“Nasib adalah kesunyian masing-masing.” — Chairil Anwar
Jalan Sunyi Mengenali Diri
Kutipan kata-kata Chairil Anwar di atas mungkin bisa dihayati sebagai pernyataan filosofis, yang hendak bicara bahwa hidup kita sebenarnya hanyalah sebentuk kesunyian. Tetapi tidak semua orang sampai pada makna kesunyian sebagaimana yang dihayati penyair legendaris itu, kecuali mereka mau memasuki pintunya dan menghayati sedalam-dalamnya.
Pada dasarnya nasib secara eksistensial adalah kesunyian, di dalamnya kita menemukan siapa “aku” dan apa makna kehadiran “aku” yang kemudian akan terus menerus “menjadi” sesuatu. Tapi dalam hidup kita seringkali tidak dapat sampai pada kondisi eksistensial tersebut, sebab menurut Martin Heidegger kita telanjur larut dalam “keseharian” sehingga kehilangan kepekaan pada “yang transenden”.
Kita bisa tiba pada kondisi penghayatan eksistensial hanya jika kita berhadap-hadapan dengan bahaya, misalnya, berhadapan dengan maut. Saya teringat cerita almarhum Abdul Hadi WM ketika berbicara tentang inspirasi puisinya yang sangat terkenal; Tuhan Kita Begitu Dekat, beliau mengatakan bahwa sejak kecil telah menyaksikan kematian sanak saudaranya, sehingga timbullah suatu penghayatan di “ruang sunyi” batinnya, suatu penghayatan eksistensial sekaligus relijius dan lahirlah puisi tersebut.
Chairil Anwar memang lekat dengan pemikiran eksistensial, yang kemudian oleh Arif Budiman dalam bukunya Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan mencoba dilacak dan ditafsirkan secara sangat dekat pemikiran Chairil tentang eksistensinya sebagai ‘manusia sunyi’ sekaligus ‘manusia penyair’. Buku tersebut agaknya menjadi buku pertama yang membicarakan sosok Chairil dalam hubungannya dengan pemikiran para filsuf eksistensialis, dan saya kira kutipan Chairil yang saya comot di atas adalah salah satu cetusan yang memang jelas bernada eksistensialis.
Chairil telah menempuh jalan sunyi itu untuk mengenal dirinya sebagai seniman, sebagai penyair, sebagai individualis, sebagai modernis, sebagai manusia, sebagai “aku” yang terus menerus memaknai kehadirannya di dunia. Sikap eksistensialis Chairil nampak pula pada kedewasaannya, kemanusiaannya, juga intelektualitasnya dalam berkesenian dan bersastra. Puisi Derai-Derai Cemara, misalnya, adalah satu bukti bahwa ia benar-benar merasa eksistensinya akan segera berakhir, dan Chairil menerimanya dengan sikap yang sangat bijak.
Di Jalan Sunyi, Sendiri: Kutemukan Alarm dan Ayat Sunyi
Siapa yang mengenal diri, mengenal kesunyiannya. Saya kira pernyataan itu sungguh tepat, tentu bagi manusia yang telah sampai pada hakikat dan sudah bisa makrifat. Saya menggunakannya bukan dalam terminologi kajian tasawuf atau sufisme, tetapi sebagai pernyataan yang sungguh harfiah. Saya jadi teringat sebuah puisi yang sangat dalam dan menggugah karya Mbah Nun (Emha Ainun Nadjib) yang berjudul Jalan Sunyi.
Jalan Sunyi
Emha Ainun Nadjib
Akhirnya kutempuh jalan yang sunyi
Mendengarkan lagu bisu sendiri di lubuk hati
Puisi yang kusembunyikan dari kata-kata
Cinta yang tak kan kutemukan bentuknya
Apabila kau dengar tangis di saat lengang
Kalau bulan senyap dan langit meremang
Sesekali temuilah detak-detik pelaminan ruh sepi hidupku
Agar terjadi saat saling mengusap peluh dendam rindu
Kuanyam dari dan malam dalam nyanyian
Kerajut waktu dengan darah berlarut-larut
Tak habis menimpukku batu demi batu kepalsuan
Demi mengongkosi penantian ke Larut
Saya tidak punya referensi teoritik apa pun tentang sunyi, tetapi saya sebagai penikmat puisi dan penulis puisi, banyak sekali menemukan puisi yang dengan baik mengungkapkan sunyi yang pas dengan apa yang saya hayati, dan mungkin jauh lebih tepat dari pengertian paling teoritik sekalipun yang coba mendefiniskan tentang sunyi. Seperti puisi Mbah Nun yang saya kutipkan di atas, kira-kira seperti itulah sunyi yang menggugah saya untuk terus merenung dan menghayati eksistensi, sehingga dari ruang seperti itulah puisi-puisi saya menyebul keluar, lahir dan tumbuh menjadi buku Alarm Sunyi (2017) dan Ayat Sunyi (2018).
Saya masih menyukai dan tetap setia pada “sunyi” sebagai sumber ide penciptaan puisi. Dalam puisi-puisi yang saya tulis hampir didominasi tema perkara (ke)sunyi(an), dengan menggali berbagai makna sunyi, saya berusaha menggali-gali diri terdalam untuk menemukan bentuk-bentuk puisi. Melalui “menempuh jalan sunyi” itu, saya seperti dibangunkan dari tidur panjang kehidupan “keseharian” yang menghanyutkan, saya seperti “mendengar alarm sunyi” berbunyi dan membimbing langkah saya menyusuri jalan-jalan di kota puisi, dan saya diajaknya membunyikan “lonceng” untuk membangkitkan seluruh kepekaan puitis. Di dalam keadaan sunyi seperti itulah saya seakan-akan menerima pencerahan semacam “wahyu”, kemudian saya menangkap “ayat-ayat sunyi” yang turun dari langit keheningan, seperti mendapat ilham saya pun mencatatnya dan mengumpulkannya menjadi “kitab puisi”.
Saya memaknai sunyi sebagai inti, di mana kita berasal dan kembali. Sunyi juga adalah mula adanya “jagat” kata kemudian tersusun jadi puisi, dan kepada sunyi pula puisi pulang dan dihayati. Dalam sunyi, saya merasa segalanya terbuka: jalan, pesan, dan tujuan. Saya ‘berasyik-masyuk’ dengan sunyi ketika berniat hendak menangkap dan menulis puisi, juga ketika hendak tenggelam dalam “transendensi” dan kemudian ber“tranformasi” dalam menyongsong nasib.
Makna sunyi menjadi lebih mewah bagi saya yang seorang perempuan, sebab dengan perangkat “perasaan” saya dapat masuk ke “lubuk sunyi”, tetapi selalu timbul kesulitan ketika hendak menafsirkan ide-ide ke dalam kata-kata, maka dari itulah saya selalu berlatih. Untuk bisa mengalami dan merasakan esensi sunyi, saya membutuhkan suasana ketenangan pikiran. Tentu ini tidak mudah, misalnya, bagaimana kita bisa menjadi sunyi ketika di sekitar kita ramai oleh hiruk pikuk? Saya kira kita mesti berlatih menembus waktu, mendobrak dinding-dinding yang menghalangi kita memandang hakikat realitas, menemukan “yang nyata” dari beraneka “bayang-bayang” yang terhampar. Di situlah niat yang kuat diperlukan untuk membangun keintiman dengan sunyi, misalnya, menjaga jarak, menunggu dan tetap menjadi pengamat yang sabar dan tekun sebelum memutuskan untuk menafsir dunia keseharian ke dalam puisi. Merenung sangat diperlukan dalam situasi seperti ini, memikir-mikir dengan kepekaan yang lembut dan mendalam.
Memadamkan Api dan Menyalakan Api di Jalan Sunyi
Saya pribadi merasa sunyi sebagai hal yang mutlak diperlukan setiap orang, terlebih bagi diri saya yang dengan sengaja menyesatkan diri di jalan yang benar-benar sepi ini. Dalam lingkungan keseharian tampak banyak yang memuja keriuhan – keramaian, untuk tidak menyebutnya bising, memang terasa mustahil kita bisa mengalami kesendirian dan kesunyian sebagaimana yang dialami Emily Dickinson, yang menulis puisi-puisi yang kemudian “hanya” dikirim ke laci mejanya sendiri.
Kita juga mungkin sangat sulit mengalami kesunyian yang dialami Yasunari Kawabata, yang dengannya dia bisa menulis cerpen-cerpen dan novel-novel, yang antara lain bisa membawa pembaca memasuki ruang kosong yang begitu penuh, “suatu alam semesta rohani tempat segala sesuatu saling berhubungan satu sama lain, melintasi ikatan, tanpa batas”.
Namun, tanpa sunyi, kita tak punya ruang-waktu untuk bercermin, kita tak punya ruang-waktu untuk mengenali diri, kita kehilangan ruang-waktu untuk mendengarkan dan merasakan aliran napas sendiri. Walhasil, hari ke hari kita semakin jauh dari diri kita sendiri, semakin asing dengannya. Jika dengan diri sendiri saja demikian, pastilah lebih lagi dengan orang lain. Maka sesulit bagaimana pun membangun (ke)sunyi(an) tampaknya memang tak bisa kita elakkan.
Dengan mengingat itu, setidaknya untuk saya, Ayat Sunyi (2018); kumpulan puisi yang saya tulis untuk menyuarakan hati dan perasaan sunyi, baik dalam kondisi yang sebenar-benarnya sunyi maupun dalam kondisi keramaian saya merasa sunyi, sebagai usaha untuk saya dan kita bersama-sama mengupayakan terbentangnya jalan menuju (ke)sunyi(an) itu. Tetapi sebelum saya menerima “ayat-ayat sunyi” itu, tentu saya telah melakukan semacam “tirakat” untuk bisa mengendalikan “panas sunyi”, yaitu dengan Tirakat Padam Api (2011) yang kemudian membuat saya mampu menyalakan “api sunyi” itu kembali; Api Sunyi (2020)
Latihan atau tirakat itu tentu tidak mudah, apalagi ketika itu saya sebagai seorang pemula yang tengah mencoba “melahirkan puisi” yang betul-betul puisi; buku puisi pertama saya. Saya harus “berpuasa” dari keriuhan keseharian dan benar-benar menempuh “jalan sunyi” sebagai seorang “salik” penulis puisi yang tengah mencoba menuju ke “jalan sunyi” yang sejati, jalan yang telah ditempuh mahaguru Umbu Landu Paranggi, Abdul Hadi WM, dan penyair besar lainnya.
Tetapi “tirakat” itu akhirnya tidak sia-sia. Alhamdulillah, saya berhasil menempuh “tarikat sunyi” di jalan sunyi puisi hingga sekarang. Saya percaya bahwa usaha akan membuahkan hasil jika disertai kesungguhan dan niat yang tulus, serta tekad yang kuat. Saya telah menempuhnya bertahun-tahun, di jalan sunyi bernama puisi, saya yang dengan setia menganut “tarikat sunyi”, saya bertirakat agar supaya bisa memadamkan dan menyalakan “api puisi” untuk kemudian merawat(nya sebagai) kesunyian kehidupan ini.
Sekilas Pandangan Kawan tentang Saya dan Sunyi
Seorang scientist itu ternyata kalau bicara atau menyampaikan gagasan serta argumen memang selalu menggunakan teori, data, serta metode analisis yang valid. Mereka tidak mau asal-asalan bicara tanpa dasar yang jelas. Begitu juga ketika Bang Riri Satria mencoba memaknai sunyi yang saya anut dalam karya puisi bahkan hampir dalam seluruh proses perjalanan kepenyairan saya.
Bang Riri menjelaskan dengan mengajukan pertanyaan kritis yang merupakan ciri khas para scientist. Bagaimana kita memaknai sunyi dalam puisi Emi Suy? Apakah Emi merupakan tipikal manusia yang sunyi alias kesepian dalam hidupnya? Kalau melihat kesehariannya, tentu kita harus tepis jauh-jauh pemikiran itu. Emi adalah sosok yang sangat bersosialisasi dan jauh dari kesan soliter atau menyendiri. Jadi, apa makna sunyi dalam hal ini?
Bang Riri menjelaskan, bahwa diksi sunyi yang menjadi ciri khas Emi sering disalahpahami menjadi loneliness, padahal bukan! Sunyi versi Emi dalam puisi-puisinya adalah silence yang bermakna kejernihan menangkap suara-suara tak terdengar (hidden and unspoken words) melalui “mensunyikan diri”. Sunyinya Emi Suy adalah silence seperti yang dibahas oleh Justin Zorn dan Leigh Marz dalam buku mereka yang berjudul Golden: The Power of Silence in a World of Noise (2022), di mana sunyi atau silence bermakna how to go beyond the ordinary rules and tools of mindfulness, sebagai jalan mendapatkan spiritual enlightenment dengan tujuan uplifting all of humanity.
Lebih lanjut Bang Riri menjelaskan, bahwa melalui sunyi, Emi ingin mengajak kita menuliskan suatu keabadian serta menyatukan dirinya dengan semesta, supaya bisa melakukan eksplorasi batin, berdialog dengan diri sendiri, menangkap suara-suara alam yang penuh wisdom untuk kehidupan ini, sejalan dengan makna silence versi Justin Zorn dan Leigh Marz itu.
Saya menyimak penjelasan Bang Riri tentang hal ini. Saya sama sekali tidak menduga bahwa Bang Riri sampai melakukan studi pustaka mengenai makna sunyi, bahkan sampai membeli buku Justin Zorn dan Leigh Marz yang berjudul Golden: The Power of Silence in a World of Noise (2022), di samping berbagai sumber literatur lainnya tentang sunyi secara online.
Satu hal yang membuat saya terkesima adalah, Bang Riri melakukan riset terhadap diri saya, yang dia sebut menggunakan metode etnografi atau pengamatan melekat, serta wawancara mendalam atau depth interview. Semuanya dibandingkan dengan teori atau konsep yang ada, maka lahirlah kesimpulan seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Mengakhir penjelasannya, Bang Riri memberikan buku Justin Zorn dan Leigh Marz yang berjudul Golden: The Power of Silence in a World of Noise itu kepada saya, untuk saya simpan sekaligus sebagai rujukan utama saya tentang memakna sunyi secara teoritis.
Sungguh, saya tidak pernah membaca literatur apa pun tentang sunyi, saya berproses menulis puisi dengan sunyi yang saya yakini sendiri, dan saya tidak pernah tahu ada teori tentang hal ini. Bang Riri selaku scientist atau pengamat, mencoba memotret diri saya dalam kerangka teori sunyi ini. Bahkan, Bang Riri mengatakan; “Sunyi adalah ideologi buat seorang Emi Suy”. Sekali lagi terima kasih kepada Bang Riri, yang sudah membantu saya memaknai sunyi lebih baik dan memotret seperti apa sunyi dalam diri saya secara konseptual.
Kepada Ibu Sunyi Kembali
Menulis puisi sunyi di tempat sunyi dalam situasi dan kondisi sunyi adalah hal terindah dan termewah yang pernah saya lakukan. Selain mengobati diri saya sendiri, setidaknya puisi kelak menjadi “jejak”, raga boleh tiada, usia boleh usai, namun puisi tak pernah mati. Dalam arti, antara penyair dan puisi – puisilah yang (mesti bakal) abadi.
Terkadang kita butuh pengingat ketika kita terlalu penat, bahkan kita butuh berdiam dan bersunyi – mengingat dan menumpahkan rasa tersembunyi (rahsia/rahasia). Menangis jika memang harus menangis – mungkin hati pernah teriris, setelah itu hidup mesti berlanjut, mesti “menjadi”. Mari mengisinya dengan doa, betapa perlu kita merenung agar harapan terbaik bergaung untuk sekedar mempergingati diri atas apa yang terjadi dan lekas memperbaiki.
Bersunyi – kontemplasi, menjadi pengingat kepada Allah – untuk kita, untuk air mata yang telah tumpah, untuk berterima kasih, untuk bersyukur, untuk berbagi, untuk kasih, untuk orang yang mencintai, untuk buah hati, untuk sayang, untuk cinta, untuk doa, untuk ibu, untuk hal-hal kecil yang terlupakan, untuk merasakan penderitaan orang lain, untuk menciptakan kepekaan, untuk mengabadikan jejak sebab usia itu fana, untuk menjadi “manusia sejati”.
Untuk kupersembahkan pada orang-orang tercinta, untuk kita semua; semoga membawa berkah untuk sesama, untuk hatiku, jiwaku, dan tubuhku; yang pernah didera luka saat belasan tahun mengandung. Jalan itu berkelok, curam, terjal, berlumpur, bergurun pasir, bersungai, berliku, bergunung dan berhutan. Sesungguhnya di dalam hati ada tebing, ada gunung pun ada jurang. Ada kesunyian kita yang luas dan dalam.
Dengan menulis buku kita dapat menegakkan monumen momen, dan dengan foto kita bisa mengabadikan peristiwa – yang mana keduanya dapat kita wariskan pada anak cucu kelak. Menulis buku merupakan upaya mengabadikan diri, tentang apa yang kita pikirkan, apa yang kita temukan, apa yang kita analisis, dan apa yang kita rasakan diabadikan dalam bentuk buku. Dengan menulis kita mengabadikan gagasan “menjadi” salah satu upaya mencatat ide-ide yang terlintas di otak dan kalbu. Setidaknya, dengan cara menulis buku memori yang tertuang tidak mudah menguap dalam lupa apalagi insomnia.
“Kata-kata bisa hilang, tapi tidak dengan tulisan. Maka, menulislah untuk keabadian.” Saya sangat yakin dengan hal ini.
Percakapan api yang mengendap di hati saya: adalah tentang warna ingatan pada selembar kertas yang belum kutulis sebagai puisi. Sebab api adalah puisi yang tak pernah selesai – dan menjelma makna yang tak habis dibicarakan dalam kinerja “api sunyi”.
Dan di antara persetubuhan api dan sunyi – saya mencari bunyi dari rimbun bahasa. Sementara sepi yang terus berkobar membakar diri, hangatnya akan utuh sepanjang ingatan mencapai puncak ekstase sebuah momen-momen puitik yang telah pergi.
Mungkin hanya dengan hati yang penuh. Biarlah aku setia pada sunyi untuk menanti bunyi dari puisi. Kalian tahu, “api sunyi” itu bercahaya, tak lekas dipadamkan usia. Sebab api, nyala kata dan sunyi; sebuah ruang di mana kata-kata dan diri saling berdiskusi dalam imajinasi untuk menemukan sebuah diksi segar dalam puisi.
Sekali lagi, sunyi itu misteri penuh kejutan. Ia tahu bagaimana cara bekerja dengan diri saya sendiri dan menghasilkan sebuah kekuatan dalam satu momen yang telah pergi. Maka, jadilah api menjadi nyala sunyi. Api itu memberi terang di gelap gulita. Sejak lalu api-lah yang menuntun langkah hati saya untuk terus menemui kekuatan-kekuatan perasaan agar tetap setia menulis puisi.
Maka, lebih terangnya – yang dimaksud “api sunyi” adalah puncak kemarahan dan letaknya pada eksistensi diam: karena diam adalah sebaik-baiknya yang kita lakukan saat hati sedang resah dan gelisah. Pun diam pula adalah ruang kesunyian di mana saya akan meredakan segala nyala api (yang timbul dari berbagai problem kehidupan) ke dalam baris-baris puisi.
Karena memang saya bukanlah seorang aktivis yang mencintai jalan raya sebagai ruang untuk menguapkan aspirasi-aspirasi kemarahannya, entah dengan cara orasi yang akan berujung pada tindakan adu fisik dengan aparat keamanan akibat satu persoalan kebijakan pemerintah, misalnya.
Dari contoh kejadian itu semua, saya berkesimpulan untuk memilih jalan sunyi sebagai daya ungkap untuk memadamkan segala gejolak rasa marah, resah dan cinta dalam suatu karya sastra – karena memang pada dasarnya saya mencintai puisi. Tetapi saya percaya, bahwa akhirnya kepada ibulah sunyi itu kembali pulang. Itulah sebabnya saya menulis kumpulan puisi kelima; Ibu Menanak Nasi hingga Matang Usia Kami (2022). Dari “rahim kesunyian” seorang ibu saya lahir ke dunia menjadi sebentuk “kesunyian”, kepada ibulah kelak “kesunyian” ini pulang; ke “rahim ibu pertiwi” ke rahim tanah ke rahim bumi, hingga tiba ke Maha Rahim: Allah swt.
Maka, jadilah buku-buku saya yang bersumber dari sunyi, lahirlah dari “rahim sunyi” itu: Tirakat Padam Api, Alarm Sunyi, Ayat Sunyi dan Api Sunyi hingga kembali ke “rahim sunyi”: Ibu Menanak Nasi hingga Matang Usia Kami. Terima kasih. [T]
- BACA artikel lain dari penulisEMI SUY