SAAT libur semester, saya pikir mahasiswa sepenuhnya sudah pada pulang kampung dan menikmati liburan, apalagi liburan ini dibarengi dengan susasana perayaan tahun baru. Ternyata mahasiswa Prodi Pendidikan Seni dan Budaya Keagamaan Hindu STAHN Negeri Mpu Kuturan masih berkemelut dengan persiapan untuk menampilkan hasil karya lanjutan dari luaran mata kuliahnya.
Yaa, sebenarnya di bulan Januari ini mahasiswa memang sedang tidak ada perkuliahan setelah mereka sudah menerima nilai hasil perkuliahan semester ganjil. Namun masa renggang ini merupakan kesempatan yang bagus bagi satu-satunya prodi PSBKH, sebutan pendek dari Prodi Pendidikan Seni an Budaya Keagamaan Hindu di STAHN Mpu Kuturan Singaraja.
Masa ini bisa dimanfaatkan untuk melaksanakan program rutin yang dimiliki oleh PSBKH yakni SULUH TULIS. Yaa, ini nama produk acara, namun dari arti kata yang berasal dari bahasa Bali, suluh artinya repleksi atau berkaca, tulis, yaa, seperti arti umum tentang tulisan, namun bisa saja konteksnya adalah karya.
Jadi konsep acara Suluh Tulis ini fokus pada diskusi, atau pertukaran pikiran yang bisa dilakukan dari berbagai kalangan, baik akademisi, praktisi dan peserta didik atau yang mau belajar.
Program ini ialah yang ketiga telah diselenggarakan oleh PSBKH, sebelumnya kegiatan yang pertama dan kedua telah dilaksanakan di Kampus STAHN Negeri Mpu Kuturan Singaraja. Untuk kegiatan yang ketiga prodi melaksanakan dengan cara kolaborasi dengan lembaga lain.
Nah, kami sempet berpikir mau dilaksanakan dimana, karena jika acara yang dilaksanakan di luar lembaga pastinya memerlukan waktu dan biaya yang berbeda, karena harus menghitung siapa penonton dan siapa yang tampil, ini penting karena kegiatan yang dimiliki oleh prodi ini pembiayaannya memang mandiri.
Oh iya, begitu dalam pikiran kami, kita ingat punya Kaprodi I Putu Ardiyasa yang merupakan seniman dari Desa Selulung Kintamani yang meyelesaikan studi S2-nya di Jogja yang memiliki banyak relasi khususnya di lembaga kesenian. Tentunya kami tidak lagi harus berpikir banyak, dan saat itu Pak Ardi telah selesai berkomunikasi lewat telepon dengan temannya, hasilnya kami sepakat melaksanakan kegiatan Suluh Tulis #3 di SMK Negeri 1 Sukasada. Waah ini dapurnya seni Bali Utara, pikir kami.
Tibalah hari pementasan, pagi itu mahasiswa dan dosen sedang berbaur menyiapkan masing-masing pekerjaan dan pementasannya, meskipun persiapan ini sudah dilakukan pada sehari sebelumnya dan diiringi dengan gladi masing-masing karya.
Para penonton yang berasal dari siswa SMK 1 Sukasada semua sudah berkumpul duduk setelah menyelesaikan regristasi dan melihat-melihat karya mahasiswa yang terpajang.
“Kami menyambut baik kolaborasi yang bisa dilaksanakan oleh STAHN Mpu Kuturan Singaraja di tempat kami!” Begitu sepintas saya dengar salah satu kalimat yang disampaikan oleh perwakilan pejabat sekolah saat pembukaan.
Ekosistem Seni itu Penting
Acara pertunjukan pun dimulai setelah pembukaan, masing-masing mahasiswa secara berkelompok kemudian bergilir menampilkan pertunjukan. Karya yang ditampilkan merupakan produk luaran dari mata kuliah Seni Keterampilan semester I kelas A dan B yang didampingi dosen pengampu mata kuliah yakni I Nengah Juliawan dan Kadek Anggara Rismandika.
Untuk semester III yang menampilkan karya pertunjukan teater dan seni rupa diampu oleh Dosen I Nyoman Sugita Rupiana dan I Kadek Abdhiyasa.
Sembari di panggung para mahasiswa sedang mempersiapkan pementasan, saya kesekian kalinya berkeliling-keliling melihat-lihat karya seni rupa mahasiswa yang dipamerkan dibagian belakang pononton. Karya seni rupa yang ditampilkan sangat luar biasa menurut pengamatan saya, baik yang dibuat dalam bentuk lukisan di kanvas maupun kertas.
Ada juga karya yang berupa bentuk patung yang dibuat dengan bahan anyaman bambu yang sangat indah. Saya pikir persiapan acara ini tidak main-main yang hanya bisa disiapkan beberapa hari saja, ternyata mahasiswa sudah mengerjakan dari beberapa bulan sebelumnya, sesuai dengan jawaban dari salah satu mahasiswa.
Ini mengingatkan saya ketika masih terdaftar sebagai sekehaa truna-truni di desa, semangat berkarya itu ada tanpa pamrih dan rela melewati subuh untuk sebuah karya yang dipersembahkan pada tanah kelahiran.
Saat ini saya menyadari bahwa organisasi atau adat tersebut merupakan bagian dari salah satu wadah perkembangan seni di Bali. Jika dalam masyarakat kampus berkreasi atas implementasi teori yang mereka lakukan, tetapi bagi masyarakat di desa berkesenian lebih menekankan pada rasa, baik rasa berkreasi, rasa ngayah maupun rasa patriotisme.
Seni merupakan bagian dari keahlian orang, tentunya tidak semua memiliki potensi yang sama, namun dengan memiliki rasa berkreasi yang sama tentunya dalam hal ini semua memiliki kemampuannya masing-masing yang berguna untuk menghasilkan karya yang terbaik.
Ada tiga dalil atau kaidah utama dari estetika Hindu yang membagun seni di Bali yakni, kebenaran (Satyam), kesucian (Siwam) dan keindahan (Sundaram). Realitas kesenian Bali seperti halnya yang tumbuh di desa-desa secara umum tersaji sebagai sajian atau persembahan kepada Tuhan, seperti yang diungkapkan oleh Tirta pada tulisannya di tahun 2019.
Rasa ngayah merupakan bagian dari pelaksanaan Siwam, mengingat perkembangan seni di Bali pada dasarnya selalu berkaitan dengan kegiatan upacara dan ada juga yang bersifat melekat atau sebagai bagian dari unsur kegiatan upacara agama Hindu. Dalam kegiatan upacara pastinya masyarakat melakukan dengan tulus tanpa harus memikirkan keuntungan dan kerugian. Sehingga apa yang ditampilkan tersebut sangat natural dan selalu menampilkan keindahan baik secara audio visual maupun emosional pertunjukan, sesuai dengan dalil satyam dan sundaram-nya.
Saya kembali duduk di belakang dengan membuka laptop sembari menonton pertunjukan dan setelah saya sempet memutuskan judul tulisan dan mengetik beberapa kalimat, ternyata pertunjukan yang kedua sudah selesai dilakukan.
Sabha Kritis dalam sebuah karya
Pertunjukan pertama menampilkan tarian yang diciptakan oleh mahasiswa yang saya cermati karakter tariannya dengan gerak yang sangat lincah dan tegas, menurut tangkapan saya secara dangkal, ini menunjukan bagaimana semangat anak muda itu tidak bisa dipisahkan dalam kehidupannya sekalipun dalam sebuah tarian. Sebagai sebuah karya yang diciptakan oleh mahasiswa sendiri, bagi saya ini sangat luar biasa dengan tampilan gerak dan pola yang apik, mereka sudah menunjukan bagaimana naluri keseniannya itu sangat tinggi.
Pertunjukan yang kedua menampilkan kesenian kolaboratif antara seni musik tradisi dengan musik modern. Kesenian yang dibawakan dalam konsep musikal puisi, jadi seni musik kolaborasi tersebut mengiringi bait-bait puisi seperti bentuk lagu. Judulnya Taman Sari, saya menikmati dang mengamati bait-baitnya yang melukiskan keindahan alam, termasuk keindahan laut Bali Utara yang sudah menjadi bagian bagi masyarakat Buleleng sejak sebelum masehi.
Lirik-lirik yang mengangungkan laut Bali Utara, mengingatkan saya pada eksistensi laut Bali Utara sejak jaman prasejarah hingga masa Bali Kuno yang diketahui berdasarkan benda dan catatan-catatan kuno. Berdasarkan beberapa hasil kajian Prof Ardika Guru Besar UNUD, Laut Bali Utara merupakan salah satu jalur perdagangan internasional yang sangat penting. Hal tersebut dapat diketahui dengan banyaknya temuan-temuan yang tersebar di situs Julah, Pangkung Paruk, dan Kalibukbuk. Benda-benda purbakala yang beurpa keramik, kaca dengan lapisan logam, gerabah dan manik-manik perhiasan dari masa prasejarah yang berasal dari India, Cina, Vietnam dan ada juga manik-manik yang diperkirakan ada korelasi hubungan dengan kebudayaan Meditarian Eropa.
Eksistensi pada masa Bali Kuno juga dapat diketahui berdasarkan catatan-catatan Prasasti yang dikeluarkan saat itu, yang banyak membahas tentang tawan karang, pengaturan perdagangan dan keberadaan pelabuhan kuno di Julah dan Manasa di Sangsit. Untuk lebih jelasnya bisa dibaca lebih lengkap di Buku karya beliau salah satunya di Buku Sejarah Bali dari Prasejarah Hingga Modern.
Begitu besar peradaban yang dimiliki oleh Bali Utara terutama di sektor laut yang ternyata bagian dari jalur penting dalam perdagangan internasional pada jaman sebelum masehi hingga abad pertengahan. Tentunya bagi masyarakat Buleleng ini adalah kebanggaan yang luar biasa yang diberikan oleh alam, patut mereka melestarikan dan mengagungkannya salah satunya dalam sebuah inspirasi kesenian yang patut dipertontonkan untuk mengembalikan sepirit peradaban besar tersebut.
Tidak terasa setelah saya menghabiskan ubi rebus yang disediakan panitia dengan pelancar segelas kopi, pertunjukan sudah dilakukan oleh peserta ketujuh sebagai penutup yang menampilkan tarian yang berjudul Taru Agung. Yaa, pastinya sebelum tampilan penutup ini ada persembahan yang telah ditampilkan dengan apik, yakni karya SMK 1 Sukasada, Ancak-ancak Alis, Karya Puisi Keni Sengsara, dan Akara Manubawa. Karya-karya tersebut dibawakan secara berkelompok dengan berbagai inovasi perpaduan alat modern, ini sangat susah kalau saya lukiskan satu-persatu dalam sebuah kalimat cerita, karena akan jauh lebih nikmat jika disaksikan secara langsung.
Tibalah sesi diskusi yang merupakan bagian dari yang penting juga dalam acara Suluh Tulis #3b ini. Jika sesi sebelumnya adalah bagian dari kegiatan praktiknya, sesi berikutnya adalah sesi mengupas dan tukar pikiran antara pengamat, seniman dan penonton.
Sesi ini sangat penting bagi seniman salah satunya, mereka kemudian digenjot lagi agar bisa terbangun pondasi karakteristik kesenian yang mereka ambil. Yaa, bisa dibilang sesi ini seperti suasana ujian bagi seniman, karena mereka diajak bercermin, bukan pujian yang melemahkan yang mereka akan dapatkan, tapi kritik pahit yang akan membangunkan naluri seninya agar lebih memukau lagi.
Salah satu narasumber diskusi yang dikatakan oleh salah satu staff sarpras kami, “Bapak itu sering saya lihat di acara pertunjukan seni, siapa ya namanya?” Begitu ia sampaikan ke saya saat di belakang sembari menunggu untuk mengambil peralatan kampus yang juga dibawa kesana. Iya belum tahu kalau beliau adalah Pak Made Adnyana Ole nama akrabnya, yang tentunya susah saya jelaskan kalau beliau memang orang hebat, salah satunya ialah di bidang pemerhati seni.
Sembari berbincang dengan staff kami, saya ingat betul salah satu kalimat yang merupakan penting untuk dipahami dalam dunia kesenian, yakni “Lebih baik menerima krtitik daripada ditinggal penonton!” ucap Pak Made Ole.
Dan benar sekali, saya memperhatikan beliau dari awal pertunjukan hingga selesai beliau selalu memandang ke arah panggung tanpa sempat saya lihat menengok ke belakang. Ada banyak hal yang disampaikan oleh beliau dan tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Salah satu yang saya tangkap, yakni terkait dengan pakem atau bentuk yang dipilih jangan terlalu jauh dari bentuk-bentuk atau jenis kesenian yang diambil, agar para penonton bisa menikmati karakteristik dari jenis kesenian yang ditampilkan.
Selain itu salah satu guru di sekolah tersebut yang juga menjadi narasumber acara, menyampaikan banyak hal terhadap kesenian dan apresiasinya.
Salah satu kalimat yang saya dengar adalah, “Setiap seniman atau kelompok seni memiliki rasa berkesenian yang berbeda-beda!” ucap Pak Nasa panggilan akrabnya.
Mungkin maksudnya adalah di dunia seni inovasi dan kreatifitas memang benar-benar mempengaruhi sebuah karya, sehinga muncul berbagai jenis kesenian baru sesuai bakat dan karakter seniman itu sendiri. Namun tak kalah penting jika para pemain sudah menentukan jenis dan bentuk karya yang ditampilkan sesuai dengan bentuk-bentuk umum yang telah disepakati, sebaiknya jangan meninggalkan ciri khas dan pakem-pakem yang dimilikinya.
Peserta Suluh Tulis #3
Bagi saya ini adalah hal pertama kali yang saya alami, menonton pertunjukan namun begitu selesai tidak langsung ditinggal pulang, namun dilanjutkan untuk diskusi-diskusi tentang penampilan ataupun seni secara umum diwilayahnya.
Menurut saya ini sangat keren, tidak hanya menghibur diri dengan pertunjukan karya namun juga bisa menambah pengetahun yang sangat penting untuk diikuti. Pada diskusi ini sangat interaktif antara seniman, pengamat dan penonton. Jadi interaksi ini penting, selain untuk menyempurnaan karya, namun juga bisa membangun karya-karya yang lainnya dan tentunya bisa dijadikan inspirasi bagi semua kalangan.
Hingga saatnya acara benar-benar selesai dan ditutup oleh moderator tidak terasa kami telah melaksanakan acara ini hingga lewat 1 jam dari jam makan siang umumnya. Saya juga merasakan kelarutan itu yang diingatkan oleh perut saya sendiri dan sudah saatnya harus diajak menikmati dunia.
Saya pun bergegas dengan merapikan semua alat dan barang saya gunakan, dan tidak lupa saya harus mengambil lukisan saya yang ikut pameran di acara itu, dan saya bilang, “Ayo kakek kita pulang,” karena yang saya lukis di atas kanvas dengan cat minyak aliran realis adalah wajah almarhum kakek saya yang dibuat iseng dengan sukaria.
Trimakasih pada para pembaca sudah menyimak cerita yang harus saya sampaikan sesuai tugas yang diberikan oleh panitia acara.
Sumber refrensi
Ardika, I., Bawono, R., & Srijaya, I. (2018). Prasejarah Bali. In I. Ardika, I. Parimartha, & A. Wirawan, Sejarah Bali dari Prasejarah Hingga Modern (p. 7). Denpasar: Udayana University Press.
Tirta, I. M. D. (2019). Konstruk Estetika Hindu dalam Realitas Seni di Bali. Pangkaja: Jurnal Agama Hindu, 22(1), 90-102.