BULAN Bahasa Bali Tahun 2024 sangat dekat sudah. Tahun 2024 Tahun Kabisat. Bulan Februari Tahun 2024 berakhir pada tanggal 29. Menjadi lebih istimewa, ada tambahan satu hari pada Bulan Bahasa Bali Tahun 2024 ini dibandingkan Bulan Bahasa Bali tiga tahun terakhir, selain juga ada hajatan nasional pada pertengahan berlangsungnya Bulan Bahasa Bali Tahun 2024 ini.
Bagi saya, Bulan Bahasa Bali dan hari Kamis adalah momentum jagra akan keberadaan bahasa Bali yang mesti saya jaga dan saya sikapi, sayangnya pada momentum istimewa tersebut tidak selalu saya berhasil tetap majagra ngemit berbahasa Bali. Kran multibahasa saya benar-benar belum otomatis. Kebocoran berbahasa kerap saya alami.
Meski tumbuh semangat menyongsong Bulan Bahasa Bali Tahun 2024, perhatian saya kepada bahasa Bali banyak terabaikan. Catatan kecil atas tiga di antara enam gejala penambahan dan penanggalan fonem pada kosakata bahasa Bali saya jadikan semacam penawar sikap abai saya itu. Tiga gejala bahasa yang saya maksud adalah aferesis, sinkope, dan paragog.
Sebagaimana bahasa Indonesia, bahasa Bali mengalami gejala bahasa seperti aferesis yaitu penghilangan atau penanggalan fonem pada awal kata. Ambil contoh kata biana (bukan, tidak). Mengalami aferesis, biana menjadi yana, ana, atau na. Pada beberapa tempat ada banak, nak, dan nek.
Dalam satu wilayah hampir tidak mungkin terjadi biana, yana, ana, atau na dituturkan semua. Seperti sudah mempunyai kesepakatan komunal memilih satu kata di antara kata yang mengalami aferesis, atau pilihan jatuh pada kata yang tidak mengalami aferesis.
Selain biana, kata yang mengalami aferesis dalam bahasa Bali seperti inggih (menjadi nggih), nénten (menjadi ten), sampun (menjadi ampun dan pun), sampunang (menjadi ampunang dan punang), suba (menjadi uba dan ba), dan tusing (menjadi using dan sing).
Aferesis dalam bahasa Bali menjadi penting untuk diperhatikan. Kosakata ragam degag tidak terpengaruh ketika mengalami aferesis. Mengalami atau tidak mengalami aferesis, kosakata suba atau tusing tetap bercokol pada ragam degag. Berbeda dengan kosakata inggih, nénten, sampun, dan sampunang.
Semakin banyak fonem dihilangkan atau ditanggalkan, semakin berkurang ke-natya-annya. Inggih, nénten, sampun, dan sampunang adalah kosakata ragam natya yang akan menjadi ragam amadyana (tanggung, di antara degag dan natya) ketika mengalami aferesis.
Selain kata yang mengalami aferesis, saya terbiasa dengan kata yang mengalami sinkope seperti bin mani, bin pidan, dan bin teka. Saya sangat terbiasa menuturkan dan menuliskan kosakata yang mengalami sinkope yaitu penghilangan atau penanggalan fonem pada tengah kata, yang tidak banyak itu. Justru saya benar-benar merasa tidak akrab dengan buin mani, buin pidan, dan buin teka. Saya merasa sénglad.
Akan tetapi, saya tidak terbiasa juga menuturkan dan menuliskan pon (dari paon). Kosakata pon (dari paon) saya dapatkan dari teman saya yang berasal dari wilayah Pagan (Denpasar). Bertemu selama tiga bulan, tidak banyak kosakata yang saya dapatkan dari teman saya itu.
Seperti sinkope, tidak banyak juga kosakata bahasa Bali yang mengalami paragog, yaitu penambahan fonem pada akhir kata. Saya terbiasa menerima pidan dan tundu sebagai kata dasar, akan tetapi pada beberapa tulisan saya temukan pida dan tundun diterima sebagai kata dasar. Saya tahu saya salah menerima pidan (pada ipidan dan buin pidan), akan tetapi saya merasa sénglad menuturkan dan menuliskan pida (menjadi ipida dan buin pida).
Saya menerima tundu sebagai kata dasar yang baku, akan tetapi kamus yang ada mencantumkan tundun adalah kata dasar yang baku, setidaknya tundu tidak tercatat pada kamus dan tundun tercatat pada kamus, saya tidak dapat berbuat. Saya menjadi maklum karena saya penutur dan penulis bahasa Bali yang mendapatkan transfer bahasa dari orang (yang sangat saya singgih-kan) yang tidak mengenal huruf Latin.
Sebagaimana aferesis, maka sinkope dan paragog dalam bahasa Bali adalah kesepakatan komunal juga, meski tidak banyak kosakata bahasa Bali yang saya ketahui mengalami sinkope dan paragog.
Tidak sebagaimana kata yang mengalami aferesis, sebagian mengalami penurunan nilai dan sebagian tidak mengalami penurunan nilai kata, kosakata yang mengalami sinkope dan paragog tidak menyebabkan penurunan nilai kata.
Menentukan pilihan kata yang dituturkan adalah satu di antara cara menampilkan identitas penutur kata. Si Sendi menuturkan biana, buin, atau tundu maka tanpa mesti dikatakan Si Tampul tahu tempat bermukim Si Sendi. Demikian juga jika Si Tampul memilih yana, bin, tundun, atau yang lain maka Si Sendi tahu tempat bermukim Si Tampul.
Apakah aferesis, sinkope, dan paragog dalam bahasa Bali adalah fenomena kesalahan berbahasa? Jika itu adalah kesalahan berbahasa maka aferesis, sinkope, dan paragog adalah fenomena kesalahan berbahasa yang bersifat komunal, disepakati bersama oleh penutur bahasa Bali yang masih bertahan pada kenyataan berbahasa Bali.[T]