USAHA-USAHA untuk menggiring aktivitas kepariwisataan ke arah yang lebih positif terhadap lingkungan dan masyarakat lokal menjadi perhatian pemerintah di berbagai belahan dunia. Ini merupakan buah dari kesadaran bahwa perjalanan jauh yang ditempuh oleh seseorang untuk berwisata mungkin membawa dampak yang kurang baik dan perlu dipikirkan ulang tanpa harus melarang atau membatasi aktivitas tersebut.
Selain itu, keuntungan ekonomi dari bisnis ini diharapkan juga ikut dinikmati oleh masyarakat setempat sehingga mereka tidak lagi sekedar menjadi obyek atau tontonan belaka. Semua terdengar baik dan ideal, tetapi, bagaimana dalam prakteknya?
Ekowisata yang diterjemahkan dari kata ecotourism, berasal dari akronim ecological tourism, merupakan jenis aktivitas pariwisata yang menekankan pada upaya menjaga lingkungan, mempromosikan pendidikan, melakukan kegiatan jalan-jalan mengunjungi tempat yang eksotis, dengan cara memiminalisir dampak-dampak merugikan yang mungkin ditimbulkan. Tidak hanya berfokus pada lingkungan alamiah, konsep ini juga diharapkan berperan dalam memberi dukungan ekonomi kepada komunitas lokal.
Ekowisata yang sering juga dikaitkan dengan konsep wisata desa telah digadang-gadang sebagai jalan untuk mendistribusikan kesejahteraan yang ditimbulkan aktivitas pelancongan kepada masyarakat lokal. Sebelumnya, pariwisata dianggap hanya menguntungkan segelintir investor yang menanamkan modalnya pada sektor ini.
Sejak tahun 2002, UNWTO, lembaga PBB yang memiliki perhatian besar terhadap pariwisata aktif mempromosikan kegiatan-kegiatan yang diharapkan akan mendukung keberlanjutan bisnis ini dan juga lingkungan serta masyarakat pendukungnya.
Saat bertandang ke Vietnam akhir tahun 2023 lalu, saya berkesempatan berkunjung ke Delta Sungai Mekong. Sungai ini merupakan salah satu yang terpanjang di dunia menemapti urutan ke-12. Artinya, hanya ada 11 sungai lain yang lebih panjang. Kemudian, alirannya melewati beberapa negara: China, Myanmar, Thailand, Laos dan Kamboja sebelum masuk ke Vietnam dan beramuara di Laut China Selatan.
Sebagai wilayah paling akhir yang dilewati sungai itu, di Kawasan Vietnam dijumpai beberapa delta, pulau-pulau kecil berlumpur yang subur.
Mendayung di Sungai Mekong | Foto: Gede Maha Putra
Sungai Mekong memiliki peran dalam perdagangan antar negara. Hubungan-hubungan dagang ini membentuk budaya-budaya lokal yang unik sehingga delta sungainya menjadi salah satu destinasi wisata utama di Vietnam Selatan. Kehidupan masyarakat dan kondisi alam yang unik membuatnya berpotensi sebagai kawasan wisata alam dan budaya. Untuk mencapainya, bisa melalui perjalanan darat. Perjalanan dari Saigon ditempuh sekitar 2 jam melewati kota-kota yang lebih kecil penduduk dan persawahan hijau membentang.
Sepanjang jalan banyak coffee shop dengan ayunan hammock untuk tempat beristirahat bagi penduduk yang bermigrasi ke Saigon dari daerah-daerah yang lebih di utara dengan naik sepeda motor. Setiap Imlek mereka menempuh jarak ratusan kilometer ke kampung-ksmpung asalnya, mudik.
Kota memang selalu menjadi magnet bagi banyak orang. Meski di pedesaan juga tersedia pekerjaan, tetapi upah yang lebih tinggi, fasilitas yang lebih lengkap dan gaya hidup yang dianggap lebih maju selalu mengisi imajinasi banyak orang. Biarlah eksotisme desa menjadi milik pelancong menjadi imajinasi orang yang hanya datang dalam waktu singkat saja.
Selain penjual kopi, banyak penjual buah terutama jeruk besar, mangga, markisa, pisang, delima hingga durian. Ini adalah hasil pertanian penduduk di sekitar sungai yang subur itu. Terbit juga niat untuk mencobanya, tetapi guide kami mengingatkan bahwa nanti akan ada tempat untuk membeli berbagai buah-buahan tersebut beserta ragam olahanya di lokasi wisata.
Perjalanan panjang kami diselingi istirahat di sebuah rest area dimana hasil kerajinan penduduk setempat ditawarkan sebagai souvenir.
Kami tiba di sebuah pelabuhan kecil setelah menempuh perjalanan dari pagi hingga menjelang siang. Delta Mekong memiliki empat buah pulau dengan fungsi yang berlainan. Satu pulau dihuni oleh masyarakat lokal. Tiga lainnnya berfungsi sebagai masing-masing sebuah restaurant, pulau resort pribadi dan, yang terakhir, pulau tempat penduduk bertani serta beternak lebah madu.
Turis menyusuri Sungai Mekong | Foto: Gede Maha Putra
Kami akan berkunjung ke pulau terakhir. Disinilah pemerintah mengembangkan ekowisata atau wisata alam dan budaya lokal.
Untuk mencapainya, dari pelabuhan kecil tadi kami naik perahu beratap bersuara menggeram-geram. Aroma asap dari mesin solar memenuhi udara saat nakhkoda mulai memacu perahunya memecah gelombang air Sungai Mekong yang berwarna kecoklatan.
Pulau yang kami datangi ini menghasilkan buah-buahan lokal dan madu. Ini dipandang sebagai komoditas eksotis yang keberadaannya harus dilestarikan. Keduanya menjadi suguhan pertama begitu kami menginjakkan kaki di pulau bertanah basah tersebut. Sekelompok ibu-ibu berpakaian tradisional menyilakan kami duduk dan mulai menghindangkan teh dicampur madu dengan perasaan jeruk nipis.
Saya menduga mereka adalah penduduk lokal. Rasa hidangannya segar dan manis. Para penyaji mulai bercerita soal bagaimana mereka memproses hidangan tersebut hingga sampai ke depan kami. Tidak lupa berbagai khasiatnya juga disampaikan
Berikutnya kami menuju tempat naik perahu guna menyusuri anakan Sungai Mekong yang kecil-kecil membelah pulau. Sembari menunggu, suguhan buah-buahan lokal kembali dihidangkan.
Naik perahu melintasi sungai kecil berwarna coklat berkelok-kelok di antara tanaman palem yang pendek merupakan atraksi utama. Imajinasi adalah ‚jualan‘ utamanya. Tentu tidak semua memiliki khayalan yang sama.
Saya sendiri berimajinasi sebagai pejuang Vietkong di serial televisi legendaris Tour of Duty yang tayang tahun 1990-an bergerak di antara rerimbunan menghindari serbuan pasukan lawan. Topi kerucut dari anyaman bambu mendukung imajinasi ini. Kawan lain yang tidak terpapar cerita film Tour of Duty mungkin punya imajinasi beda. Biarlah mereka membangun sendiri pengalaman imajiner di kepalanya.
Setiap perahu didayung dua orang dengan maksimal 4 penumpang. Saya naik bersama tiga orang kawan. Seorang ibu sigap mengendali dan mendayung di depan sementara seorang bapak mendayung di belakang. Sepanjang aliran sungai, kami berjumpa dengan turis-turis lain di puluhan perahu serupa dengan yang kami tumpangi. Sesekali tepian perahu saling beradu meski sudah berusaha dihindari oleh dua pendayung di masing-masing jukung. Ramai juga aliran anak sungai kecil berlumpur ini.
Si ibu bercerita setiap hari bolak balik mengantar pelancong sebanyak 8-10 kali. Sementara panjang sungai sekitar 2 kilometer. Sekali berangkat menempuh jarak 4 kilometer karena harus bolak balik. Artinya dalam sehari dia mendayung sejauh 32-40 kilometer. Bukan jarak yang pendek. Untunglah arus di anak-anak sungai ini tidak begitu deras.
Di ujung tour sungai, sebelum memasuki kapal untuk kembali ke pelabuhan awal, kami mendarat di sebuah tempat dimana oleh-oleh dijual. Ini strategi klasik. Setelah mengalami hal unik, tentu kita ingin berbagi dengan orang rumah. Salah satu alat berbagi adalah oleh-oleh. Berbagai macam manisan yang berasal dari buah-buahan lokal: jeruk, semangka, mangga, kelapa muda bahkan juga jahe ditawarkan dalam kemasan plastik menarik. Konon,sekali lagi, ini produk lokal.
Teh dicampur madu dengan perasaan jeruk nipis | Foto: Gede Maha Putra
Saya sempat berfikir, siapa yang mendapat keuntungan dari bisnis ini. Jika konsep ekowisata seperti awal tulisan ini berjalan baik, harusnya kesejahteraan sudah menjadi milik puluhan pasang pendayung ini.
Tetapi bagaimana jika ada ‘investor’ di balik bisnis ini?
Jika itu yang terjadi, maka tenaga, keahlian dan waktu ibu pendayung akan dipandang sebagai aset sementara upah yang mereka terima menjadi pengeluaran. Jika si pengusaha ingin meningkatkan margin, hal yang dilakukan adalah memaksimalkan kinerja aset dan menurunkan biaya pengeluaran. Akibatnya, mereka yang bekerja mengandalkan keahlian, waktu dan tenaga tidak akan pernah mendapatkan share yang ‘adil’ dalam bisnis yang sedang berkembang pesat di Asia Tenggara ini.
Dalam dunia bisnis, apapun bentuknya, keuntungan adalah tujuan utamanya. Investasi diarahkan untuk mencetak keuntungan, dalam ha ini keuntungan ekonomi, sebesar-besarnya. Dalam kasus ekowisata, fokus pada hal ini bisa meminggirkan tujuan utamanya yaitu untuk tujuan pelestarian, pendidikan dan keberlanjutan.
Hal lain yang juga mengintai model baru bisnis ini adalah komodifikasi atas kehidupan dan produk masyarakat. Ini dapat menjauhkan masyarakat lokal dari kehidupan nyatanya karena mereka melakukan konservasi atau pelestarian bukanlah untuk tujuan keberlanjutan tetapi keuntungan ekonomi.
Komodifikasi juga bisa menjadi alat seleksi dimana hanya hal-ahal yang laku kepada turis saja yang mendapat perhatian sementara kondisi alam, aktivitas keseharian serta mungkin juga kebudayaan yang berakar di masa lalu yang tidak diminati pengunjung terabaikan.
Komodifikasi juga bisa mengekslusi atau meminggirkan warga lokal. Produk yang dijual dibuat seolah-olah milik warga padahal didatangkan dari wilayah luar.
Kapal bermesin menuju Sungai Mekong | Foto: Gede Maha Putra
Penyeimbang antara sisi bisnis dan sisi keberlanjutan perlu dipikirkan masak-masak. Para perencana umumnya berfokus upaya untuk menghasilkan profit. Jika mereka berhasil membuktikan bahwa bisnis ini menguntungkan, maka investor akan datang. Investor disini bisa juga pihak pemerintah.
Dalam perencanaan pengembangan wisata berbasis pedesaan yang sedang marak sekarang ini di Bali, kemungkinan timbulnya kerugian jarang dibahas. Para penelitilah yang kemudian akan melihat sisi negatifnya.
Perencanaan ekowisata atau wisata desa, dengan demikian, perlu dilakukan hati-hati, tidak bisa grasa-grusu. Tujuan utama untuk menjaga kelestarian dan menjamin keberlanjutan tetap harus dijadikan prioritas. Sementara keterlibatan masyarakat lokal dilakukan sejak tahap perencanaan. Keterlibatan disini harusnya memberikan mereka control penuh, bukan sekedar tokenisme. Jika tidak, istilah ekowisata mungkin akan tetap menjadi jargon. [T]
BACA artikel tentang PARIWISATA atau artikel lain dari penulis GEDE MAHA PUTRA