14 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Menengok Desa Tembok

JaswantobyJaswanto
February 4, 2024
inTualang
Menengok Desa Tembok

Pekak Tilem di atas pohon lontar | Foto: Kardian

KAKEK tua itu memanjat pohon lontar yang tinggi sesantai menaiki anak tangga. Meski sudah berumur, tangannya masih kuat mencengkeram, sedang sedikit pun kakinya tak gemetar, meski gerakannya mungkin lebih lamban dari tiga puluh tahun yang lalu. Ia mengingatkan saya pada atlet panjat tebing veteran dengan prestasi gemilang di masa mudanya. Di pinggangnya terikat sebuah golok kecil dengan sarung kayu.

Tubuhnya jauh dari kata ringkih. Kulit dan ototnya tidak menggelambir. Sedang sorot matanya masih menunjukkan kilat yang mengagumkan. Kakek itu tidak kempot. Giginya tidak banyak tanggal. Sedang badanya tidak melengkung sama sekali. Tetap tegap layaknya gerilyawan di masa revolusi—melihat kumis dan topi yang dipakainya, kakek tua ini memang mirip pejuang sosialis yang revolusioner daripada pemanjat pohon lontar.

Pekak Tilem di atas pohon lontar | Foto: Kardian

Dalam hal fisik dan kerja keras, di umurnya saat itu, barangkali ia setara dengan Mao Ze Dong. Bedanya, seumuran ini, seperti kata Mahbub Djunaidi, Mao masih sanggup menggerakkan Revolusi Kebudayaan yang melindas gejala bojuis, menghardik cendekiawan snop yang menggurui, mengeremus kaum ragu-ragu yang kelihatan menempuh jalan kapitalis, dan di sela-sela itu ia masih bisa berenang-renang di Sungai Kuning lalu mengganyang habis sebaskom mi bakso tanpa berkedip.

Sedangkan kakek tua itu, meski tak pernah—dan barangkali juga tak sanggup—menggerakkan revolusi, tapi fisiknya masih sanggup memanjat pohon lontar dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Tak cukup satu-dua pohon, kakek tua itu memanjat puluhan pohon. “Setiap hari memanjat, dua kali dalam sehari, pagi dan sore,” katanya.

Untuk orang seperti saya yang tak sepenuhnya mengenal dunia perdesaan di Bali, bertemu dengan sosok seperti Made Tilem—ia biasa dipanggil Pekak—membuat hati saya gentar. Lelaki yang berumur hampir 80 tahun itu, bersama sang istri, sudah menekuni profesi ini selama tiga puluh tahun.

Pekak Tilem adalah penyadap nira pilih tanding. Ia tinggal di rumah sederhana di tengah kebun di Banjar Dinas Ngis, Desa Tembok, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali. Desa yang terletak di ujung timur Buleleng itu, memang terkenal akan hasil niranya. Di pinggir-pinggir kebun, di lereng-lereng bukit, pohon lontar tumbuh dengan subur.

Pekak Tilem memikul dua ember berisi nira | Foto: Kardian

Beberapa orang Tembok menggantungkan hidup kepada pohon yang daunya, dulu, digunakan sebagai tempat mencatat itu. “Pohon ini yang menghidupi keluarga kami,” ujar Ni Wayan Nyamin, istri Pekak Tilem, sembari memasukkan kayu ke dalam tungkunya. Api membesar. Nira di dalam wajan besar itu bergelembung, mendidih, dan meletup.

Pekak Tilem menyaring dan menuangkan seember tuak segar ke dalam ember yang lebih besar. Di saringan terdapat bunga, lebah yang tak bernyawa, dan kotoran lain yang tak jelas bentuknya. Ia meminta istrinya untuk mengambil gelas kaca. Lalu memaksa saya untuk mencicipi tuak manis hasil jerih-payahnya. Saya tak dapat menolakknya.

Umumnya, sebagaimana Pekak Tilem dan istrinya, orang Tembok mengolah nira lontar menjadi empat jenis produk: tuak manis, tuak wayah, tuak badeg, dan gula Bali. Tuak manis merupakan tuak murni (nira atau legen, begitu orang Tuban, Jawa Timur, menyebutnya).

Tuak murni ini difermentasi dengan lau—semacam starter untuk mempercepat proses fermentasi bahan pangan—berupa kulit kesambi yang dicampur dengan cuka. Selain itu, bisa juga digunakan lau kulit kayu santen, kulit mete, kulit nangka, kulit juwet atau jamblang, dan sebagainya.

Proses penyaringan nira | Foto: Kardian

Sedangkan tuak wayah merupakan tuak yang difermentasi dengan lau yang terbuat dari sabut kelapa atau sabut buah lontar. Dan tuak badeg adalah tuak yang nantinya dijadikan sebagai bahan utama dalam pembuatan arak Bali—yang terkenal itu. Tuak, arak, dan warga Tembok nyaris tak bisa dipisahkan. Arak atau tuak, seperti kopi di kafe dalam masyarakat Prancis, menjadi minuman lalu-lintas informasi, simbol kesetiakawanan sosial dipelihara dan wacana dikembangkan.

Saya berkunjung ke Tembok sekira lima tahun yang lalu, sebelum Pandemi Covid-19 menjadi trending topic warga dunia. Saya menyatroni Tembok, desa perbatasan Buleleng-Karangasem itu, persis seperti yang dikatakan sebuah sajak: “Pejalan yang melemparkan kompas dan mencabik-cabik peta!” Saya datang dengan meraba-raba, tanpa literatur yang memadai sebagai bekal mengenal daerah ini.

Beruntung, saat itu, Tembok dipimpin seorang kepala desa yang memiliki kemampuan bercerita di atas rata-rata. Ia bernama Dewa Komang Yudi, akrab dipanggil “Pak Mekel”, salah satu kepala desa terbaik di wilayah Provinsi Bali. Kepala desa muda yang memiliki visi pembangunan desa berbasis sosial-masyarakat dengan memanfaatkan potensi-potensi yang ada di desanya. Saya sedikit tahu tentang Tembok berkat Pak Mekel.

Jaswanto mencicipi tuak manis | Foto: Kardian

Desa Tembok merupakan desa dataran rendah yang panas. Di musim kemarau, bukit-bukit kering dan gersang, hanya menyisakan batu, debu, dan bangkai ilalang. Orang-orangnya, selain mengantungkan hidup kepada lahan pertanian tadah hujan, pohon lontar, mete, dan mangga, beberapa juga melaut dan menjadi petani garam. Tembok punya bukit di selatan, dan laut di utara. Di pinggir pantainya yang tenang, berdiri beberapa vila dengan restoran ala Bali Selatan.

Pak Mekel telah melakukan banyak hal untuk Tembok. Dari tahun pertama sampai tahun ketiga pemerintahannya, ia fokus untuk membenahi infrastruktur desa yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat Tembok. Penyediaan air bersih, menjadi fokus utama programnya.

Pada tahun 2015, katanya, beberapa banjar di Desa Tembok masih kesulitan mengakses air bersih. Tahun 2016, setelah sah menjadi kepala desa, ia fokus mempermudah aksesnya. Dan sekarang, hampir 96 % masyarakat Tembok telah menikmati kerja kerasnya. Sekarang, di Tembok, “Air bersih su dekat, kaka”.

Pak Mekel membangun akses jalan raya, pelayanan sosial dasar (pendidikan dan kesehatan), juga perlindungan sosial. Pada tahun keempat, ia fokus kepada pemberdayaan SDM dan pengelolaan-pemanfaatan potensi alam desa, juga membangun kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan hidup tetap lestari, sampai sekarang.

Namun, pencapaian-pencapaian itu bukan tanpa hambatan. Menurut pengakuannya, SDM dan jaringan (relasi) menjadi hambatan atau kendala yang sering dihadapi. Masyarakat sebagai faktor utama dalam mendukung pembangunan memang harus memiliki kompetensi atau keahlian-keahlian—atau paling tidak memiliki hal mendasar berupa kesadaran.

Ketidaksadaran masyarakat akan potensi desa inilah yang menjadi kendala dalam proses pembangunan Desa Tembok. Tetapi, Pak Mekel tetap optimis bisa menjadikan Tembok jauh lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Sampai saat ia mampu mengubah lilin itu menjadi obor yang menerangi Tembok dan masyarakatnya—yang sinarnya sampai pada sudut-sudut sempit sekalipun.

Sate ikan | Foto: Jaswanto

“Untuk mencapai visi membangun budaya baru yang lebih baik di Tembok, saya menggunakan pendekatan 4M,” ujarnya kepada saya.

Apa itu? “Menggagas, menjalankan, mengevaluasi, dan melanjutkan. Merencanakan berdasarkan masalah, pendekatan ke masyarakat, kolektif, dan membuat aturan atau regulasinya. Sejauh ini pendekatan-pendekatan ini cukup efektif diterapkan,” jawabnya.

Saya mengangguk. Benar, buktinya hampir semua gagasannya bisa dijalankan dengan sangat baik. Kepala desa yang sangat mengispirasi. Saat pandemi menghajar banyak hal, ia seperti sangat siap menghadapinya.

Rasanya tak sanggup menguraikan gagasan-gagasannya dalam tulisan ini. Yang jelas, desa memang membutuhkan sosok pemimpin seperti ini. Selain kreatif, inovatif, berwawasan, terbuka, transparan, juga demokratis. Bukan kepala desa yang hanya bisa membangun infrastruktur non-produktif saja.

Sampai di sini, saya sadar bahwa orang memang perlu menerima gelora-geloranya yang kuat, dan tidak kehilangan semangatnya untuk menaklukkan. Ini bagian dari hidup, dan membawa suka cita pada mereka yang ikut berpartisipasi di dalamnya.

Sate ikan dan ayam dipanggang | Foto: Jaswanto

Henry James, dalam buku Sungai yang Mengalir tulisan Paulo Coelho, mengibaratkan pengalaman sebagai semacam jaring laba-laba raksasa yang tergantung-gantung di alam sadar kita. Jaring-jaring ini tak hanya mampu memerangkap apa yang perlu, melainkan juga setiap partikel.

Sering kali yang kita sebut “pengalaman” sesungguhnya hanyalah kekalahan-kekalahan yang pernah kita alami. Dengan demikian, kita memandang ke depan dengan perasaan takut. Orang yang telah membuat banyak kesalahan dalam hidupnya, tak punya banyak keberanian untuk mengambil langkah berikutnya.

Barangkali kita semua memang cenderung percaya pada Hukum Murphy: bahwa segala sesuatu yang kita lakukan, hasilnya pasti salah. Tapi mungkin juga tidak demikian. Pasalnya, masih banyak orang yang begitu percaya dengan apa yang dilakukan.

Pada saat-saat demikian, saya teringat ucapan Lord Salisbury, “Kalau Anda percaya dokter, maka tidak ada yang sehat; kalau Anda percaya para ahli teologi; maka tidak ada yang tidak bersalah; kalau Anda percaya para tentara, maka tidak ada yang aman.”

Sate blayag | Foto: Jaswanto

Dari rangkaian paragraf di atas, ada sosok yang “berpengalaman” tapi tak takut “mengambil langkah berikutnya”—karena saya pikir pengalamannya tak lahir dari kekalahan-kekalahan. Dan sosok ini barangkali juga tak percaya dengan Hukum Murphy. Ia, Dewa Komang Yudi, Kepala Desa Tembok yang lalu.

Di Tembok, saya mencicipi sate blayag. Sate ini lain dari yang lain. Jika umumnya sate menggunakan kecap, bumbu kacang, atau bawang merah yang dirajang, sate ini menggunakan kuah kental berwarna kuning sebagai bumbunya.

Daging ayam atau ikan dipotong kecil-kecil dan ditusuk seperti sate pada umumnya. Lalu dibalut dengan bumbu rempah khusus dan dipanggang. Kemudian diguyur kuah kental berwarna kuning dan disajikan dengan blayag, semacam lontong yang dibungkus daun kelapa muda.

Adalah Safiah, seorang perempuan paruh baya yang masih setia melestarikan, membuat, dan menjual sate blayag secara turun temurun. Dulu, sate ini dijual keliling Desa Tembok setiap siang dan sore. Tapi sekarang ia menjual di rumahnya, di samping masjid di Banjar Yeh Bau. Satu porsi dijual sepuluh hingga lima belas ribu rupiah. Bisa jadi ini adalah salah satu potensi Desa Tembok yang disebut Pak Mekel Yudi.[T]

Melihat Wajah Desa Baktiseraga di Tangan Ajik Armada
Malam Perayaan dan Pergelaran Budaya di Desa Tembok: Kolaborasi Dua Agama
Mengadu Layang-layang di Langit Cerah Desa Tembok
Ada Tarian dan Tabuh dalam Pembukaan Turnamen Futsal Tembok Junior Cup 2023
Tags: arak balibali utarabulelengDesa Tembokgula baliSingarajaTejakulatuak
Previous Post

Negeri “Kedas Silapin Meong” Sampai Bangsa Yang Tak Pernah Cebokan | Catatan Liburan Akhir Tahun

Next Post

“Arunika” Karya Alit S Rini, Buku Puisi Terbaik Pilihan Tempo 2023

Jaswanto

Jaswanto

Editor/Wartawan tatkala.co

Next Post
“Arunika” Karya Alit S Rini, Buku Puisi Terbaik Pilihan Tempo 2023

“Arunika” Karya Alit S Rini, Buku Puisi Terbaik Pilihan Tempo 2023

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Menakar Kemelekan Informasi Suku Baduy

by Asep Kurnia
May 14, 2025
0
Tugas Etnis Baduy: “Ngasuh Ratu Ngayak Menak”

“Di era teknologi digital, siapa pun manusia yang lebih awal memiliki informasi maka dia akan jadi Raja dan siapa yang ...

Read more

Pendidikan di Era Kolonial, Sebuah Catatan Perenungan

by Pandu Adithama Wisnuputra
May 13, 2025
0
Mengemas Masa Silam: Tantangan Pembelajaran Sejarah bagi Generasi Muda

PENDIDIKAN adalah hak semua orang tanpa kecuali, termasuk di negeri kita. Hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak,  dijamin oleh konstitusi...

Read more

Refleksi Visual Made Sudana

by Hartanto
May 12, 2025
0
Refleksi Visual Made Sudana

JUDUL Segara Gunung karya Made Sudana ini memadukan dua elemen alam yang sangat ikonikal: lautan dan gunung. Dalam tradisi Bali,...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila 
Khas

Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila

PROJEK Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P-5) di SMA Negeri 2 Kuta Selatan (Toska)  telah memasuki fase akhir, bersamaan dengan berakhirnya...

by I Nyoman Tingkat
May 12, 2025
Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
Pameran

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

by Nyoman Budarsana
May 11, 2025
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co