko terbesar adalah sebuah ketakutan luar biasa. Penyakit psikologis bermunculan di mana-mana.
Dunia berubah menjadi apokaliptik; dunia berubah menjadi ketidakpastian, ketidaktahuan, keterbatasan, bahkan ketidakadilan yang akan menjadi penghalang impian manusia. Ancaman badai, seperti katastrofe, juga kondisi internal psikis manusia, seperti distopia, seharusnya tidak boleh mengiringi kehidupan manusia. Hidup adalah pilihan yang menempatkan penanda dan petanda untuk terus abadi. Mungkin puisi adalah frasa terindah untuk wujudkan impian. Menunda ajal!
Silang pendapat, memaksa manusia tidak mampu berlaku adil pada pikirannya sendiri. Manusia lupa, bahwa ada estetika budaya yang melekat pada dirinya. Media sosial yang menjadi sarana untuk melahirkan pemikiran baru; sumber ilmu pengetahuan dan wawasan baru, sering menjadi alih fungsi yang disalahgunakan dalam normatif etika.
Gejala silang pendapat atau perdebatan seolah menjadi keseharian di media sosial. Ironisnya, ini memunculkan kekuatan emosional yang mengalahkan penalaran sehat. Kemampuan analisis orang tentang sebab-akibat; yang merupakan kemampuan nalar – penting untuk menghadapi sesuatu yang samar; sesuatu yang entah penyebabnya.
Perenungan dan permenungan tentang kehidupan, seolah itu hanya menjadi urusan wilayah pribadi dan Tuhan. Entitas manusia itu bergerak maju dari ketidaktahuan, yang kemudian diketahui berubah menjadi sebuah persoalan (masalah) dalam spektrum ruang besar. Entah dan samar ini dihadapkan kepada manusia sebagai persoalan yang harus dipecahkan dan diterobos.
Mungkin kita atau seseorang harus merumuskan pengertian “entah” dan “samar” yang berpusar pada peristiwa-peristiwa. Kemudian rumusan ini menjadi rujukan sejarah kelak. Di mana, kelak ini menjadi perjalanan waktu yang memunculkan analisis-analisis baru. Bisa jadi membentuk peradaban baru. Kenapa demikian, karena kelak (waktu yang tanpa kepastian) memunculkan fenomena di mana manusia menjadi terasing, kelaparan, menanti datangnya maut, menghadapi musibah, dan lain sebagainya.
“Entah” kemudian berkembang dalam keilmuan futurolog; yang berhadapan dengan kemajuan sains dan teknologi, serta munculnya adaptasi baru dalam fenomena sosial. Bisa juga, munculnya berbagai penyakit baru yang belum terdeteksi. Maka, sains dan teknologi menjadi terapan bagi disiplin ilmu kedokteran. Ini pastinya juga berkutat pada persoalan sebab-akibat.
Babak atau fase penyakit yang berdampak langsung pada kesehatan manusia, hanya mampu dilakukan simultan, jika kondisi ini terjadi di beberapa negara atau seluruh dunia mengalami hal yang sama. Hanya disayangkan, hal-hal yang bersentuhan dengan kemanusiaan juga memunculkan persoalan ketidakadilan, misalnya dana diselewengkan atau dikorupsi.
Semua menjadi “entah”, apa penyebabnya; dari mana asalnya; penyakit yang tidak dikenal, karena sudah membudaya, entah karena belum ada yang menganalisis dan menelaahnya. Hukum yang menjadi pembatas norma seperti kehilangan nalar dan naluri logika. Bicara kebenaran hanyalah hari-hari yang menakutkan; akal manusia seakan buntu, bagaimana menghentikan sesuatu yang disebut dengan -entah-
Sesuatu yang berhubungan dengan etika moral, jika terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam kontekstual keseharian bisa dianggap sebagai gejala atau isyarat baru atas sebelumnya. Munculnya peradaban baru dengan manifestasi budaya yang juga baru. Apakah saat ini terjadi dengan ditandai pembangunan IKN? Bisa jadi, karena perspektif orang sudah diracuni oleh hal-hal yang terkesan fantastis. Atau hanya memaksakan membangun mimpi seseorang menjadi nyata. – entah!
Maka ketika zaman modern terdesak dengan silogisme kapitalis, harus ada cara untuk memberangus kebenaran, keadilan, humanisme, dengan penciptaan “entah” yang baru. Memunculkan rasa takut, rasa cemas yang berlebihan dan menyamarkan nilai-nilai budaya yang dianggap tidak lagi relevan dengan kebutuhan zaman.
Persoalan-persoalan moralitas menjadi antitesis budaya, yang mungkin cukup hanya dikaji dan didiskusikan dalam ruang-ruang agama. Manusia harus menjadi pemberani, yang tidak harus didasari oleh ketidaktahuan dan ketidakadilan. Ini sudah menjadi wilayah revolusi logika, yang mampu menjamah ruang-ruang di luar nalar logika dan etika.
Manusia menjadi tidak dewasa dengan kesakralan budaya. Peradaban dunia modern tidak hanya cukup dirancang dengan budaya. Kedewasaan harus tumbuh dengan keberanian menggunakan akal, intelektual dan kearifan diri. Kontemplasi nalar logika seharusnya menjadi kendali dalam sistem. Ada kalanya menjadi penghangat, tetapi di sisi lain juga harus berfungsi pendingin. Pertanyaannya, siapa yang jadi kendali atas kondisi ini, yang tampaknya memang tidak sedang baik?
Zaman sudah semakin dewasa, konsep “entah” menjadi senjata pelindung diri. Yang dimainkan oleh aktor-aktor yang perannya sama cerdasnya dengan robot-robot pintar kecerdasan buatan (artificial intelligence). Ketidakdewasaan juga membuat manusia harus dituntun dalam tatanan sosial, agama dan penguasa. Orang tak akan mampu menjadi dewasa karena tidak mencari jalan sendiri. Zaman telah terprovokasi dalam elipsis revolusi logika, bila perlu menelanjangi hukum!
Hanya menghitung hari, yang kian sempit untuk membuat orang harus lebih berpikir jernih dan rasionalitas dalam menentukan pilihan, siapa calon presiden terbaik bagi bangsa ini. Calon yang tentunya lebih mengedepankan kepentingan masyarakat luas; calon yang tetap menjaga etika moral, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi bangsa. Calon yang memiliki konsep perubahan yang lebih substantif. Yang tentunya, harkat dan martabat bangsa menjadi tingkat pencapaian di mata dunia, bukan dengan cara kapitalis dan oligarki. Keberanian ini tentunya akan menjawab keresahan: budaya yang menjadi entah! Bangsa seharusnya memilih seorang presiden, bukan untuk memilih penguasa. [T]