MENINGKATNYA aktivitas ekonomi sebuah kawasan menyebabkan melambungnya harga lahan. Hal ini bisa menjadi alat seleksi alami karena hanya orang dengan kemampuan tertentu saja yang mampu tinggal di kawasan-kawasan seperti itu.
Untuk tetap menjaga nilainya, pihak-pihak tertentu terus berupaya menambahkan value dengan cara membuka bisnis-bisnis atau usaha baru yang akan membuat kantong investor semakin tebal. Tetapi, lama-kelamaan hal ini bisa membawa dampak signifikan bagi kehidupan sosial terutama penghuni awal kawasan yang sudah menghuni jauh sebelum bisnis-bisnis baru bermunculan.
Canggu adalah contoh bagaimana konflik bisa muncul di kawasan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang terus melambung.
Setahun lalu Canggu pernah menjadi pemberitaan di media lokal, nasional dan juga internasional. Bukan. Pemberitaannya bukan tentang keindahan pantainya ataupun ombaknya yang mengundang para peselancar, tetapi soal petisi. Ya, petisi warga yang menuntut agar gangguan yang mereka alami akibat aktivitas turisme bisa didengarkan oleh para pengambil kebijakan.
Petisi ini bisa jadi merupakan langkah yang diambil setelah berbagai cara lain dianggap tidak berhasil. Ketidakberhasilan ini bisa jadi disebabkan oleh berbagai hal: kuatnya pengaruh politik pemilik usaha, atau tingginya sumbangan ekonomi dari usaha yang mereka jalankan bagi penghasilan pajak daerah. Keduanya bisa membuat pemangku kebijakan enggan melakukan tindakan.
Canggu kini sudah menjadi salah satu kawasan wisata yang sangat padat layaknya Seminyak, Legian, Kuta, Jimbaran dan kawasan lain sepanjang pantai barat daya Pulau Bali. Keramaiannya memiliki kekhasan akibat segmentasi fasilitas hiburan untuk wisatawan yang ada di sepanjang tepian pantai tersebut.
Sepanjang garis pantai terjadi pengelompokan-pengelompokan mulai dari wisata kuliner di Jimbaran, wisata sunset di Kuta dan Legian, lalu restaurant dan klub malam sepanjang Seminyak dan Canggu, dan seterusnya. Pengelompokan ini menggambarkan segmen-segmen wisatawan yang semakin beragam.
Kini, Bali tidak hanya dikunjungi oleh penikmat eksotisme dan romantisme dunia Timur, mereka yang mengagumi keheningan Pura di dekat sumber air, menikmati alunan gamelan dan gemulai penari tradisional. Bali dijejali juga oleh mereka yang menggemari kehidupan malam hingar bingar, para pencari status sosial yang haus pengakuan dari masyarakat. Inilah turisme hari ini.
Pandemi yang melanda sepanjang tahun 2020 hingga 2021 mulai mereda. Ekonomi yang sempat mati suri kini mendapat perhatian besar. Berbagai acara dihelat, festival digagas, kemudahan-kemudahan ditawarkan. Para tamu yang naik pesawat mulai berdatangan. Beberapa bahkan disambut sangat meriah, pesawatnya disemprot air selamat datang, penumpangnya mendapat kalungan bunga. Dielu-elukan bak tamu agung yang layak disanjung.
Pariwisata memang sudah menjadi panglima. Ini tidak berlangsung dalam waktu singkat. Bisnis pelancongan ini sudah dimulai sejak jaman kolonial. Konon, tujuannya tidak murni ekonomi tetapi juga politis: untuk mengembalikan nama baik pemerintah kolonial yang hancur lebur di mata dunia pasca perang tak seimbang Puputan Badung dan Puputan Klungkung.
Sekarang mungkin lebih dari 80 persen penduduk bekerja di sektor ini. Gangguan kecil bisa merusak mata pencaharian mayoritas populasi. Jadilah pariwisata menjadi alat seleksi: tidak boleh demo nanti turis pergi, jangan melakukan ini, jangan melakukan itu, dilarang mengganggu wisatawan. Banyak lagi seleksi-seleksi aktivitas yang dilakukan atas nama pariwisata.
Berlawanan, banyak hal yang semestinya ditolak atau dihindari justru dilegitimasi atas nama bisnis yang menguntungkan tersebut. Alih fungsi lahan misalnya, menjadi hal biasa demi pembangunan fasilitas pariwisata. Kemacetan yang semakin parah dimaklumi karena itu pertanda bisnis pariwisata berjalan lancar. Inilah paradoks kita hari ini.
Wisatawan berdatangan. Mereka melakukan berbagai hal, tidak hanya wisata budaya seperti yang digembar-gemborkan. Ada yang naik ke pelinggih, ada yang telanjang di bawah pohon yang disucikan, ada yang kencing di gunung yang disucikan. Kita marah. Kita usir mereka. Tapi setelah itu? Kita hidup seperti biasa lagi. Datang lagi wisatawan. Polahnya berbagai macam lagi.
Ihwal gangguan wisatawan tidak hanya dialami Bali. Beberapa belas tahun lampau saya beruntung berkunjung ke Venice, sebuah kota kecil dengan kanal di Italia. Sembari menyiapkan pesanan, seorang penjual pizza ngedumel tentang banyaknya turis yang datang ke kotanya. Ia jadi tidak sempat bersenang-senang karena harus bekerja keras melayani turis dan membayar berbagai sewa yang semakin meningkat.
Sebagai orang lokal, awalnya ia menikmati lalu akhirnya terbebani oleh beban kerja yang semakin tidak terkendali. Banyaknya wisatwan membuatnya menjadi minoritas di kotanya. Sebagian temannya bahkan memilih pergi dari kota itu. Mereka merasa terasing di kotanya sendiri.
Lain halnya dengan London. Meningkatnya ekonomi salah satu kota tersibuk di dunia ini menyebabkan harga-harga melambung tinggi. Harga sewa tempat tinggal hanya bisa dijangkau golongan ekonomi tertentu. Harga sewa property yang tinggi menyebabkan harga-harga komoditas juga otomatis meningkat. Toko-toko kecil tidak memiliki kekuatan untuk menjalankan bisnisnya.
Konsekuensinya, kelompok menengah ke bawah tidak mampu tinggal di kota, menyingkir ke wilayah pinggiran. Mereka bisa jadi adalah golongan perawat kesehatan, polisi, pelayan toko dan golongan lain yang dibutuhkan oleh sebuah kota untuk dapat bekerja dengan baik.
Di Amsterdam beberapa turis berkelakuan yang berlawanan dengan apa yang diharapkan penduduk lokal. Sebagian pendatang sesaat tersebut suka mabuk-mabukan di jalan. Mereka memanfaatkan peraturan setempat yang tidak melarang ganja serta melegalkan prostitusi. Padahal, tujuannya adalah untuk menghargai hak-hak manusia bukan untuk mengijinkan orang untuk berbuat semaunya.
Amsterdam dan Venice kini bekerja keras untuk mengendalikan turis. Walikota Amsterdam mengatakan bahwa ia tidak menolak orang untuk berkunjung ke kotanya. Dia tidak menolak orang berlibur. Yang dia tolak adalah kelakuan amoral yang menganggu penduduk setempat.
Turis yang datang haruslah mereka yang menghormati budaya setempat bukan yang mau berlibur untuk melepaskan diri dari kehidupan teratur dan melepaskan dirinya untuk berbuat semaunya di Amsterdam.
Venice mewajibkan setiap orang yang berkunjung ke kota tepi air tersebut untuk membeli tiket secara online di depan. Sepintas, ini tampak seperti upaya komersialisasi. Tetapi, sesuai yang dinyatakan kepala kantor turisme Simone Venturini, adalah upaya untuk mengatur jumlah kunjungan. Tiket hanya dijual sesuai dengan kemampuan kota untuk menangani pengunjung. Ia berharap, ini akan membuat kunjungan lebih teratur sekaligus juga menjamin kualitas kota tetap dapat terjaga baik untuk penduduk lokal dan pengunjung.
Bagaimana dengan Canggu? Ya, Canggu kini mengarah ke symdrome Amsterdamisasi, Londonisasi dan Veniceisasi sekaligus. Dominasi beach club seolah membebaskan turis untuk berbuat semaunya, melepaskan diri dari kehidupan normalnya sehari-hari. Mereka mungkin tidak sadar bahwa di sekitarnya ada penduduk lokal yang hidup dengan keseharian.
Harga-harga tanah yang kian melambung menyeleksi penduduk kurang mampu untuk keluar dari area ini. Hanya mereka yang berpenghasilan tinggi yang bisa tinggal di sana. Dalam jangka panjang, ini tidak baik karena kota membutuhkan heterogenitas untuk dapat bekerja dengan baik. Meningkatnya kunjungan juga bisa berbanding lurus dengan rasa keterasingan yang dialami oleh penduduknya. Penduduk lokal mungkin tidak lagi merasa sebagai tuan rumah di atas wilayahnya sendiri.
Kini pemerintah berupaya mengatur Canggu. Para pihak berkumpul untuk menyelesaikan persoalan, mencari solusi terbaik yang saling menguntungkan. Kita tentu berharap agar ditemukan cara terbaik untuk keluar dari persoalan ini.
Canggu bisa menjadi masa lalu jika kita mampu keluar dari persoalan itu dan memecahkan masalah pelik yang ditumbulkan oleh pariwisata. Tetapi ia juga bisa menjadi masa depan jika kita melakukan pembiaran. Bisa saja di masa mendatang semua wilayah menjadi seperti Canggu. Kendali ada di tangan kita. [T]
BACA artikel-artikel lain dari penulisGEDE MAHA PUTRA