LANGKAH saya berhenti di Statsiun K.A Bandung. Masuk gerbang statsiun lama, lalu melewati pintu peron. Saya bukan mau berpergian naik kereta tapi sengaja mencari kenangan lama yang pernah tersimpan.
Saya duduk di bangku besi sambil menyeruput segelas kopi yang saya beli di sudut statsiun.
Di samping kantor informasi ada sebuah toko buku kecil kalau kita mau masuk peron. Saya pernah menemukan sebuah buku Arus Balik karya pengarang besar Pramoedya Ananta Toer.
Ini terjadi sekitar tahun 2006. Tadinya saya tidak tahu tentang buku yang bergambar kapal layar tradisional serta kusam bertuliskan Arus Balik itu. Karya maestro sastra itu adalah buku yang bernilai sastra dan mengandung sejarah tentang epos pasca kejayaaan Nusantara di awal abad 16.
Arus Balik adalah sebuah karya monumental Pramoedya – malah ada yang menganggapnya lebih besar dibanding karya-karya sebelumnya selama ini, seperti tetralogi Bumi Manusia yang sudah menyebar dalam berbagai bahasa asing di dunia.
Di negeri merdeka dan di antara manusia merdeka, orang merdeka menafsir, bagaimana dan ke mana pun ditafsirkan.
Saya hanya ingin membeli koran. Ketika melihat judul Arus Balik, saya tidak tertarik. Saat itu, saya tidak tahu siapa Pram itu. Saya hanya iseng menanyakan harganya berapa. Ah! Tidak punya niat membelinya. Apalagi ketika tahu harga buku tersebut 180 ribu. Saya cuma manggut-manggut. “Mahal amat!” kata saya dalam hati.
Seminggu kemudian saya main ke salah satu toko buku dan perpustakaan di Bandung. Kebetulan pemiliknya teman saya. Ia seorang penulis, kolektor dan pecandu kopi juga. Seorang kolektor buku-buku karya Pram.
Saya sering diskusi, ngobrol tentang sastra dan segala macam. Akhirnya saya mendapat banyak tahu tentang siapa Pram, ditambah lagi, dengan saya kemudian banyak membaca karya Pram di perpustakaan.
Saya teringat kembali sebuah buku Arus Balik karya Pram di stasiun itu. Terbitlah pikiran ingin membelinya. Tapi bila ingat harganya saya jadi bergidik. Tidak punya uang. Uang dari mana? Waktu itu saya belum nyemplung ke dalam dunia perbukuan (bisnis) seperti sekarang ini. Baru sebatas suka membaca dan membaca.
Kebetulan saya tiap hari selalu membantu ibu teman saya membuat gorengan sebangsa gehu, karoket, martabak tahu, dan lain-lain. Ngadonan gorengan mulai jam 04 subuh sampai dengan jam 08:30. Jam 09:00 harus segera dikirim ke kantin sekolah.
Saya dapat uang 5.000 per 3 jam sehari. Bingung juga uang 5.000 mana cukup. Pakai ongkos PP Cicaheum – Rajawali juga sudah habis tak tesisa. Ongkos bis kota 2.000, ongkos angkot 3.000. Berangkat sehabis subuh. Pulang siang.
Pada suatu ketika. siang-siang saya beres-beres gudang. Saya lihat sebuah sepeda mustang tergeletak tak terurus. Bannya bocor. Saya jadi tergerak ingin pinjam. Saya pinjam sepeda itu untuk diperbaiki dengan pinjam uang ke pemiliknya. Akhirnya sepeda sudah bagus bisa dipakai.
Setiap hari saya ngaboseh Cicaheum-Rajawali dengan waktu tempuh satu jam. Berangkat habis subuh pulang siang. Dengan bawa uang 5.000. Setiap pulang selalu bawa nasi dengan lauk pauknya. Sore jam 16.30 saya jaga toko buku dan perpustakaan milik teman saya, kalau boleh saya panggilnya DM (nama panggilan). Sampai dengan jam 1:00 malam.
Sambil jaga toko buku, saya diberi kebebasan membaca buku koleksinya. Sampai satu bulan uang sudah terkumpul 180.000, bahkan lebih. Sepulang dari Rajawali saya mampir ke toko buku yang terletak di sudut stasiun Bandung itu, untuk membeli buku Pramoedya.
Sebenarnya saya kaget juga tapi bersyukur buku itu ternyata masih bertengger di rak buku artinya buku tersebut belum laku. Dengan sangat senangnya, bahagia buku itu akhirnya jadi saya beli. Dan menjadi milik saya.
Ketika saya cerita ke teman DM tentang perjuangan mendapatkan buku Arus Balik itu. Teman saya sampai ngacungin jempol. “Mantap!” katanya.
Seiring dengan berjalannya waktu dari hari ke hari, ke minggu, ke bulan, ke tahun. Akhirnya saya tahu-tahu sudah nyemplung ke dunia perbukuan dengan modal kepercayaan. Saya sering diajak pameran. Jaga Stand buku oleh teman baik pemilik toko buku, penerbit. Dengan sistem freelance.
Ya, Pramoedya telah pergi untuk selama-lamanya tapi karyanya akan terus dibaca, dikenang sepanjang masa. Dengan kesadaran akan pentingnya sebuah sastra. Harimau mati meninggalkan belangnya, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan karyanya.
Pramoedya tak menulis lagi namun karyanya akan terus dibaca dibaca dibaca. Masih dapatkah arus balik membalik lagi?
Kopi sudah habis dan hari sudah sore saya pulang dengan bergegas. [T]