SETENGAH jam sebelum pementasan dimulai, peserta Tari Joged Bumbung tampak hilir mudik di halaman lapangan upacara Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, Bali. Dengan riasan yang khas, kebaya berwarna putih, dan gelung di kepala berwarna kuning keemasan, mereka terlihat antusias untuk unjuk kebolehan di hadapan Rektor Undiksha beserta jajaran dan perwakilan dari Museum Rekor Indonesia (MURI).
Sembari menunggu giliran untuk tampil, peserta Joged Bumbung berpencar di sekitaran lapangan upacara dan berkumpul sesuai nomor urut masing-masing. Sesekali mereka terlihat mengibas-ngibaskan kipasnya guna mendinginkan suhu badannya, jika tidak menjaga riasannya tetap utuh. Sebab, cuaca sore itu memang sedikit panas.
Di sisi lain, tepatnya di tengah-tengah lapangan upacara, ratusan mahasiswa tampak berparade dengan menggunakan atribut serta bendera fakultas kebanggaan masing-masing. Suasana menjadi semakin meriah dengan adanya teriakan slogan-slogan dari mahasiswa yang berpartisipasi dalam kegiatan sore itu.
Para penari Joged Bumbung sebelum pementasan / Foto: Jaswanto
Ya, sore itu, di lapangan upacara Undiksha, sedang berlangsung pembukaan Dies Natalis Undiksha ke-31. Dengan mengusung tema “Harmony in Action, Leading With Passion”, Undiksha berusaha menampilkan sesuatu hal yang berbeda dari dies natalis tahun-tahun sebelumnya. Kali ini, Undiksha menghadirkan 1.131 penari Joged Bumbung untuk memeriahkan acara pembukaan dies dan untuk memecahkan rekor Muri dengan kategori penari terbanyak.
Salah satu peserta Tari Joged Bumbung, Jegeg Ravindra, mahasiswa Prodi Bahasa Inggris Undiksha, menyampaikan bahwa gelaran ini sudah dipersiapkan sejak dua bulan yang lalu dengan intensitas latihan yang tidak terlalu banyak.
“Persiapannya itu selama 2 bulan, tapi intensif latihannya itu dari akhir Desember. Dan latihannya nggak lama,” katanya, kepada tatkala.co saat ditemui di Fakultas Kedokteran Undiksha sebelum pementasan, Rabu (10/01/23) sore.
Sebagai mahasiswi semester satu, Jegeg menyampaikan bahwa selama latihan, ia tidak mengalami kendala yang berarti karena memang memiliki basic tari sebelumnya. “Sebelumnya saya sudah punya basic tari. Dan tariannya [Joged] nggak terlalu ribet, jadinya aku nggak terlalu mengalami kesulitan, paling hanya mengalami kesulitan di beberapa gerakan saja,” jelasnya
Jegeg—sebagaimana ia akrab dipanggil—mengatakan tidak ada seleksi untuk menjadi peserta Tari Joged Bumbung yang dipentaskan sore itu. Siapa saja bisa berpartisipasi dalam pagelaran tari tersebut. “Ini adalah bentuk partisipasi kami, mahasiswi seluruh fakultas di Undiksha. Kami dilatih oleh kakak tingkat,” ujarnya.
Sesaat setelah memberi jeda, ia menambahkan, “Ini kan pengelaman pertama kali, jadi sangat excited, apalagi ditambah ada rekor murinya.”
Berbeda dengan Jegeg, Aliya Samiati, mahasiswi Prodi Ilmu Komputer Undiksha, mengaku tertarik mengikuti Tari Joged Bumbung tersebut karena rasa senangnya melihat tari Bali sehingga berkeinginan untuk mengikuti pagelaran tersebut.
“Saya kan asli Singaraja, jadinya sudah terbiasa melihat tari-tari Bali. Dan setiap melihat orang menari, saya merasa senang dan seru, kayak benar-benar wah begitu,” ujarnya.
Aliya mengaku bahwa ia mengalami kendala selama proses latihan Tari Joged. Katanya, tubuhnya terasa sangat kaku saat menarikan Tari Joged . Hal tersebut ia rasakan karena belum memiliki pengalaman menarikan tarian tradisional.
“Karena sebelumnya saya tidak mempunyai pengalaman menari Joged. Jadi badan saya masih terasa kaku dan belum bisa gemulai,” katanya. Sesaat setelah memberi jeda, ia menambahkan, “Tapi waktu masih sekolah saya sering tampil menari, tari Nusantara. Dan untuk Tari Joged baru pertama kali ini.”
Namun, meskipun ini merupakan pengalaman pertamanya dalam menarikan tari tradisonal, Aliya mengaku optimis bahwa gelaran Tari Joged Bumbung kali ini akan memecahkan rekor Muri. “Melihat antusias dan banyaknya partisipasi mahasiswa Undiksha, saya yakin Joged ini akan memecahkan rekor Muri,” tegasanya, dengan penuh keyakinan.
Selain Jegeg dan Aliya, mahasiswi bernama Anita Manatem, mahasiswi dari Papua Selatan itu, juga mengutarakan alasannya menjadi peserta Joged Bumbung. Ia menjelaskan bahwa keinginannya mengikuti pagelaran Tari Joged Bumbung tersebut karena rasa keingintahuannya terhadap tari-tari tradisional Bali.
Suasana peserta Tari Joged Bumbung mulai menari / Foto: Jaswanto
“Sebelumnya saya sudah memiliki pengalaman tari, tapi itu tari dari Papua. Tapi saya juga pingin tahu bagaimana cara menari dari tarian adat Bali, makanya saya ikut tari Joged ini,” jelasnya.
Dengan latar belakang budaya yang berbeda, Anita merasa kesulitan untuk menangkap gerakan Tari Joged Bumbung. Namun, karena rasa keingintahuannya yang besar, itu mendorongnya untuk tetap mengikuti setiap latihannya.
“Di hari pertama latihan saya sempat ragu. Karena saya sama sekali tidak mengetahui Tari Joged itu seperti apa. Tapi, di pertemuan kedua, saya sudah mulai bisa menyesuikan diri,” katanya, menjelaskan.
Untuk dapat tampil sore itu, Anita mengaku sampai harus meminjam baju adat Bali dari ibu kosnya. “Baju ini saya meminjam di ibu kos, dan untuk mahkotanya dibagikan oleh panitia,” jelasnya
Sampai di sini, baik Jegeg, Aliya, maupun Anita—yang notabene merupakan mahasiswi aktif dari Universitas Pendidikan Ganesha—keikutsertaan mereka dalam pagelaran Tari Joged Bumbung kali ini, merupakan sebuah upaya untuk mengenalkan dan mengembalikan esensi Tari Joged Bumbung yang sebenarnya.
Upaya Mengembalikan Marwah Joged Bumbung
Joged Bumbung merupakan suatu tarian tradisional Bali yang tergolong sebagai tari pergaulan. Tarian ini melibatkan penari perempuan sebagai penari utamanya dan diikuti oleh penari laki-laki—yang biasa disebut pengibing.
Tari Joged Bumbung pada awalnya ditarikan oleh petani di sela-sela waktu luang pada saat mengolah lahan sawah. Namun, seiring perkembangan zaman, Tari Joged menjadi tarian erotis dan sempat mendapat julukan sebagi tarian vulgar—untuk tidak mengatakan ngebor.
Kemunculan Tari Joged Bumbung versi “baru” itu menimbulkan rasa keprihatinan di masyarakat Bali pada umumnya. Sehingga, upaya-upaya untuk mengembalikan citra baik tari Joged Bumbung tersebut mulai digaungkan sejak tarian tersebut dikonotasikan lebih dekat dengan nilai-nilai negatif.
Salah satu upaya untuk mengembalikan marwah Joged Bumbung, adalah apa yang dilakukan oleh Undiksha sore itu. Dalam memeriahkan Dies Natalis ke-31, universitas negeri yang berdiri sejak 2006 itu, menggelar Tari Joged Bumbung yang melibatkan 1.311 mahasiswinya untuk menarikan Joged Bumbung dengan pakem aslinya.
Sebagaimana penjelasan Rektor Undiksha, Prof. Dr. I Wayan Lasmawan, M.Pd., bahwa tujuan utama pagelaran tersebut adalah menyelamatkan Tari Joged dari stigma negatif. Sebagai insntansi pendidikan tinggi, katanya, Undiksha harus ikut andil dalam penyelamatan kebudayaan.
“Kami tentu harus berbuat sesuatu bagi kemaslahatan masyarakat, sehingga kami merasa harus mengambil peran ini,” ujarnya, kepada tatkala.co sesaat setelah menerima penghargan rekor muri, Rabu (10/01/23).
Prof. Lasmawan menekankan bahwa penyelamatan Tari Joged Bumbung memang harus segera dilakukan, sebab stigma-stigma negatif tentang Tari Joged sudah semakin dianggap biasa dan diterima di masyarakat.
“Selama ini, kami melihat ada anggapan yang kurang pas di masyarakat tentang Tari Joged. Sehingga, penyelamatan dan pengembalian Tari Joget sebagai tari persahabatan, sebagaimana marwahnya, harus segara dilakukan. Ini untuk membangun keselarasan hidup,” jelasnya.
Suasana peserta Tari Joged Bumbung mulai menari / Foto: Jaswanto
Menurutnya, tercetusnya ide penyelamatan Tari Joged tersebut berawal dari rembug kecilnya dengan mantan rektor Undiksha sebelumnya. Dengan pertanyaan “apa yang bisa dilakukan oleh Undiksha dihari ulang tahunnya kali ini”, maka tercetusla ide dan gagasan untuk mengambil peran dalam mengembalikan marwah Joged Bumbung.
Setelah melakukan kajian dan koordinasi dengan pihak-pihak terkait, akhirnya persiapan pagelaran Tari Joged tersebut bisa dikerjakan dengan waktu pelatihan selama dua setengah bulan.
“Kami sangat berterima kasih kepada mahasiswa-mahasiswi kami yang cerdas. Mereka sangat mudah dan sangat cepat dalam menangkap berbagai pakem Tari Joged yang sebenarnya. Dengan begitu, kesan Tari Joged yang sedikit miring itu sudah terputus,” imbuhnya.
Namun, ketika ditanya mengenai alasan jumlah peserta, Prof Lasmawan menjawab dengan santai, “31 itu merupakan penanda bahwa undiksha sekarang ulang tahun ke-31, sedangkan untuk angka 11, itu rahasia,” pungkasnya sembari tertawa.
Selain dihadiri oleh rektor beserta civitas akademika Undiksha, kegiatan Dies Natalis Undiksha kali ini juga dihadiri oleh Osmar Semesta Susilo sebagai perwakilan dari Museum Rekor Indonesia (Muri).
Dalam kesempatan tersebut ia menjelaskan bahwa pagelaran Tari Joged Bumbung tersebut tidak layak mendapat penghargan rekor Muri Indonesia, karena layak mendapat rekor dunia, katanya.
“Setelah melalui berbagai pertimbangan, kami tidak bisa memberikan penghargaan rekor muri kepada Tari Joged ini. Tapi kami mencatatnya sebagai rekor dunia,” jelasnya, yang disambut tepuk tangan oleh hadirin yang hadir pada sore itu.
Menurutnya, pagelaran Tari Joged Bumbung kali ini pantas dicatat sebagai rekor dunia. Sebab, tidak ada di belahan dunia mana pun yang mampu menghadirkan penari dalam satu panggung dengan jumlah yang banyak seperti yang dilakukan oleh Undiksha.
“Tari Joged Harmoni memiliki kriteria menjadi rekor dunia sebab mempunyai keunikan yang khas dari Indonesia. Seperti juga rendang, Tari Pendet, Tari Saman, dan lain-lain. Sehingga, kami bisa mengklaim bahwa Tari Joged Harmoni Undiksha ini layak mendapat penghargaan rekor dunia,” pungkasnya.[T]
Reporter: Yudi Setiawan
Penulis: Yudi Setiawan
Editor: Jaswanto