“SAYA mengidolakan ayahanda Lafran Pane,” kata Wahyu Candra Kurniawan membuka obrolan. Lalu ia berceramah tentang bagaimana kondisi ekosistem pergerakan mahasiswa di kota tempatnya menambang ilmu pengetahuan. Menurutnya, pergerakan mahasiswa dipengaruhi faktor-faktor seperti lokasi kampus, kegiatan internal-akademis, dan sosial-masyarakat. “Mahasiswa di Singaraja itu sebenarnya aktif, cuma di dalam kampus, di luar tidak terlalu,” sambungnya.
Tetapi Tri Budi Santoso memiliki pandangan lain. Mahasiswa di Singaraja, Bali, baginya terbilang cukup aktif dalam menyuarakan isu-isu kedaerahan dan berperan dalam mendorong program kerja pemerintah. “Tidak hanya mengkritik, tetapi menjadi mitra pemerintah dalam mengatasi masalah sosial masyarakat yang tidak pro kepada rakyat,” kata Budi.
Apa yang dikatakan Wahyu dan Budi sebenarnya tidak ada yang salah. Jika dilihat secara kasat mata, dan yang dijadikan ukuran adalah organisasi masing-masing, mahasiswa di Singaraja memang terlihat aktif dalam melakukan pergerakan.
Tetapi, jika dilihat dalam skala universal, keseluruhan, apa yang dikatakan Wahyu juga ada benarnya. Mengingat, pada kenyataannya, tak banyak mahasiswa di Kota Pendidikan ini memiliki minat berorganisasi di luar kampus—yang notabene lebih condong ke arah pergerakan, aktivisme yang bermuatan ideologi.
Persoalan ini barangkali tidak hanya terjadi di Singaraja, tapi juga di kota-kota lain di seluruh Indonesia. Jika merujuk pada sejarah, semua itu terjadi pasca meletusnya Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) dan dilanjutkan Gerakan Mahasiswa 1977/1978 (Gema 77/78).
Pada masa itu, Orde Baru Soeharto mulai jengah dengan protes-protes mahasiswa. Dan untuk meredam suara kritis dari kampus, Menterian Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef, menerbitkan Surat Keputusan No. 0156/U/1978 yang dimaksudkan untuk “mengembalikan fungsi mahasiswa” sebagai kaum intelektual yang harus kembali pada tradisi keilmuan.
Kebijakan ini dikenal sebagai Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Sejak itu, Dewan Mahasiswa di kampus-kampus dibubarkan. Itulah awal mula pemberangusan suara-suara kritis di lingkungan kampus. Dan sepertinya, akibat dari kebijakan tersebut berimbas sampai hari ini. Lihat saja, tampaknya lebih banyak mahasiswa—termasuk di Singaraja—yang memilih untuk tekun belajar di kelas, dan lulus cepat, alih-alih menjadi student government.
Meski demikian, di Singaraja masih ada beberapa organisasi mahasiswa pergerakan (eksternal kampus) yang masih eksis hingga hari ini, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMDI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Terkait keaktifan organisasi yang terakhir masih memerlukan konfirmasi.
Wahyu dan Budi adalah aktivis mahasiswa di Singaraja yang berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur. Wahyu merupakan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Singaraja, sedangkan Budi telah dilantik menjadi Ketua Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMDI) Buleleng. Mereka berdua sama-sama menuntut ilmu di Universitas Pendidikan Ganesha.
“Sebagai mahasiswa saya merasa tergerak untuk berperan di masyarakat. Untuk itu saya memilih menjadi aktivis,” ujar Budi menyampaikan alasanya menjadi aktivis mahasiswa.
Tak jauh berbeda dengan Budi, alasan Wahyu menjadi aktivis mahasiswa—dan mempertahankan eksistensi organisasi pergerakan yang dipimpinnya—karena merasa terpanggil jika ada isu-isu yang menciderai hak-hak rakyat. Dan, katanya, selama menjadi aktivis mahasiswa, ia mampu merubah cara berpikirnya. “Saya sadar bahwa mahasiswa memiliki tugas sebagai generasi pembawa perubahan,” katanya lagi.
Di tengah ketidakpopuleran organisasi mahasiswa eksternal kampus di Singaraja, memilih bergabung dan mempertahankan eksistensinya adalah tindakan yang tak mudah. Wahyu dan Budi, misalnya, sebagai ketua umum, harus rela dicap sebagai mahasiswa yang ekstrem dalam berpikir. “Organisasi eksternal masih sering dianggap sebagai organisasi ‘ekstrimis’ oleh sebagian masyarakat,” Budi menganalisa.
“Saat kami melakukan aksi turun jalan, misalnya, terkadang malah mendapatkan respon negatif dari masyarakat. Tetapi api semangat kami sebagai aktivis mahasiswa tidak pernah padam,” ujar Wahyu menambahkan pendapat Budi. Tak hanya Wahyu dan Budi, Des Alpin, Ketua GMKI Singaraja, juga berkata demikian. “Kadang, pada saat kami bergerak bersama-sama dengan masyarakat, malahan di-judge mencari popularitas semata atau pansos,” katanya.
Sedangkan kampus-kampus yang berada di Singaraja, di mana aktivis mahasiswa belajar di sana, tidak semua menunjukkan dukungan. Beberapa kampus seolah mengamini kebijakan NKK-BKK tahun 80-an, yang dimaksudkan untuk “mengembalikan fungsi mahasiswa” sebagai kaum intelektual yang harus kembali pada tradisi keilmuan. Padahal, mungkin saja itu bentuk anti-pati kampus terhadap aktivis mahasiswa—yang notabene lebih banyak berasal dari organisasi mahasiswa luar kampus.
Intervensi kampus atau pemerintah terhadap gerakan mahasiswa memang sudah bukan barang baru di negara ini. Dalam sejarah, peristiwa 12 Mei 1998 dikenang sebagai titik penting dalam proses demokrasi di Indonesia. Pada peristiwa tersebut, empat mahasiswa Universitas Trisakti meninggal dunia, puluhan lainnya mengalami kekerasan, sedangkan ratusan, bahkan ribuan mahasiswa, tunggang-langgang, berlarian panik memasuki kampus, dihujani peluru dan gas air mata.
Tahun 2019, saat #ReformasiDikorupsi berlangsung ricuh, sejumlah peserta aksi demonstrasi yang menolak RUU bermasalah pada 24, 25, dan 30 September di DPR itu ditangkap, dikriminalisasi, hingga meninggal dunia.
Pada aksi tersebut, ada 18 siswa yang terancam dicabut Kartu Jakarta Pintar (KJP) oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta dan dua siswa lainnya dipaksa untuk mengundurkan diri (DO) dari sekolah. Lalu mereka juga diintimidasi dengan pemaksaan menandatangani surat perjanjian bahwa tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang sama, yakni mengikuti demonstrasi.
Selain itu, terdapat seruan oleh pemerintah melalui Kementerian Riset dan Teknologi Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti) yang mengancam akan mencopot rektor universitas yang mengizinkan mahasiswanya terlibat aksi demonstrasi.
“Sempat terjadi pada tahun 2019, ketika beberapa mahasiswa melakukan aksi turun ke jalan, salah satu koordinator lapangan mendapat intervensi dari pihak kampus, sampai hampir di-DO. Kalau Pemerintah Buleleng jarang intervensi,” Wahyu menyampaikan kejadian yang menimpa rekan aktivisnya.
Lantas, usaha apa yang dilakukan Wahyu, Budi, dan Alpin dalam mempertahankan eksistensi organisasi mahasiswa pergerakan yang dipimpinnya di tengah ketidalpopuleran dan resistensi seperti yang telah dipaparkan di atas?
Beda Masa, Beda Cara
HMI, KMHDI, dan GMKI merupakan organisasi mahasiswa eksternal kampus yang sama-sama tergabung dalam kelompok bernama Cipayung Plus. Kelompok ini sudah ada sejak tahun 70-an. Sebagai organisasi mahasiswa pergerakan, ketiga organisasi tersebut seolah sadar bahwa zaman telah berubah. Jadi, dalam menjaga eksistensi, caranya pun juga harus dirubah.
“Pergerakan mahasiswa dulu ‘kan cenderung sedikit ekstrem, terang-terangan, dalam menyuarakan aspirasi. Dan itu keren pada masa itu. Berbeda dengan sekarang, yang lebih agak kompromi. Misalnya lebih memilih komunikasi/audensi baik-baik dalam menyuarakan aspirasi,” ujar Budi.
Sikap kompromi yang dilakukan organisasi mahasiswa tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Selain lingkungan yang resisten, zaman sekarang sangat sulit membangun citra positif dengan cara yang frontal, blak-blakan, tanpa tedeng-aling-aling. Alih-alih dianggap keren, malah akan dianggap aneh dan berimbas pada nama organisasi.
Selain bersikap lebih kompromis, dalam menjaga eksistensi, organisasi mahasiswa pergerakan di Singaraja juga melakukan banyak program pengabdian kepada masyarakat, seperti melakukan penggalangan dana setiap kali ada bencana yang menimpa suatu daerah, membuka tempat bimbingan belajar gratis, santunan ke panti asuhan, dan sebisa mungkin melakukan diskusi-diskusi terkait isu-isu yang berkembang di negara ini, seperti yang dilakukan GMNI Singaraja baru-baru ini dengan menyelenggarakan nobar debat presiden 2024.
Di luar program pengaderan anggota, mereka juga mulai menjalin hubungan baik dengan instansi-instansi pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya. “Seperti sekarang, HMI sebagai pemantau pemilu, mengadakan pendidikan demokrasi sebagai bentuk sosialisasi terhadap pemilih pemula supaya tidak golput dan mengetahui bagaimana menjadi pemilih yang cerdas,” kata Wahyu.
Sebagai bagian dari masyarakat, sebagaimana KMHDI, GMKI, dan organisasi mahasiswa pergerakan lainnya, kata Wahyu lagi, HMI terlibat dalam diskusi dan perjuangan terkait partisipasi politik. Mereka mendorong mahasiswa untuk terlibat dalam proses demokrasi dan mengedepankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berpolitik.
Itu semua mereka lakukan, selain untuk menarik minat mahasiswa, juga sebagai bentuk ikhtiar supaya tidak tenggelam ditelah zaman.
Meski sudah berbeda dengan dulu, kadang kala, kata Alpin, gerakan mahasiswa masih dicap atau dilabeli tidak tulus dalam melakukan perjuangan. “Bergerak sedikit langsung dicurigai ada kepentingan pribadi, dll. Ditunggangi, suruhan, dll,” ujarnya.
Sebagai Ketua GMKI Singaraja, dia mengatakan, perjuangannya hanya untuk memperjuangkan nilai-nilai “syalom Allah” di Indonesia dan muka bumi serta memfokuskan diri sebagai pelayan yang baik—pelayan dalam konteks iman kekristenan, katanya.
Sampai di sini, meskipun minat mahasiswa bergabung menjadi anggota organisasi eksternal kampus mulai menurun, pada kenyataannya, eksistensi—katakanlah HMI, KMHDI, GMKI, dll—di Singaraja masih terjaga dengan baik. Artinya, ormawa eksternal kampus masih relevan dan dibutuhkan.
Bagi Wahyu, organisasi mahasiswa pergerakan merupakan ruang pembelajaran, pengembangan diri, dan jalan untuk menemukan jati diri. Tanpa organisasi mahasiswa pergerakan, kehidupan kampus akan terasa hambar dan tak berwarna.
Wahyu, Budi, dan Alpin percaya bahwa menjadi aktivis mahasiswa adalah pilihan terbaik yang pernah mereka ambil. “Karena menjadi aktivis mahasiswa itu luar biasa serunya; banyak tahu buku bacaan, cara menulis, cara beretorika yang bagus, relasi makin bertambah, dan lain sebagainya,” kata Alpin. Wahyu juga mengungkapkan hal yang sama seperti Alpin.
Sehingga, mereka bertiga juga memiliki harapan supaya mahasiswa yang berproses di Singaraja dapat mengasah keterampilan akademis dan non-akademis, partisipasi aktif dalam kegiatan kampus, serta memiliki semangat untuk terus belajar dan berkembang.
“Semoga mereka dapat menjadi agen perubahan positif dalam masyarakat dengan membangun jaringan yang kuat dan mengimplementasikan nilai-nilai etika dan tanggung jawab sosial. Selain itu, semoga kami dapat mempersiapkan diri untuk tantangan global dan berkontribusi pada pembangunan daerah dan negara,” ujar Wahyu.
Sedangkan Alpin berharap, supaya mahasiswa Singaraja ke depan tidak apatis—“karena sejatinya manusia itu mahkluk sosial, yang saling membutuhkan bantuan, sampai kita pulang menghadap sang Pencipta,” sambung aktivis mahasiswa yang mengidolakan Johannes Leimena dan Adian Napitupulu itu.
Begitu pula dengan Budi. Ia berharap mahasiswa di Singaraja mulai menyadari peran dan tugasnya, tidak hanya fokus pada diri sendiri—dalam hal ini intelektualitas pribadi. “Tetapi juga berperan dalam kehidupan masyarakat dengan ikut menyuarakan isu-isu daerah, misalnya. Meskipun tidak semuanya bisa terlibat, tapi harapannya semakin banyak mahasiswa yang kritis terhadap isu-isu yang ada,” pungkasnya.[T]
Baca juga artikel terkait LIPUTAN KHUSUS atau tulisan menarik lainnya JASWANTO
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole