BEBERAPA dekade terakhir, Indonesia mengalami fenomena yang menarik, yaitu gelombang budaya Korea atau yang sering disebut sebagai “Hallyu Wave”. Gelombang ini tidak hanya melanda industri hiburan, seperti musik dan film, tetapi juga mempengaruhi gaya hidup, fashion, bahkan makanan. Dari K-Pop hingga drama Korea, fenomena ini telah mengubah lanskap budaya populer di Indonesia.
Hallyu Wave pertama kali muncul di awal tahun 2000-an, dimulai dengan popularitas drama Korea seperti “Winter Sonata” dan “Full House” yang tayang di televisi Indonesia. Keunikan cerita, kualitas produksi, dan daya tarik para aktor dan aktris Korea berhasil memikat hati penonton Indonesia.
Seiring waktu, K-Pop atau musik pop Korea menjelma menjadi bagian penting dari Hallyu yang digemari mulai dari grup seperti Super Junior, Big Bang, hingga grup yang kini digandrungi oleh Generasi Z, yaitu BlackPink, NCT, dan NewJeans.
Lebih dari sekadar hiburan, gelombang budaya Korea telah membentuk tren baru dalam fashion dan gaya hidup. Pakaian bergaya Korea dengan ciri khasnya yang minimalis dan elegan menjadi tren di kalangan anak muda. Tak ketinggalan, K-Beauty atau tren kosmetik Korea dengan inovasi skincare-nya yang diklaim membuat kulit glowing menjadi “primadona” baru dalam dunia kecantikan.
Tidak berhenti sampai di situ, fenomena penyebaran budaya Korea di Indonesia tidak hanya terbatas pada musik, serial televisi, dan dunia kecantikan, tetapi juga telah merambah ke dunia kuliner. Istilah populernya adalah K-Food, yaitu tren makanan Korea yang kini menjadi bagian dari gelombang budaya yang mewarnai kuliner di Indonesia. Menu-menu seperti bibimbap, ramyeon, odeng, tteokbokki, dan kimchi, tidak hanya menarik bagi penggemar kuliner, tetapi juga mereka yang terpikat oleh budaya Korea secara keseluruhan.
Menariknya, tren K-Food dan K-Beauty sering kali berkembang beriringan dengan popularitas drama Korea atau Drakor. Tak jarang, penggemar Drakor mencari pengalaman kuliner, dan mencari tahu produk kecantikan yang digunakan dari serial drama favorit mereka. Hal ini menciptakan sinergi unik antara berbagai cabang bisnis seperti industri kecantikan, kuliner, dan hiburan yang memperkaya pengalaman konsumsi budaya Korea di Indonesia.
Kacamata Teori Komunikasi
Gelombang budaya Korea, telah menjadi fenomena global yang tidak hanya menarik perhatian publik secara luas tetapi juga menjadi subjek penting dalam studi komunikasi. Melalui lensa teori komunikasi, dapat dijelaskan bagaimana Hallyu menyebar dan mempengaruhi berbagai budaya di seluruh dunia.
Dalam konteks teori komunikasi budaya populer, Hallyu dapat dilihat sebagai manifestasi dari “soft power” Korea Selatan. Soft power adalah kemampuan suatu negara untuk mempengaruhi negara lain melalui daya tarik budaya dan ideologi, bukan melalui kekuatan militer atau ekonomi.
Hallyu menyebar melalui berbagai saluran komunikasi, termasuk media sosial, platform streaming, dan komunitas penggemar, yang memungkinkan interaksi budaya lintas batas dan memperkuat identitas budaya populer Korea di mata dunia.
Data terkini menunjukkan bahwa peminat budaya populer Korea di Indonesia terus bertumbuh. Sebuah survei oleh Katadata Insight Center dan Zigi.id menemukan bahwa mayoritas penggemar di Indonesia mengakses konten Korea Selatan, seperti musik dan drama, hingga 3 jam per hari. Fenomena ini tidak hanya menunjukkan keberhasilan ekspor budaya Korea, tetapi juga mengindikasikan perubahan dalam pola konsumsi media dan hiburan di Indonesia.
Melalui kacamata teori komunikasi seperti teori budaya populer dapat dilihat bahwa Hallyu lebih dari sekadar ekspor budaya ini adalah fenomena kompleks yang melibatkan interaksi dinamis antara media, budaya, dan identitas sosial. Lebih spesifik, di era digital, komunitas maya seperti forum online dan media sosial memainkan peran penting dalam menyebarkan Hallyu.
Fenomena ini dalam studi ilmu komunikasi dapat dijelaskan melalui teori identitas sosial yang menggambarkan bagaimana individu mengidentifikasi diri mereka dengan kelompok tertentu (dalam hal ini, penggemar Hallyu) dan bagaimana identitas ini dibentuk dan diperkuat melalui interaksi.
Masifnya gelombang Korea mendatangkan fanbase atau fandom yang terbentuk karena rasa suka akan grup K-Pop atau selebriti tertentu. Penggemar yang terasosiasi dalam kelompok pun mengadopsi identitas tertentu, yang sering kali ditandai dengan nama fandom khusus, warna, dan simbol. Ini menciptakan rasa kebersamaan dan kebanggaan dalam kelompok, memperkuat ikatan antara penggemar dan meningkatkan rasa loyalitas mereka.
Media sosial telah memainkan peran penting dalam memperkuat identitas sosial dalam fanbase Korea. Platform seperti Twitter, Instagram, dan Youtube tidak hanya memungkinkan penggemar untuk mengikuti idola mereka tetapi juga berinteraksi dengan penggemar lain. Ini menciptakan ruang virtual di mana penggemar dapat berbagi pengalaman, merayakan pencapaian, dan bahkan mengorganisir kampanye atau proyek fanbase.
Dampak Kohesivitas
Kohesivitas yang terbentuk di antara fanbase Korea, khususnya dalam fenomena K-Pop, telah menunjukkan dampak yang signifikan tidak hanya dalam ranah hiburan tetapi juga dalam konteks sosial dan politik, termasuk pemilu. Fenomena ini dapat dilihat dari bagaimana fanbase K-Pop, telah mengembangkan jaringan komunitas yang kuat dan terorganisir, yang mampu memobilisasi dukungan dan aksi sosial dalam berbagai isu.
Jaringan komunikasi para penggemar Korea seperti K-Popers sangat terorganisir dan difasilitasi oleh platform khusus seperti Weverse. Platform ini memungkinkan fanbase untuk berkomunikasi dan berkoordinasi dengan lebih efektif.
Hal ini menunjukkan bagaimana teknologi digital telah memperkuat jaringan komunitas dan memungkinkan penggemar berpartisipasi secara lebih aktif dalam berbagai kegiatan, termasuk dalam konteks pemilu.
Baru-baru ini, ramai diperbincangkan di berbagai mediatentang munculnya dukungan dari Kpopers untuk salah satu paslon. Dukungan terhimpun dalam fandom Anies Bubble yang digagas oleh penggemar Kpop lintas fandom untuk pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar.
Fenomena dukungan politik dari Kpopers mencerminkan bagaimana keterlibatan aktif dari para penggemar Korea dalam berbagai isu sosial dan politik, termasuk pemilu. Fanbase K-Pop menunjukkan bahwa mereka bukan hanya sekadar penggemar, tetapi juga merupakan kelompok sosial yang aktif dan berpengaruh.[T]