SEMBARI menunggu hujan reda, Janesya tampak mondar-mandir di pelataran rumah kakeknya. Sesekali ia terlihat gelisah dan duduk nyempil bersebelahan dengan neneknya. Kadang pula ia turut mendengarkan kakeknya bercerita tentang seni karawitan di desanya kepada tamunya di sore itu.
Gadis belia dengan paras menggemaskan itu, tampak tengah bersiap untuk melakukan suatu kegiatan. Dengan kain kamen yang sudah dikenakan dan rambut yang selesai diikat oleh neneknya, meski hujan belum benar-benar reda, ia melangkah pelan keluar rumah dengan hati gembira.
Di sana, di wantilan Pura Dalem Desa Kedis, teman-temannya sudah menunggunya. Usia mereka tak jauh berbeda, masih sama-sama di usia muda. Namun, semangat seninya, tak bisa dibilang cuma-cuma.
Sore itu, sekitar dua puluhan anak perempuan, sedang melakukan latihan seni tabuh gong kebyar. Mereka tergabung dalam Sekaa Gong Kebyar Wanita Banda Sawitra, Desa Kedis, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Bali
Mereka mamainkan iringan lagu Tari Nelayan dalam proses latihannya. Raut wajah mereka tampak bahagia. Notasi, ritme, dan lagu mereka kuasai semua.
Sesekali, lelaki paruh baya dengan kacamata yang nyantol begitu saja di kepalanya itu, menggoyang-goyangkan jarinya sembari memberi petunjuk kepada anak asuhnya.
“Kami mulai latihan sejak tahun 2022,” ujar Janesya kepada tatkala.co saat ditemui di sela-sela latihannya, Rabu (30/01/24) Sore.
Janesya, bernama lengkap Putu Janesya Graniasih. Ia gadis belia. Masih duduk di bangku kelas 3 di SDN 1 Kedis. Meskipun masih anak-anak, namun keahliannya dalam seni karawitan boleh dikatakan sangat mumpuni.
Menurut penuturan kakeknya, ketertarikan Janesya kepada musik karawitan sudah terlihat sejak ia masih di bangku taman kanak-kanak. Sehingga, meskipun usianya sekarang masih delapan atau sembilan tahun, kemahiran tangannya dalam memainkan alat musik karawitan sudah tidak bisa dibilang pemula.
Sekadar informasi, Janesya merupakan cucu dari I Gede Artaya, salah satu seniman karawitan di Desa Kedis, yang masih memiliki darah keturunan dari I Ketut Merdana, seorang maestro karawitan dari Desa Kedis.
Anggota Sekaa Gong Kebyar Wanita Banda Sawitra Desa Kedis saat ini, sebagian besar adalah anak-anak. Ada yang masih SD dan ada juga yang masih SMP.
“Saya kelas tiga SD, yang itu kelas dua SD, dan yang di belakang ada yang SMP,” ujar Janesya, sembari menunjuk teman-temannya.
Janesya dan teman-temannya, meskipun baru dua tahun latihan bersama, namun mereka telah menguasai beberapa lagum, seperti tabuh Tari Nelayan, tabuh Tari Rejang Renteng, dan tabuh Tari Baris.
Menurut Janesya, memainkan alat musik karawitan tak begitu sulit. Sebab, mereka mempelajarinya secara bersama-sama. Sehingga, tak ada tekanan atau semacam perasaan tidak nyaman ketika belajar tabuh karawitan.
“Latihannya satu minggu dua kali. Rabu dan Kamis,” katanya. Sesaat setelah memberi jeda, ia menambhakan, “latihannya asik, tidak sulit, dan semua merasa happy.”
Selama proses latihan, guna merangsang kelenturan tangan, mereka pada awalnya kerap berganti-gantian alat musik. Sehingga, hampir dipastikan semua anak itu bisa memainkan alat musik karawitan apa saja.
“Awal latihan, kami sering berganti-gantian main alat musiknya. Tapi, sekarang posisinya sudah di pilih oleh kakek sesuai dengan kemampuan kami,” jelasnya.
Selain Janesya, ada juga Putu Ayu Karina Putri Aulia. Siswi kelas dua SMPN 1 Busungbiu itu mengaku bahwa mempelajari seni tabuh karawitan itu susah-susah gampang. Sebab, selain harus mengingat dengan jelas alunan lagu yang dibawakan, ia juga harus memperhatikan setiap ketukannya, agar tempo yang mereka mainkan tetap beraturan.
“Belajarnya susah-susah gampang, sih. Paling yang susah itu pas kotekan-kotekannya,” jelasnya.
Sebagai sekaa gong anak-anak, mereka memiliki antusias latihan yang cukup besar. Hal itu terbukti dari beberapa lagu yang telah mereka kuasai. Sehingga, dari keseriusan mereka berlatih, mereka dipercaya untuk tampil unjuk kebolehan beberapa waktu yang lalu.
“Kami pernah pentas satu kali, pas Galungan kemarin,” ujar Karina.
Meskipun baru pentas satu kali, namun mereka memiliki tekat yang kuat untuk tetap belajar mamainkan alat musik karawitan. Mereka memiliki cita-cita untuk bisa tampil di panggung yang besar, dan tentu saja, membawa nama baik tempat mereka berlatih.
“Pinginnya, sih, bisa tampil di PKB,” ujarnya malu-malu.
Memang, hal tersebut sangatlah bisa digapai. Mengingat, Sekaa Gong Kebyar Banda Sawitra Desa Kedis telah beberapa kali telah pentas di PKB—Pesta Kesenian Bali—untuk mewakili Kabupaten Buleleng.
Sehingga, apa yang mereka cita-citakan, jika terus berlatih dengan sungguh-sungguh, tidak menutup kemungkinan mereka bisa melakukan pertunjukan di panggung yang lebih besar. Sebab, konon, menurut cerita turun-temurun, sang maestro karawitan dari Desa Kedis, I Ketut Merdana, juga pernah beberapa kali melakukan pertunjukan sampai ke luar negeri.
Di dalam Sekaa Gong Kebyar Banda Sawitra, untuk tetap melanjutkan regenarasi, mereka terbagi menjadi beberapa kelompok. Kelompok pertama disebut sebagai kelompok A, kelompok kedua disebut dengan kelompok B, dan kemudian kelompok ketiga disebut sebagai kelompok C.
Menurut I Gede Artaya, selaku pelatih dan pengampu di Sekaa Gong Kebyar Banda Sawritra, hal itu ia lakukan agar keberadaan seni karawitan di Desa Kedis tetap ada pelaku seninya. Sebab, selain dibedakan berdasarkan usia dan kemampuan, keterputusan antar generasi penabuh di Desa Kedis rawan terjadi—karena banyak anak dari Desa Kedis yang bersekolah keluar daerah. Sehingga, hal itu sangat berguna untuk keberlangsungan seni karawitan di Desa Kedis ke depannya.
“Karena banyak anak-anak di sini yang bersekolah keluar daerah. Jadi, kalaupun mereka yang sudah dewasa dan harus keluar daerah untuk sekolah, di sini masih ada penerusnya,” jelasnya.
Janesya dan Kirana adalah salah dua contoh dari sekian banyak anak-anak Desa Kedis yang memiliki niat untuk melestarikan seni karawitan. Meskipun usia mereka masih sangat muda, namun cita-cita mereka dalam hal berkesenian sangatlah besar.
Gairah berkesenian yang diwariskan dan dijaga oleh maestro-maestro Desa Kedis, telah melahirkan dan membentuk generasi muda yang mencintai seni dan budaya. Janesya dan Kirana, dua gadis belia itu, seperti sudah siap menjaga dan melestarikan warisan leluhurnya. Tampaknya, mereka berdua sudah belajar berkesenian sejak dalam kandungan.[T]
Reporter: Yudi Setiawan
Penulis: Yudi Setiawan
Editor: Jaswanto