KAKEK tua itu memanjat pohon lontar yang tinggi sesantai menaiki anak tangga. Meski sudah berumur, tangannya masih kuat mencengkeram, sedang sedikit pun kakinya tak gemetar, meski gerakannya mungkin lebih lamban dari tiga puluh tahun yang lalu. Ia mengingatkan saya pada atlet panjat tebing veteran dengan prestasi gemilang di masa mudanya. Di pinggangnya terikat sebuah golok kecil dengan sarung kayu.
Tubuhnya jauh dari kata ringkih. Kulit dan ototnya tidak menggelambir. Sedang sorot matanya masih menunjukkan kilat yang mengagumkan. Kakek itu tidak kempot. Giginya tidak banyak tanggal. Sedang badanya tidak melengkung sama sekali. Tetap tegap layaknya gerilyawan di masa revolusi—melihat kumis dan topi yang dipakainya, kakek tua ini memang mirip pejuang sosialis yang revolusioner daripada pemanjat pohon lontar.
Pekak Tilem di atas pohon lontar | Foto: Kardian
Dalam hal fisik dan kerja keras, di umurnya saat itu, barangkali ia setara dengan Mao Ze Dong. Bedanya, seumuran ini, seperti kata Mahbub Djunaidi, Mao masih sanggup menggerakkan Revolusi Kebudayaan yang melindas gejala bojuis, menghardik cendekiawan snop yang menggurui, mengeremus kaum ragu-ragu yang kelihatan menempuh jalan kapitalis, dan di sela-sela itu ia masih bisa berenang-renang di Sungai Kuning lalu mengganyang habis sebaskom mi bakso tanpa berkedip.
Sedangkan kakek tua itu, meski tak pernah—dan barangkali juga tak sanggup—menggerakkan revolusi, tapi fisiknya masih sanggup memanjat pohon lontar dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Tak cukup satu-dua pohon, kakek tua itu memanjat puluhan pohon. “Setiap hari memanjat, dua kali dalam sehari, pagi dan sore,” katanya.
Untuk orang seperti saya yang tak sepenuhnya mengenal dunia perdesaan di Bali, bertemu dengan sosok seperti Made Tilem—ia biasa dipanggil Pekak—membuat hati saya gentar. Lelaki yang berumur hampir 80 tahun itu, bersama sang istri, sudah menekuni profesi ini selama tiga puluh tahun.
Pekak Tilem adalah penyadap nira pilih tanding. Ia tinggal di rumah sederhana di tengah kebun di Banjar Dinas Ngis, Desa Tembok, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali. Desa yang terletak di ujung timur Buleleng itu, memang terkenal akan hasil niranya. Di pinggir-pinggir kebun, di lereng-lereng bukit, pohon lontar tumbuh dengan subur.
Pekak Tilem memikul dua ember berisi nira | Foto: Kardian
Beberapa orang Tembok menggantungkan hidup kepada pohon yang daunya, dulu, digunakan sebagai tempat mencatat itu. “Pohon ini yang menghidupi keluarga kami,” ujar Ni Wayan Nyamin, istri Pekak Tilem, sembari memasukkan kayu ke dalam tungkunya. Api membesar. Nira di dalam wajan besar itu bergelembung, mendidih, dan meletup.
Pekak Tilem menyaring dan menuangkan seember tuak segar ke dalam ember yang lebih besar. Di saringan terdapat bunga, lebah yang tak bernyawa, dan kotoran lain yang tak jelas bentuknya. Ia meminta istrinya untuk mengambil gelas kaca. Lalu memaksa saya untuk mencicipi tuak manis hasil jerih-payahnya. Saya tak dapat menolakknya.
Umumnya, sebagaimana Pekak Tilem dan istrinya, orang Tembok mengolah nira lontar menjadi empat jenis produk: tuak manis, tuak wayah, tuak badeg, dan gula Bali. Tuak manis merupakan tuak murni (nira atau legen, begitu orang Tuban, Jawa Timur, menyebutnya).
Tuak murni ini difermentasi dengan lau—semacam starter untuk mempercepat proses fermentasi bahan pangan—berupa kulit kesambi yang dicampur dengan cuka. Selain itu, bisa juga digunakan lau kulit kayu santen, kulit mete, kulit nangka, kulit juwet atau jamblang, dan sebagainya.
Proses penyaringan nira | Foto: Kardian
Sedangkan tuak wayah merupakan tuak yang difermentasi dengan lau yang terbuat dari sabut kelapa atau sabut buah lontar. Dan tuak badeg adalah tuak yang nantinya dijadikan sebagai bahan utama dalam pembuatan arak Bali—yang terkenal itu. Tuak, arak, dan warga Tembok nyaris tak bisa dipisahkan. Arak atau tuak, seperti kopi di kafe dalam masyarakat Prancis, menjadi minuman lalu-lintas informasi, simbol kesetiakawanan sosial dipelihara dan wacana dikembangkan.
Saya berkunjung ke Tembok sekira lima tahun yang lalu, sebelum Pandemi Covid-19 menjadi trending topic warga dunia. Saya menyatroni Tembok, desa perbatasan Buleleng-Karangasem itu, persis seperti yang dikatakan sebuah sajak: “Pejalan yang melemparkan kompas dan mencabik-cabik peta!” Saya datang dengan meraba-raba, tanpa literatur yang memadai sebagai bekal mengenal daerah ini.
Beruntung, saat itu, Tembok dipimpin seorang kepala desa yang memiliki kemampuan bercerita di atas rata-rata. Ia bernama Dewa Komang Yudi, akrab dipanggil “Pak Mekel”, salah satu kepala desa terbaik di wilayah Provinsi Bali. Kepala desa muda yang memiliki visi pembangunan desa berbasis sosial-masyarakat dengan memanfaatkan potensi-potensi yang ada di desanya. Saya sedikit tahu tentang Tembok berkat Pak Mekel.
Jaswanto mencicipi tuak manis | Foto: Kardian
Desa Tembok merupakan desa dataran rendah yang panas. Di musim kemarau, bukit-bukit kering dan gersang, hanya menyisakan batu, debu, dan bangkai ilalang. Orang-orangnya, selain mengantungkan hidup kepada lahan pertanian tadah hujan, pohon lontar, mete, dan mangga, beberapa juga melaut dan menjadi petani garam. Tembok punya bukit di selatan, dan laut di utara. Di pinggir pantainya yang tenang, berdiri beberapa vila dengan restoran ala Bali Selatan.
Pak Mekel telah melakukan banyak hal untuk Tembok. Dari tahun pertama sampai tahun ketiga pemerintahannya, ia fokus untuk membenahi infrastruktur desa yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat Tembok. Penyediaan air bersih, menjadi fokus utama programnya.
Pada tahun 2015, katanya, beberapa banjar di Desa Tembok masih kesulitan mengakses air bersih. Tahun 2016, setelah sah menjadi kepala desa, ia fokus mempermudah aksesnya. Dan sekarang, hampir 96 % masyarakat Tembok telah menikmati kerja kerasnya. Sekarang, di Tembok, “Air bersih su dekat, kaka”.
Pak Mekel membangun akses jalan raya, pelayanan sosial dasar (pendidikan dan kesehatan), juga perlindungan sosial. Pada tahun keempat, ia fokus kepada pemberdayaan SDM dan pengelolaan-pemanfaatan potensi alam desa, juga membangun kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan hidup tetap lestari, sampai sekarang.
Namun, pencapaian-pencapaian itu bukan tanpa hambatan. Menurut pengakuannya, SDM dan jaringan (relasi) menjadi hambatan atau kendala yang sering dihadapi. Masyarakat sebagai faktor utama dalam mendukung pembangunan memang harus memiliki kompetensi atau keahlian-keahlian—atau paling tidak memiliki hal mendasar berupa kesadaran.
Ketidaksadaran masyarakat akan potensi desa inilah yang menjadi kendala dalam proses pembangunan Desa Tembok. Tetapi, Pak Mekel tetap optimis bisa menjadikan Tembok jauh lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Sampai saat ia mampu mengubah lilin itu menjadi obor yang menerangi Tembok dan masyarakatnya—yang sinarnya sampai pada sudut-sudut sempit sekalipun.
Sate ikan | Foto: Jaswanto
“Untuk mencapai visi membangun budaya baru yang lebih baik di Tembok, saya menggunakan pendekatan 4M,” ujarnya kepada saya.
Apa itu? “Menggagas, menjalankan, mengevaluasi, dan melanjutkan. Merencanakan berdasarkan masalah, pendekatan ke masyarakat, kolektif, dan membuat aturan atau regulasinya. Sejauh ini pendekatan-pendekatan ini cukup efektif diterapkan,” jawabnya.
Saya mengangguk. Benar, buktinya hampir semua gagasannya bisa dijalankan dengan sangat baik. Kepala desa yang sangat mengispirasi. Saat pandemi menghajar banyak hal, ia seperti sangat siap menghadapinya.
Rasanya tak sanggup menguraikan gagasan-gagasannya dalam tulisan ini. Yang jelas, desa memang membutuhkan sosok pemimpin seperti ini. Selain kreatif, inovatif, berwawasan, terbuka, transparan, juga demokratis. Bukan kepala desa yang hanya bisa membangun infrastruktur non-produktif saja.
Sampai di sini, saya sadar bahwa orang memang perlu menerima gelora-geloranya yang kuat, dan tidak kehilangan semangatnya untuk menaklukkan. Ini bagian dari hidup, dan membawa suka cita pada mereka yang ikut berpartisipasi di dalamnya.
Sate ikan dan ayam dipanggang | Foto: Jaswanto
Henry James, dalam buku Sungai yang Mengalir tulisan Paulo Coelho, mengibaratkan pengalaman sebagai semacam jaring laba-laba raksasa yang tergantung-gantung di alam sadar kita. Jaring-jaring ini tak hanya mampu memerangkap apa yang perlu, melainkan juga setiap partikel.
Sering kali yang kita sebut “pengalaman” sesungguhnya hanyalah kekalahan-kekalahan yang pernah kita alami. Dengan demikian, kita memandang ke depan dengan perasaan takut. Orang yang telah membuat banyak kesalahan dalam hidupnya, tak punya banyak keberanian untuk mengambil langkah berikutnya.
Barangkali kita semua memang cenderung percaya pada Hukum Murphy: bahwa segala sesuatu yang kita lakukan, hasilnya pasti salah. Tapi mungkin juga tidak demikian. Pasalnya, masih banyak orang yang begitu percaya dengan apa yang dilakukan.
Pada saat-saat demikian, saya teringat ucapan Lord Salisbury, “Kalau Anda percaya dokter, maka tidak ada yang sehat; kalau Anda percaya para ahli teologi; maka tidak ada yang tidak bersalah; kalau Anda percaya para tentara, maka tidak ada yang aman.”
Sate blayag | Foto: Jaswanto
Dari rangkaian paragraf di atas, ada sosok yang “berpengalaman” tapi tak takut “mengambil langkah berikutnya”—karena saya pikir pengalamannya tak lahir dari kekalahan-kekalahan. Dan sosok ini barangkali juga tak percaya dengan Hukum Murphy. Ia, Dewa Komang Yudi, Kepala Desa Tembok yang lalu.
Di Tembok, saya mencicipi sate blayag. Sate ini lain dari yang lain. Jika umumnya sate menggunakan kecap, bumbu kacang, atau bawang merah yang dirajang, sate ini menggunakan kuah kental berwarna kuning sebagai bumbunya.
Daging ayam atau ikan dipotong kecil-kecil dan ditusuk seperti sate pada umumnya. Lalu dibalut dengan bumbu rempah khusus dan dipanggang. Kemudian diguyur kuah kental berwarna kuning dan disajikan dengan blayag, semacam lontong yang dibungkus daun kelapa muda.
Adalah Safiah, seorang perempuan paruh baya yang masih setia melestarikan, membuat, dan menjual sate blayag secara turun temurun. Dulu, sate ini dijual keliling Desa Tembok setiap siang dan sore. Tapi sekarang ia menjual di rumahnya, di samping masjid di Banjar Yeh Bau. Satu porsi dijual sepuluh hingga lima belas ribu rupiah. Bisa jadi ini adalah salah satu potensi Desa Tembok yang disebut Pak Mekel Yudi.[T]