DI TENGAH udara sore yang gerah, lelaki dengan rambut digelung itu memasuki pekarangan rumahnya yang asri penuh tumbuhan. Motor tua yang dikendarainya tampaknya masih memiliki performa yang bagus. Itu terlihat dari suara halus yang dihasilkan.
Lelaki itu duduk di tempat yang sama di mana barung gamelan gender wayangnya diletakkan. Di mana-mana ada tanaman hias. Di pot-pot kecil berwarna putih yang digantung di ujung atap, di pot-pot lain yang dijajar samping rumah, dan ditanam begitu saja di tanah tanpa wadah.
Ia membakar tembakaunya sebelum cerita-cerita mengalir dari lisannya. “Kalau ngomongin wayang, sebenarnya aku itu orang baru di Buleleng,” katanya membuka obrolan. Melihat caranya mengisap dan mengembuskan asap, jelas ia tidak sedang main-main. Cukup lama ia mengambil jeda. Dalang lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar itu seperti sedang membuka kembali lembaran masa silam yang mungkin tak akan pernah ia lupakan.
Seni pertunjukan wayang di Bali, sebagaimana kesenian lain seperti topeng, ukir, arsitektur, sastra, tari, dan karawitan, tercata pula dalam prasasti tua yang ditemukan di daerah Bebetin yang dikenal dengan sebutan Prasasti Bebetin. Artinya, seni pewayangan sama tuanya dengan kesenian Bali kuno lainnya.
Dengan nada yang meyakinkan, ia mengatakan bahwa eksistensi pertunjukan wayang kulit di Buleleng masih tinggi. Terlepas ditonton atau tidak, nyatanya masih banyak orang yang menanggap, atau meminta dalang untuk pentas, dalam acara-acara ritual keagamaan dan tradisi, seperti kelahiran, metatah, pernikahan, dan kematian. Ini dari segini peminat. Sedangkan dari segi kreasi pertunjukan wayang kulit juga tidak mandek. Dalang-dalang di Buleleng seperti tak pernah berhenti berkreasi dan berinovasi dalam mengembangkan cerita.
Matahari redup, tertutup awan hitam yang menggumpal. Angin menderu. Anjing hitam itu menggonggong. Sedang kata-kata dan asap tembakau masih tumpah-ruah dari bibir dalang yang populer dengan julukan “Sembroli” itu. “Jadwal pentas wayang di Buleleng masih padat jika dibandingkan dengan daerah lain di Bali. Sebagai dalang baru waktu itu, aku sudah bisa pentas sepuluh kali dalam sebulan,” katanya.
Dalang Sembroli—dalang yang memiliki nama asli Gusti Made Aryana—mulai tertarik ke dalam dunia pewayangan sejak tahun 2011. Sejak saat itu ia memutuskan untuk mendaftar menjadi mahasiswa pedalangan di ISI Denpasar. Empat tahun setelahnya, tepatnya pada 2015, Jro Dalang Sembroli mulai mewinten—yang dalam bahasanya disebut “tahapan menyucikan diri sebagai dalang”.
“Dua hari setelah mewinten sudah ada permintaan untuk pentas wayang. Dan itu terus menerus. Satu minggu sampai tiga kali. Padahal waktu itu aku belum tahu banyak soal pewayangan. Proses belajarku ketika di lapangan,” katanya.
Selama ini, ia sering menggunakan lakon carangan yang berkaitan dengan kelahiran, pernikahan, dan kematian. Juga potong gigi yang mengambil kisah kelahiran Gatotkaca atau Batara Kala. “Karena makna dari upacara metatah itu, kan, menghilangkan keraksasaan dalam diri,” katanya lagi.
Kreasi yang “Radikal”
Kesenian wayang kulit di Buleleng, sebagaimana dituturkan Jro Dalang Sembroli, memiliki ciri khas yang unik, berbeda, entah dari segi bentuk, tokoh punakawan, sampai cerita yang dibawakan. Wayang-wayang Buleleng memiliki bentuk relatif lebih besar dengan ukiran sederhana dibandingkan dengan bentuk wayang di Bali Selatan. Selain itu, di Buleleng, kesenian purba ini juga memiliki banyak pukawan yang memiliki fungsi dan karakteristiknya masing-masing.
Selain empat tokoh punakawan (parikan) utama seperti Twalen, Wana, Delem, Sangut—yang dalam pewayangan Jawa disebut tanggap ing sasmita lan impad pasanging grahita, yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong—di Buleleng juga memiliki tokoh-tokoh seperti Tongelang dan Kenyot, I Tole, I Gede Baragan, Nang Nyangnyang, Nang Manyar, serta punakwan wanita Ni Srojan.
Dalam esai pendek berjudul “Punakawan: Tokoh Figuratif Simbol Pemikiran Radikal Kreatif dari Buleleng” (2022), Dewa Gede Purwita mengatakan figur tokoh punakwan di atas dapat ditemui pada pahatan relief-relief pura yang tersebar di Buleleng, seperti Pura Maduwe Karang, Pura Dalem Jagaraga, Pura Beji Sangsit, Pura Subak Jagasari di Jagaraga, dan Pura Gde Pemayun Banyuning.
“Salah satu dalang kondang yang masih mempertahankan kesenian wayang klasik di Buleleng, yaitu Jro Dalang Sidia dari Desa Suwug, yang mengatakan bahwa memang benar di Buleleng banyak memiliki punakwan carangan,” tulis Purwita.
Lebih lanjut, Purwita menulis, berdasarkan analisis dari wujud-wujud wayang punakawan, maka masyarakat Buleleng dapat dikatakan mempunyai intuisi serta nalar yang lebih “radikal” dan berani dalam penciptaan daripada masyarakat Bali secara umum. Pemikiran kreatif nan radikal ini memberikan ruang seluas-luasnya kepada masyarakat Buleleng untuk berproses dan menunjukkan jati diri kehadapan khalayak luas.
Menurut Purwita, untuk menunjang karakteristik tokoh-tokoh punawakan yang khas itu, dalang-dalang di Buleleng sering menggunakan seperti “awake”, “nani”, “kolane”, “icang”—dan itu mampu menghidupkan karakter dari masing-masing tokoh.
Tak hanya soal banyaknya tokoh punakawan yang lahir dari tangan dingin dalang—yang “radikal” dan berani dalam bahasa Purwita—di Buleleng, bentuk wayangnya pun berbeda dari wujud tokoh punakawan di Bali secara umum.
“Misalnya Twalen dengan kepala yang gundul tanpa jambot; tokoh Wana sering dikaitkan dengan Mredah; wujud tokoh Tongelang, Kenyot, dan I Gede Baragan menyerupai kuda dengan baju kemeja; I Tole dengan rokoknya, Nang Nyang-nyang, Nang Manyar, dengan visualisasi dan pengkarakteran unik; serta mungkin masih banyak lagi yang belum diungkap apabila digali secara menyeluruh,” tulis Purwita.
Jro Dalang Gusti Made Aryana juga memiliki tokoh imajinatifnya sendiri: Sembroli—walaupun dengan rendah diri ia mengatakan itu bukan tokoh ciptaannya, ia hanya memopulerkannya saja. Meski demikian, tokoh inilah yang saat ini melekat dalam identitasnya sebagai dalang.
“Ceritanya begini, ada seorang dalang yang aku anggap guru. Aku seneng saat dia membawakan tokoh bernama Nyernyer—ada juga yang mengatakan Manyar—yang berpasangan dengan Nang Klepus atau Klaudan. Dalam setiap pertunjukan, Nang Klepus selalu menyebut Nyernyer dengan sebutan sembreloli. Nah, itu yang aku adopsi. Karena sulit diucapkan, aku sederhanakan menjadi Sembroli,” terangnya sembari tertawa.
Menurut Jro Dalang Sembroli, kreasi dalam seni pertunjukan wayang sangatlah penting. Selain untuk mengasah inovasi dalang, hal tersebut juga sebagai bentuk respon konkret atas zaman yang sudah berubah. Sebab, diakui atau tidak, kemandekan kreasi-inovasi dalang berpengaruh terhadap peminat pertunjukan wayang kulit.
Dalam beberapa kasus, misalnya seni pertunjukan wayang kulit di Jawa hari ini—sebagaimana Mahfud Ikhwan menuliskannya dengan bagus dalam esai Menjadi Jawa Tanpa Nonton Wayang (2019)—tanpa mencoba meremehkan para pemujanya, juga falsifikasi atasnya di belahan Jawa yang lain, untuk konteks desa Pantura macam desa tempat ia tumbuh—dan mungkin itu bisa diperluas setidaknya untuk kawasan yang memanjang antara di sepanjang Pantai Surabaya sampai Pati (apakah juga Jepara hingga Semarang?)—wayang tak pernah melebihi fungsi asalinya: hiburan rakyat. Dengan bahasa yang lebih akademis: budaya massa.
Dalam hal ini, tulis Mahfud, ia (wayang) kalah bersaing dengan budaya massa yang lain, dan kemudian gagal lolos dari ujian masa. Mungkin karena formatnya yang kurang menarik, mungkin perangkat sosial-budayanya kurang memadai, atau mungkin juga ada penyebab lain.
Seolah sadar akan selera masyarakat dulu dan kini sudah bergeser, mau tidak mau, dalang-dalang di Buleleng—termasuk Jro Dalang Sembroli—harus pintar-pintar mengakali bagaimana wayang, selain sebagai sarana “pelengkap” ritual tradisi atau keagamaan, juga kesenian pertunjukan yang seharusnya juga ditonton, dinikmati, diperhatikan jalan ceritanya, sebagaimana seni pertunjukan lainnya.
“Bagiku, wayang tidak hanya sekadar melengkapi atau sarana upacara, tapi juga sebuah pertunjukan. Itu yang sejak lama aku pikirkan. Dari sanalah muncul ide-ide untuk berkreativitas atau berinovasi—walaupun banyak orang menganggap bahwa wayang itu sakral, nyaris tidak bisa diobrak-abrik. Biar nggak mubazir ngomong berjam-jam, seolah-olah hanya formalitas saja, dan itu membikin jenuh,” ujar Jro Dalang Sembroli.
Tampa berusaha menghilangkan pakem, sebagaimana yang terjadi dalam dunia pewayangan di Jawa, Jro Dalang Sembroli, dan mungkin banyak dalang di Buleleng, mengemas cerita yang panjang menjadi padat dengan mengolah beberapa cerita yang sudah ada. “Di Buleleng jarang mengambil lakon atau cerita pokok yang panjang. Jadi lebih banyak mengambil cerita-cerita carangan. Hanya membutuhkan waktu satu sampai setengah jam untuk menuntaskan satu lakon,” katanya.
Adegan paguneman, semacam rapat yang melahirkan persoalan dalam cerita, misalnya, yang kadang berdurasi sangat lama, dipangkas oleh beberapa dalang—sekali lagi tanpa berusaha menghilangkan pakemnya. Hari ini tidak banyak orang yang memperhatikan paguneman. Orang lebih banyak menantikan pertunjukan punakawan.
“Untuk itu aku siasati dengan memperpadat, mempersingkat, tanpa merubah struktur cerita. Juga mengemas paguneman lebih hidup, atraktif, dan membuat penasaran penonton,” jelasnya.
Sebagai contoh, misalnya, terjadi dalam kisah Gatotkaca yang diminta para dewa untuk melawan Kala Percona. Dalam kisah tersebut, adegan biasanya dibuka dengan Narada yang turun ke Bumi untuk memberi tahu Yudistira perihal permintaan para dewa itu.
Tetapi, di tangan Jro Dalang Sembroli, itu disingkat dengan adegan diskusi antara Yudistira dan Bima mengenai apa yang disampapikan Narada kepada Yudistira. Bima kemudian marah mendengar apa yang disampaikan Yudistira. Sebagaimana telah dikatakannya di atas, konflik sengaja dibangun di awal cerita supaya memberi dinamika pada pementasan.
Lakon bisa diambil dari banyak sumber, kata Jro Dalang Sembroli, dari kakawin Ramayana atau Mahabarata. Tapi mengembangkan cerita tersebut tak semudah anak presiden menjadi ketua umum partai. “Untuk pendalaman tokoh, bahkan aku kadang membaca wikipedia. Misalnya, tokoh Gatotkaca itu seperti apa, dll. Aku bisa membuat lima sampai enam lakon dari seorang tokoh.” Untuk yang satu ini sepertinya ia tak main-main.
Anjing menggonggong. Gerimis mulai turun. Di barat, matahari benar-benar tak menampakkan diri. Angin berembus, sedikit menyejukkan udara yang panas.
Peminat yang Tinggi
Sebagaimana telah disampaikan di awal, bahwa peminat pertunjukan wayang kulit di Buleleng masih cukup tinggi, tentu, sekali lagi, terlepas dari ditonton atau tidak. Masih banyaknya ritual atau tradisi yang menempatkan wayang sebagai bagian di dalamnya, membuat kesenian purba ini tampaknya masih akan bertahan meski di tengah gempuran peradaban yang seolah tidak memberikan ruang kepada kesenian tradisional.
Menurut Dalang Sembroli, selain karena didukung kepercayaan spiritual masyarakat, banyaknya minat orang Buleleng dalam menanggap wayang juga disebabkan oleh dalang-dalang Bali Utara yang “nakal”. Mereka sering bereksperimen, sebagaimana telah diuraikan di atas, baik dari pembentukan karakter baru, maupun perubahan sudut pandang penceritaan. Ini membuat penampilan wayang di Bali Utara menjadi segar.
Peminat yang tinggi juga berpengaruh bagi seniman atau pengerajin wayang. Di Buleleng, masih banyak pembuatan wayang, terlepas itu berkualitas atau tidak, yang produktif. “Aku beberapa kali mengambil wayang dari Banjar Tegehe, dari seorang teman, namanya Rekayasa, itu pembuat wayang yang bagus,” kata Dalang Sembroli.
Selain itu, para pengerawit, atau penabuh gender wayang, juga masih kecipratan berkah. Tetapi, meski demikian, menurut Dalang Sembroli, sudah banyak generasi pemain gender yang belum tentu bisa mengiringi wayang. Karena, setidaknya, pengerawit juga harus memahami dunia pewayangan.
“Patuding (tuning) gender wayang disesuaikan dengan wilayah vokal dalang. Antara suara dalang dan gender wayang harus haromis dan adung. Supaya terdengar indah dialog, intuisi, antara dalang dan gender—yang saling menyelaraskan diri,” ujarnya.
Meski semua tahap dalam pertunjukan wayang sudah diatur dalam Dharma Pewayangan—meminjam bahasa Dalang Sembroli—“semacam undang-undangnya seorang dalang”, pada setiap pementasan wayang yang dilakukan, Dalang Sembroli selalu mendapatkan hal baru.
Sehingga, sampai sekarang, profesi dalang tidak diilhami sebagai sebuah rutinitas yang mandek, melainkan senantiasa berkembang dan diperbaharui. Artinya, betapa cairnya Dalang Sembroli serta dalang-dalang lain di Buleleng dalam bekreatifitas untuk membuat wayang Bali Utara tetap eksis di masyarakat.
Meskipun, sampai sejauh ini, distribusi wayang di luar tradisi masih jarang terjadi. Sempat dulu, di Buleleng Festival (Bulfest), kata Dalang Sembroli, tapi belakangan ini tidak pernah ada. Apresiasi dalam bentuk penggunaan wayang sebagai sarana ritual atau tradisi selama ini memang datang dari masyarakat.
Tampaknya pemerintah belum tergerak untuk melakukan sesuatu terhadap seni pertunjukan wayang kulit di Buleleng. Bahkan, pendataan jumlah dalang, pengerawit, sampai pengerajian wayang di Buleleng saja nyaris tidak ada. “Dulu ada pendataan dalang di Buleleng, yang dilakukan Penyuluh Bahasa Bali. Tapi data itu entah ke mana,” ujar Dalang Sembroli.
Namun, meski peminatnya masing tinggi, ternyata jumlah dalang di Buleleng, misal dibandingkan dengan tempat lain seperti Gianyar, menurut Dalang Sembroli, masih kurang. Itu sebabnya seorang dalang bisa punya jadwal yang padat. “Bahkan besok, aku harus pentas di tiga tempat. Itu sudah cukup untuk hidup,” ujarnya.
Hal tersebut tentu sangat berbeda dengan ekosistemnya di Jawa. Di Jawa hari ini, sekali lagi, wayang tak pernah melebihi fungsi asalinya: hiburan rakyat. Dengan bahasa yang lebih akademis: budaya massa. Tetapi, hari ini wayang kalah bersaing dengan budaya massa yang lain, dan kemudian gagal lolos dari ujian masa. Mungkin karena formatnya yang kurang menarik, mungkin perangkat sosial-budayanya kurang memadai, atau mungkin juga ada penyebab lain.
Dalang—yang oleh Goenawan Mohamad disebut “pencipta ilusi”, “penyair imajis”—memang tak cuma tampil di depan layar dengan tokoh-tokoh imajinernya. Ia juga di depan orang ramai. Kata Goenawan Mohamad (GM) dalam Catatan Pinggir-nya tentang Ki Manteb Sudarsono di majalah Tempo, seorang dalang “perlu showmanship, untuk memikat dalam pertunjukan. Ia juga punya janji dengan pemilik uang dan kekuasaan. Di jaman perdagangan sekarang ia dituntut memasarkan diri dan keseniannya, sebagai komoditi yang asyik.” Akhirnya banyak dalang (terpaksa) menggadaikan pakem.
Ki Timbul Hadi Prayitno—sebagaimana diceritakan GM dalam catatan pinggirnya: Dalang—pernah menyindir seorang dalang yang agar selalu ditanggap mengisi pementasannya dengan dagelan berpanjang-panjang, hingga “kirik-kirik sing melu nonton ya kepingkel-pingkel”, “anak-anak anjing yang ikut nonton terpingkal-pingkal”.
Ada juga dalang yang mentas dengan mempertontonkan para sindennya berjoget di panggung, sambil memangkas pendek satu fragmen Mahabarata karena takut penontonnya bosan. “Ia mengubah wayang kulit jadi seperti sinetron: mengkilap tanpa membekas,” tulis GM.[T]
Baca juga artikel terkait LIPUTAN KHUSUS atau tulisan menarik lainnya JASWANTO
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole