SECARA teoritis, kemandirian desa dipengaruhi oleh tiga aspek dasar: 1) kapasitas sosial (sumber daya yang dimiliki masyarakat); 2) kapasitas politik dan kepemimpinan (sumber daya yang dimiliki kepala desa); dan 3) kapasitas proses dan birokrasi (sumber daya yang dimiliki aparatur desa).
Ketiganya tidak saling berada dalam posisi siapa yang paling berpengaruh, tapi merupakan satu-kesatuan utuh yang saling mendukung satu sama lain. Namun, meski demikian, kunci dari kemandirian desa tetap berada di dalam kapasitas sosial. Artinya, masyarakat adalah entitas yang memiliki modal besar yang dapat mendorong desa menuju ke arah—meminjam bahasa Soekarno—berdikari.
Tetapi, sumber daya besar tersebut tidak serta-merta dapat didorong atau diubah begitu saja menjadi modal sosial. Sebab, syarat untuk menjadikan kekuatan besar itu menjadi modal sosial (baca: partisipasi, keterlibatan), masyarakat harus memiliki kepercayaan terhadap pemimpin dan aparaturnya. Di sinilah tampak kelindan hubungan antara masyarakat, pemimpin, dan aparatur menjadi jelas—manunggaling kawula gusti.
Di atas adalah buah pikiran Wahyudi Anggoro Hadi, Kepala Desa Panggungharjo yang cerdas itu, yang tentu sudah disesuaikan bahasanya di sana-sini, tentang peta jalan kemandirian desa, yang disampaikannya dalam “Kuliah Bumdes” setahun yang lalu.
Tapi ini bukan tentang sosok yang memiliki julukan “kepala desa rasa menteri” itu, ini tentang bagaimana seorang kepala desa di Bali Utara yang, bisa jadi, telah melaksanakan konsep tersebut sebelum Wahyudi mengutarakannya.
Di rumahnya yang sederhana di seberang Jalan Laksamana, tim tatkala menemuinya. Di antara tanaman pekarangan, hewan peliharaan, hidangan buah-buahan di meja, dan udara sore yang gerah, ia mulai bercerita. Awalnya pelan dan hati-hati, tapi selanjutnya menggebu, dan kata-kata tumpah, seperti sulit dibendung, dari lisannya.
Orang-orang mengenal dan akrab memanggilnya Ajik Armada. Entah sejak kapan panggilan itu disematkan di depan namanya. Yang jelas, lelaki dengan nama lengkap Gusti Putu Armada itu, dalam beberapa ukuran dan pencapaian yang telah diraihnya, dinilai sebagai sosok kepala desa yang berhasil mengantarkan Baktiseraga menjadi desa yang diperhitungkan di Buleleng, Bali—bahkan di Indonesia.
Pada dekade 90-an sampai 2000-an, ia adalah seorang akuntan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Bali dengan jenjang karier yang cemerlang. Waktu itu ia hidup dengan materi dan kenyamanan seorang pegawai negeri. Meski pada akhirnya ia merasa itu bukan dunia yang dibayangkan dan diinginkannya.
Maka untuk itulah, pada tahun 2001, meski berat dan, tentu saja, penuh penolakan dari orang di sekitarnya, Ajik Armada memutuskan melepas pangkat-jabatannya dan memilih kembali ke pangkuan tanah kelahirannya menjadi seorang pengusaha mebel dan mendirikan Asosiasi Pengrajin Industri Kecil (APIK) di Buleleng. “Menurut orang-orang, itu keputusan yang gila,” katanya sembari tertawa. Oh, maaf, mungkin itu bukan sekadar tawa, itu sebuah jawaban atas keputusan besarnya.
Benar. Ajik Armada mengaku tidak pernah menyesal telah memilih jalan dan mengambil keputusan yang, bagi beberapa orang, dianggap gila, ceroboh, dan mungkin bodoh itu. Justru ia merasa bersyukur telah mengambil langkah tersebut.
Sejak melepas baju ASN dan menjelma-rupa menjadi pengusaha kayu, ratusan sampai ribuan pohon sudah ditebangnya. Besar-kecil, selama dinilai bagus dan cocok untuk diolah, “disikat” sampai ke akar-akarnya. Ia tak tebang-pilih.
“Seiring berjalannya waktu, saya merasa itu sebuah kesalahan. Secara tidak sadar, saya telah menjadi ‘pembunuh’. Meski bagaimanapun, pohon tetaplah makhluk hidup,” ujarnya menyesal, seolah itu merupakan dosa besar yang tak terampuni.
Langit sore itu seolah ikut merasakan gemuruh dalam hatinya. Awalnya hanya rintik, tapi berikutnya tumpah seperti wahana air di pekan raya. Pohon-pohon di pekarangan riang gembira setelah dipanggang seharian. Tapi tidak dengan hewan peliharaan. Mereka segera mendusel di bawah kolong meja setelah mencoba mengeringkan bulu-bulunya yang basah.
Pada kisaran tahun 2011/2012, Ajik Armada merasa harus segera menebus “dosanya”. Ribuan sampai puluhan ribu pohon ditanamnya di hutan-hutan di Bali. Tak peduli keuntungannya apa, yang jelas itu semacam bentuk pertanggungjawaban seorang yang pernah begitu banyak “membunuh” pohon. “Saya sampai ke kantor dinas kehutaan untuk menawarkan diri—apa yang bisa saya bantu,” katanya sesaat setelah mengisap tembakau dalam-dalam.
Tapi jalan hidup manusia siapa yang tahu. Berkat penebusan dosa tersebut, katakanlah begitu, namanya justru luas dikenal di jagat aktivis lingkungan. NGO-NGO lingkungan—dalam maupun luar negeri—mulai menaruh perhatian kepadanya. Sebagaimana seorang penyair khos yang membacakan puisinya di atas panggung, Ajik Armada membuat orang-orang itu terpukau dengan laku dan pikirnya tentang bagaimana menjaga/merawat lingkungan dengan semestinya.
“Tahun 2012, di Semarang, di kongres pertama Asosiasi Wirausaha Kehutanan Masyarakat Indonesia (AWKMI), saya didaulat sebagai ketua umum,” ujarnya seperti tak percaya.
Sejak saat itu, jadilah ia tampil sebagai juru bicara hutan, pohon-pohon, dan lingkungan pada umumnya, yang notabene memang tak dapat berbahasa layaknya manusia. Di beberapa daerah di Indonesia, di Prancis, di Cina, ia menjadi bintang. Dan, dari perjalanan panjang itu, dari akuntan, pengusaha, aktivis lingkungan, pada 2015, semua itu bermuara pada satu hal yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya, sebuah entitas terkecil yang memiliki peran krusial, anggap saja begitu, dalam birokrasi negara: kepala desa.
Tangan Dingin Ajik Armada
Sebagaimana ia tuturkan kepada tim tatkala sore itu, menjadi kepala desa sebenarnya tidak pernah masuk dalam lembaran kertas biru hidupnya. Tanggungjawab itu seolah seperti takdir yang tak dapat dihindari.
Sebagai seorang yang belum pernah memiliki pengalaman secara langsung dalam sistem pemerintahan, awalnya ia merasa gamang. Tapi ia segera sadar, Baktiseraga adalah ibu kandungnya sendiri. Sejak kecil ia telah menghirup udaranya, meneguk airnya, dan, tentu saja, belajar mengenal dunia untuk pertama kalinya. Atau dengan kata lain, Baktiseraga adalah dirinya sendiri—ia memahami desanya sama baiknya dengan memahami dirinya sendiri.
“Anda tahu sendiri, sejak UU Desa mulai diberlakukan pada 2015, manajemen desa telah berubah, tidak seperti dulu. Maka saya pelajari betul undang-undang itu,” katanya dengan serius.
Pada tahun itu Ajik Armada merasa diuntungkan. Atas dasar beberapa pertimbangan, pada tahun 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya menandatangani UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Regulasi tersebut menjadi angin segar bagi pemerintah desa, khususnya desa-desa adat seperti nagari di Sumatera Barat, kampung di Papua, juga Desa Baktiseraga di Kecamatan Buleleng.
Dalam buku Desa Kuat, Indonesia Hebat! (2020) oleh Budiman Sudjatmiko dan Yando Zakaria, semangat dan kesempatan yang diusung UU Desa tersebut menjadi pengejawantahan dari amanat reformasi dan pembangunan nasional.
Reformasi baru terpenuhi apabila desa telah mampu merealisasikan pengakuan atas asal-usul dan keunikannya. Pengakuan tersebut harus diberikan di hadapan negara dalam konteks sosial-budaya nasional yang memang beragam.
Melalui pasal-pasalnya, UU Desa memberikan kekuasaan dan kesempatan yang lebih besar bagi desa (dinas/adat) untuk mengatur diri mereka sendiri. Kesempatan ini memampukan desa untuk tetap berdiri pada identitas kultural yang sejati dan tidak tergerus oleh penyeragaman dalam sistem pemerintahan—dengan kata lain, desa dipersilakan untuk berdaulat menentukan nasibnya sendiri.
Pada kepemimpinan sebelumnya, sebagaimana dituturkan Ajik Armada, konflik antarkepentingan di Baktiseraga cukup tinggi. Bahkan, pemilihan kepala dusun saja selalu diributkan. Ini membuatnya sedih, katanya. Tak hanya soal konflik, sampah dan banjir (persoalan klasik lingkungan) adalah dua hal yang dekat dengan desa yang lahir pada 1968 itu.
“Saya orang Baktiseraga; saya tahu gap yang terjadi; saya tahu situasinya; saya tahu pemetaannya. Makanya saya pastikan dulu batas wilayahnya, populasinya, baru saya start melihat kekuatan, kelemahan, dan sebagainya,” ujarnya sesaat sebelum meneguk air jahe-madunya.
Baktiseraga tergolong sebagai desa urban dengan masyarakat yang heterogen. Orang-orangnya berpendidikan dan berpikiran terbuka. Memiliki aset yang lumayan. Baktiseraga itu desa rasa kota. Meski demikian, alih-alih menganggapnya sebagai keberuntungan, Ajik Armada jusrtu melihatnya sebagai sebuah tantangan.
Merasa mendapat tantangan, ia mengajak timnya untuk belajar ke desa lain. Mereka menyeberangi Selat Bali, menaiki kereta ekonomi, meluncur menuju sebuah desa di Malang, Jawa Timur, untuk mengetahui bagaimana cara menanggulangi banjir. “Banyak ruang belajar yang kami datangi,” ujarnya.
Pada 2018, Baktiseraga mulai berbenah. Dari menelusuri dan mempelajari apa yang menjadi penyebab banjir yang nyaris selalu menghantui masyarakatnya ketika datang musim hujan, sampai mendatangi pihak PUPR. Gayung bersambut, pemerintah daerah membantu Baktiseraga terlepas dari bayang-bayang luapan air yang tak diinginkan itu.
Masalah banjir dapat diredam, masalah sampah menyusul kemudian. Sebagai kepala desa, ia tak mau berpangku tangan. Masalah ini harus segera dipikirkan dan diselesaikan, meski banyak kepala desa di luar sana yang enggan, tak mau ambil pusing memikirkan. Menurut Ajik Armada, persoalan ini membutuhkan manajemen strategi yang jelas.
“Saya mengambil peran itu. Perkara penduduk masih resistance, diajak milah menolak, suatu saat masyarakat sudah memilah tapi tim saya mencampurnya kembali, itu hal wajar dalam sebuah proses. Tapi dengan konsistensi yang kami lakukan, hasilnya tidak begitu mengecewakan,” terangnya. Laut, penyu, terumbu karang, tak luput dari perhatiannya. Bersama masyarakat, Ajik Armada bergerak semampu dan sebisa-bisanya.
Seolah terulang kembali momen saat namanya mulai dikenal luas di jagat aktivis lingkungan, apa yang dilakukannya bersama segenap masyarakat Baktiseraga, pelan-pelan mulai dilirik berbagai pihak. Baktisegara melesat, menjadi pusat perhatian.
Meski ia mengaku tak pernah membaca Peraturan Gubernur Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber, tapi apa yang dilakukannya bersama masyarakat, persis seperti pesan yang diamanatkan oleh regulasi tersebut.
“Pada tahun 2021, atas apa yang kami lakukan, TPS3R (Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle) kami mendapat anugerah Bhakti Pertiwi Bali Nugraha dari Gubernur Bali,” ujarnya. Dari 636 desa dan kelurahan di Bali, hanya empat desa yang meraihnya, salah satunya Baktiseraga.
“Waktu itu Pak Gubernur sampai tidak percaya kalau salah satu desa yang mendapat penghargaan dari Buleleng—yang katanya orang-orangnya hanya demen meboya,” sambungnya sembari tertawa. Sejak saat itu, apresiasi seperti tak bosan mendatangi Baktiseraga—desa yang dulunya hanya menggigil diterpa banjir dan sampah yang seperti tak ada habisnya.
Pada 2023, Baktiseraga menjadi satu-satunya desa di Bali yang meraih penghargaan tingkat nasional Trophy ProKlim Utama bidang lingkungan hidup oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. Dan masih banyak apresiasi lain yang diraih desa tempat tembakau virginia tumbuh sumbur itu, dulu.
Lain dulu lain sekarang. Dulu Baktiseraga kebanjiran air, kini desa itu kebanjiran kunjungan. Bahkan, kunjungan itu sampai datang dari negeri yang jauh, Ōsaki, Jepang. Seolah tak hanya mau dikunjungi, bersama staf TPS3R Komang Ariawan, Ajik Armada melakukan kunjungan balik, studi, ke Kota Ōsaki.
“Di Ōsaki, residunya hanya enam persen dari total sampah. Selebihnya diolah dan dimanfaatkan kembali,” terangnya.
Reformasi Birokrasi
Kunci penting dari semua itu ada pada manajemen yang diterapkan dan dijalankan. Segala ide-gagasan-program tak akan berjalan sebagaimana mestinya jika manajemen strateginya tidak dipikirkan dan dilakukan secara sungguh-sungguh. Perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pengawasan, sampai evaluasi, menjadi semacam tongkat pegangan Ajik Armada.
Ia seolah tahu betul, bahwa untuk menuju dan menjadi desa mandiri, kapasitas sosial (sumber daya yang dimiliki masyarakat); kapasitas politik dan kepemimpinan (sumber daya yang dimiliki kepala desa); dan kapasitas proses dan birokrasi (sumber daya yang dimiliki aparatur desa) harus seiring sejalan. “Kalau semua unsur di desa sudah harmoni, saya yakin program kerja akan lebih mudah dijalankan,” katanya.
Maka dari itu, sebelum memikirkan dan menjalankan banyak hal di luar kantor desa, ia mencoba memulainya dari dalam, internal, terlebih dahulu. Ia mencoba melakukan semacam reformasi birokrasi. Menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik, berintegrasi, berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur desa.
“Awalnya saya sering mentransfer pengetahuan kepada mereka. Mendorong mereka untuk paham teknologi. Saya menempatkan perangkat di tempatnya masing-masing. Mereka bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing,” terangnya menggebu-gebu.
Semua perangkat desa, dari atas sampai bawah, terlibat dalam pembangunan Baktiseraga. “Jika kita ikhlas melakukan sesuatu, alam akan hadir membantu.” Sebuah kebijaksanaan yang tak mungkin lahir dari orang yang tak punya pengetahuan luas.
Pada tahun 2022, atas pelayan setulus hati yang dilakukan, Baktiseraga termasuk ke dalam TOP 45 Inovasi Pelayanan Publik se-Indonesia yang dinilai oleh Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) Republik Indonesia.
Sebagai seorang yang memiliki kapasitas politik dan kepemimpinan, Ajik Armada nyaris menguasai lima aspek dasar seorang kepala desa—sebagaimana yang dirumuskan oleh Wahyudi Anggoro Hadi—yakni kapasitas regulatif, ekstraksi, distribusi, responsif, dan kapasitas jaringan. Kelima kapasitas dasar itu bersemayam dalam jiwa dan raganya.
Sampai sejauh ini, Baktiseraga hanya mendapat dana dari pemerintah pusat sekitar 1,2 miliar. Tapi, dengan pengelolaan anggaran yang benar dan sesuai kebutuhan, kebutuhan dasar seperti infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial tetap bisa dimaksimalkan.
“Kalau kurang, ya kami cari jalan lainnya,” sembari tertawa, Ajik Armada mengatakannya dengan ringan saja. “BUMDes kami, misalnya, hari ini menyumbang 60 juta per tahun ke desa, dan asetnya sudah 2 miliar,” sambungnya.
Apa yang dilakukan Baktiseraga hari ini, kurang lebih, sudah sesuai dengan amanat Permendes No 7 Tahun 2023. Peraturan tersebut mengamanatkan prioritas penggunaan Dana Desa mencakup pembangunan desa, yang fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Selain melakukan reformasi birokrasi, Ajik Armada juga percaya bahwa sistem atau regulasi, terlepas dari pro-kontranya, masih menjadi salah satu senjata ampuh dalam menentukan arah pembangunan.
Keyakinan itu mengingatkan kita kepada isi pidato kebudayaan Dirjen Kebudayaan Kemendikbud RI, Hilmar Farid, yang disampaikannya dalam Kongres Kebudayaan Desa tahun 2020, yaitu “menata ulang sistem yang berpihak, yang bisa menegakkan kedaulatan di atas sistem itu sendiri sehingga mengembalikan kemampuan kita mengelola sumber daya yang ada.”
Ajik Armada juga percaya, jika desa dikelola dengan benar, Indonesia akan menjadi negara yang luar biasa. Sebab desa memiliki kekuatan yang tak main-main. Ia seolah memahami betul apa yang pernah diucapkan Bung Hatta, “Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakarta. Tapi akan bercahaya karena lilin-lilin di desa.”
Hujan mengguyur Baktiseraga. Air tumpah begitu dahsyat. Setapak di pekarangan menjelma parit kecil yang terus mengalir. Malam mendaulat Singaraja. Hewan-hewan tak lagi sudi keluar dari tempat persembunyian. Sedang kata-kata, argumen, kritik, nasihat, masih saja deras mengalir dari bibir Ajik Armada. Dilihat dari keseriusannya, ia seperti ingin mengatakan kepada semua orang, “Jangan tinggalkan desa!”[T]
Baca juga artikel terkait LIPUTAN KHUSUS atau tulisan menarik lainnya JASWANTO
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole