Judul buku: Perkara-perkara Nyaris Puitis
Penulis: Hilmi Faiq
Penerbit: gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Juli, 2023
NGELEM dan lem aibon, dua hal yang sangat identik. Perilaku menghisap lem dijadikan sebagai suatu trend di dalam lingkungan, khususnya anak-anak jalanan. Kondisi ini seperti sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian besar lingkungan remaja, terutama remaja yang pola pikirnya belum stabil. Mereka merasa tertantang, coba-coba, dan ujungnya ketergantungan. Hal ini kemudian menyebabkan ketagihan dan melakukan kembali perilaku (relapse) ngelem.
Lem aibon termasuk zat yang berbahaya dan sangat adiktif. Lem aibon dipilih sebagai pengganti obat atau media suntik, karena lebih mudah didapat dan lebih hemat biaya. Melalui karakter Bana di dalam puisi berjudul “Di Bawah Lindungan Tuhan” Hilmi Faiq setidaknya menggunakan zat adiktif itu dalam bangunan metaforanya :
…..
Dia tergeletak di bangku taman
plastik berisi lem aibon di tangan kanan.
Tidurnya tenang, setenang kuburan.
…..
(2019)
Lalu apa relevansinya Hilmi Faiq memvisualisasikan kaleng lem aibon di dalam cover buku sajaknya? Benarkah ini kacamatanya sebagai seorang wartawan dan penyair yang menyoroti fenomena yang tumbuh di masyarakat? Ini menjadi pertanyaan-pertanyaan yang cukup menarik.
Penyair lebih sering atau bahkan selalu memerankan diri sebagai pemberi tanda. Melalui gambar kaleng lem aibon yang terbuka-menguap dan di dalamnya berserakan barang-barang yang (seperti) sedang dalam pusaran banjir, Hilmi sedang melepaskan tanda-tanda yang ia susun agar ditangkap oleh pembaca. Sebut saja gambar-gambar seperti : sebatang pohon, ban mobil, payung, boneka, sandal jepit, jerigen, gadget, dan lainnya seolah “nyampah” di dalam lem aibon.
Senada dengan yang disampaikan Saras Dewi, sastrawan dan pengajar filsafat di Universitas Indonesia. Di dalam catatan penutupnya, ia menyebutkan antologi sajak Perkara-perkara Nyaris Puitis ini membuatnya terpekur. Sejauh mana kita telah membaca tanda-tanda dalam hidup ini. Tanda memang perlu kepekaan kita. Ia tidak selalu gamblang. Membaca tanda membutuhkan ketenangan dan kesabaran untuk memahaminya.
Sajak-sajak Hilmi adalah pembelaan terhadap yang mungil, yang terbengkalai sehari-harinya. Sajak-sajaknya adalah irisan-irisan tentang Kota Jakarta dan orang-orangnya. Cara mereka bertahan hidup, perjuangan mereka, cinta mereka yang tumbuh seperti rumput liar di tengah impitan beton.
Tidak cukup hanya menggunakan visualisasi gambar saja, Hilmi juga menggunakan bahasa secara sadar untuk bermain-main dengan aspek bunyi, kalimat, dan makna. Perkara-perkara Nyaris Puitis, adalah sebuah judul yang sangat berhasil menjadi satu keutuhan kesepakatan makna yang sedang ia tawarkan melengkapi ilustrasi kaleng lem aibon.
Apakah pembaca harus membuat kesepakatan dengan penawarannya? Inilah asyiknya sajak. Sajak itu kebebasan. Penyair bebas menentukan aturan mainnya. Bagaimana penyair menawarkan kesepakatan itulah, justru ia sedang menentukan nilai-nilai maknanya. Dan pembaca tentu boleh menolak tawaran kesepakatan itu.
Di mana benang merah gambar kaleng lem aibon dengan judul buku Perkara-perkara Nyaris Puitis? Setidaknya kita perlu definisikan masing-masing, “Perkara-perkara”, “Nyaris”, dan “Puitis”.
“Perkara-perkara” adalah sejumlah masalah atau persoalan. “Nyaris” adalah hampir saja terjadi (terutama tentang sesuatu yang membahayakan). “Puitis” adalah bersifat puisi, seperti kata-kata yang digunakan dipilih dan disusun dengan cermat, terdengar indah, diucapkan dengan tekanan suara tertentu sehingga menimbulkan emosi.
Jadi arti rangkaian dalam judul tersebut adalah sejumlah persoalan-persoalan yang hampir atau telah terjadi dengan penanganan atau penyelesaian yang terdengar indah (tapi) menimbulkan emosi. Sepertinya ini mendekati kait-kelindan analogi visualisasi gambar dan judul buku antologi Hilmi.
Citraan kompleksitas “perkara-perkara” terlihat di dalam barang-barang berserakan di dalam kaleng lem aibon. Ban – bisa jadi ini adalah representasi lonjakan jumlah kendaraan bermotor, kemacetan, dan polusi. Jerigen – bahan bakar yang langka dan harganya melambung. Pohon tumbang – tidak adanya ruang hijau kota, berganti hutan beton, dan tidak ada resapan air-banjir. Payung terbalik – tidak ada payung hukum dan keadilan yang tergadaikan. Boneka – tidak adanya perlindungan anak dan kekerasan terhadap anak. Sandal jepit – rakyat kecil, terpinggirkan, tergusur, dan hunian kumuh.
Mungkin itu baru beberapa permasalahan saja yang dihadapi dalam tata kelola urban. Lantas di mana letak ke-“nyaris”-annya? Bisa saja Hilmi meminjam kata “nyaris” sebagai satir bahwa perkara-perkara itu (mungkin) “hampir” ditangani atau bahkan (bisa jadi) “diabaikan”.
Lihat saja satir di salah satu baris terakhir sajak berjudul “Di Bawah Lindungan Tuhan” berikut ini :
…..
membuat Bana lupa pada kelaparan
saat negara tidur-tiduran
…..
(2019)
Hilmi mengisyaratkan bahwa penguasa tidak hadir dalam “perkara-perkara” yang “nyaris” tersebut. Penanganan-penanganannya kerap kali hanya citraan saja – kata-kata manis, obral janji-bual dan nirhasil. “Puitis” bukan? Tidak ada keberpihakan pada keadilan dan kebenaran. Menyakitkan!
*****
Mari kita menjelajah sajak-sajak Hilmi di buku “Perkara-perkara Nyaris Puitis”. Buku ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Pertama : Juli 2023. Kurang lebih terdiri dari 125 sajak dan terbagi dalam dua (semacam) bab, yaitu : Tuhan Tak Mati dan Yang Dekat Dekat. Buku dengan warna biru muda – meneduhkan, kontras dengan warna visualisasi gambarnya, dan pilihan jenis serta warna font memberi penegasan tersendiri atas pesan yang akan disampaikan.
Menurut Budi Darma di salah satu esainya yang berjudul “Sastra : Sebuah Catatan”, sastra sebenarnya pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa. Sejurus dengan pengertian itu, Hilmi mengungkapkan sebuah permasalahan sosial yang cukup pelik. Kemiskinan, perilaku menyimpang, dan ketidakhadiran negara atas permasalahan tersebut. (Justru) Tuhan tidak terlewatkan – hadir dalam filsafat spiritual.
Di dalam sajak di bawah ini, setidaknya Hilmi telah menafsirkan kegelisahannya melalui personifikasi tokoh utamanya. Bana, seorang (remaja) yang membebaskan kepahit-getiran hidupnya dengan menghirup lem aibon. Lem ini serupa hidangan lengkap pembunuh lapar – “empat sehat lima sempurna”. Ya slogan negara untuk mengkampanyekan hidup sehat rakyatnya. Puitis-ironis bukan?
Bana – representasi rakyat, sedang tertidur dengan tenang, tidurnya setenang kuburan. Kalimat pendukung ini terlihat melebih-lebihkan, tapi faktanya memang demikian efek (relapse) ngelem. Jika rakyat menggunakan lem aibon untuk mempercepat kantuk-menghilangkan rasa lapar. Mungkin tidak demikian bagi wakil rakyat – dewan yang terhormat, wakil Bana juga. Permainan Candy Crush dipilihnya, alih-alih (tidak) hanya untuk menghilangkan rasa kantuk, tetapi untuk menghasilkan cuan tambahan selain tunjangan sebagai anggota dewan. Yang besarannya berkali-lipat gaji pokoknya.
Permainan sajak Hilmi sangat tajam, menuliskan “saat negara tidur-tiduran” untuk jutaan Bana (rakyat) yang dipaksa “tidur beneran”. Penyimpangan ngelem-nya dicap wakil rakyatnya sendiri sebagai masalah sosial. Fakta lainnya, memang wakil rakyat itu sedang “tidur-tiduran” – tidak tidur beneran. Tidur-tidur ayam di kursi saat sidang, main game online – tepatnya judi online, melihat pornografi-sesaat sebelum membuat pasal untuk undang-undang pornografi, dan aktivitas “tidur-tiduran” yang lain. Mari kita simak sajaknya berikut ini :
DI BAWAH LINDUNGAN TUHAN
Rambut Bana ikal
sedikit cokelat di ujungnya,
mirip untaian kawat karatan.
Entah berapa hari dia tidak mandi, tidak makan, kulitnya kusam.
Lalat-lalat senang hinggap dan terbang
pada betisnya yang seperti permukaan bulan.
Dia tergeletak di bangku taman
plastik berisi lem aibon di tangan kanan.
Tidurnya tenang, setenang kuburan.
Tiba-tiba hujan,
Begitulah cara Tuhan
membuat Bana lupa pada kelaparan
saat negara tidur-tiduran.
(2019)
Di sajak berikutnya yang berjudul “Pintu”, Hilmi sedang berbahasa, berkata-kata atau (mungkin) sedang menuliskan buku harian. Ini adalah proses kognitif, yaitu memperoleh pengetahuan di dalam kehidupan yang diperoleh melalui pengalaman. Melibatkan Indera, kesadaran, dan perasaan.
Di dalam sajak ini, Hilmi menggunakan banyak pengulangan “Aku” dan “Mu”. Setidaknya ada empat “Aku” – satu “ku” yang juga mewakili “Aku” dan ada tiga “Mu”. Ini menunjukkan sebuah keintiman interaksi-komunikasi dua arah antara “Aku” dan “Mu”. Ya setidaknya seperti sedang menulis buku harian yang penuh kesadaran dan menuliskannya dengan perasaan. Keluaran dari curhatan tersebut disebut kognisi.
Hilmi sedang mengajak kita menemukan “Mu” yang terus saja dia ulang di dalam sajaknya. “Aku”-nya berusaha dengan sekuat tenaga, dengan segala daya upaya, dan dengan berteriak juga. Kegaduhan spiritualnya muncul ketika “Aku”-nya tidak (segera) menemukan “Mu”-nya.
Setelah keintiman yang intens akhirnya “Aku” menyadari bahwa “Mu”-nya lebih dekat dari urat leher “Aku” sendiri. Tentu saja ini bukan berarti otomatis menunjukkan posisi dan letak. Akan tetapi menunjukkan dekat maknawi, yaitu “kedekatan”. Kebahagiaan “Aku” setelah menemukan “Mu” dituliskan dalam tiga baris terakhir sajaknya :
…..
Belakangan baru kusadari
pintu-Mu cukup aku geser
ke kanan atau ke kiri.
…..
(2021)
Selain pengulangan “Aku” dan “Mu”, di sajak ini juga ditemukan pengulangan-pengulangan lain yang lebih bersifat penegasan, kesungguhan, dan merujuk pada kumpulan orang. Lihat saja pengulangan “dorong-dorong”, “tarik-tarik”, dan “hamba-hamba”. Ketiganya memberikan permainan kata dan pemaknaan penegasan-kesungguhan “Aku” dalam menemukan “Mu”.
Puisi dengan demikian juga merupakan sebuah kognisi yang menawarkan untuk diproses kembali oleh pembaca. Menghasilkan kognisi lain yang mungkin sama atau berbeda-beda. Pembaca sajak akan mengalami sebuah peristiwa sajak setelah membaca sajak itu. Dengan mengalami sajak, pembaca mendapatkan pengetahuan, mendapat kognisi yang berupa makna sajak yang sesuai untuknya. Mari kita simak sajak lengkapnya berikut ini :
PINTU
Aku membuka pintu-Mu.
Aku dorong-dorong sekuat usaha.
Aku tarik-tarik dengan segala upaya.
Tiada terbuka jua.
Aku berteriak memanggil-Mu
hingga terkadang lupa
dengan hamba-hamba.
Belakangan baru kusadari
pintu-Mu cukup aku geser
ke kanan atau ke kiri.
(2021)
Menurut Subagio Sastrowardoyo dalam Simphoni – Pustaka Jaya, Jakarta, Jakarta, 1971, hal.45, puisi adalah filsafat, sedangkan roman, cerita pendek, atau drama adalah ilmu jiwa. Melalui sajak berikutnya yang berjudul “Hujan Puisi di Kotaku”, Hilmi sedang berfilsafat melalui simbol-simbol keyakinan dalam kesetaraan-berdampingan.
Ia dengan leluasa mendampingkan keteduhan “Istiqlal” dengan dentang lonceng “Katedral” untuk menjawab “gemuruh” keyakinan di dadanya. Rupanya Hilmi merasakan getaran-getaran dalam keteduhan sesungguhnya. Hati, jiwa, dan pikirannya berteduh di bawah naungan keyakinan hakiki. Baris keempat sajaknya – “aku berteduh di pojok Istiqlal” dipilih untuk mewakili penggambaran keyakinannya.
Keyakinan itu bertumbuh, serupa rerumputan yang juga tumbuh dengan intensitas hujan dari langit. Demikian halnya keyakinan, menurut Hilmi akan bertumbuh dengan intensitas “hujan kata-kata” yang berasal dari “mimbar”. “Hujan kata-kata” mewakili derasnya ujaran, ajakan, dan anjuran. Sedangkan “mimbar” berasosiasi pada sesuatu yang khusus dan mempunyai kedudukan lebih tinggi. Kitab atau ulama bisa menjadi terjemahan atas “mimbar” yang dimaksudkan.
Rupanya Hilmi sedang mengungkapkan makna kesadaran, berupa ruang-renung toleransi keberagaman keyakinan. “diselingi bunyi lonceng dari Katedral”, baris terakhir bait pertama ini mempertegas bahwa keyakinan itu “diselingi” – mempunyai irisan-irisan lain. Irisan kemanusiaan, budaya, dan sosial yang (patut diperjuangkan) berdampingan.
Dan dua baris pada bait terakhir adalah penutup yang menjawab pertanyaan-pertanyaan esensial tentang manusia dan toleransi keyakinan. “Segala gemuruh” – pertentangan atau keraguan yang (seringkali) terhijab “di dada” akan hilang. Ini hanya bisa terjadi jika “seiring kata amin Jemaah” – seiring manusia secara berjamaah mempunyai pemahaman dan pemaknaan keberagaman keyakinan yang memanusiakan manusia. Mari kita simak sajak berikut :
HUJAN PUISI DI KOTAKU
Di tengah hari,
tak ada mendung atau angin.
Tiba-tiba udara sejuk menggiring gigil.
Aku berteduh di pojok Istiqlal
menikmati hujan kata-kata dari mimbar
diselingi bunyi lonceng dari Katedral.
Segala gemuruh di dada
perlahan sirna seiring kata amin Jemaah.
(2022)
Sajak bukan (hanya) rekaman utuh suatu peristiwa. Peristiwa itulah yang diolah penyair dengan pendekatan puitika untuk mencapai tingkat kepadatan tertentu. Dipangkas, disederhanakan, dan disisakan bagian-bagian yang (dianggap) penting saja. Tetapi bagian yang tersisa ini masih harus tetap membawa keutuhan rekonstruksi peristiwanya.
Di sajak “Fragmen Kota”, Hilmi memotret kehidupan sosial urban dengan metafora yang kreatif-imajinatif . Sesuai judulnya, tentu saja ini hanya sebuah fragmen-cuplikan atau bagian peristiwa, bukan peristiwa utuh yang direkam. Berikut adalah sajaknya :
FRAGMEN KOTA
Di tengah malam yang sepi dan dingin
serombongan tikus berlarian dari gerobak sampah
setelah sesosok tubuh menghantam gang
menggaungkan suara dentam.
Setelah sekian saat, malam kembali sepi
seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Tubuh itu tetap di sana sampai fajar tiba.
Di seberang sungai sekitar dua blok dari gang itu,
seorang bocah berambut ikal menunggu ibunya
sambil celingukan mencari sebelah kaus kaki yang entah di mana.
Dia harus menemukannya sebelum ibunya pulang dan marah-marah
karena kembali terlambat sekolah.
Sampai tengah hari,
anak itu tak ketemu kaus kakinya
tak ketemu ibunya.
(2022)
Pada bait pertama di atas, melalui “tengah malam”, “serombongan tikus berlarian”, dan “gerobak sampah” Hilmi mendeskripsikan sisi lain kehidupan kota. Citraan area kumuh, miskin dan luput dari perhatian. Hal yang jamak terjadi dan (mungkin) juga berada di sekitar masyarakat urban lainnya. Melalui “…sesosok tubuh menghantam gang”, ia memunculkan sesosok yang tidak berdaya, berusaha bertahan melawan kerasnya kehidupan, dan (bahkan) mungkin mati dalam ketidakberdayaan yang memiskinkannya.
Tidak ada kepedulian sosial, meskipun potret kehidupannya yang telah “mati” pun “menggaungkan suara dentam” – terdengar dan terlihat nyata di tengah-tengah masyarakat. Kegetiran dan keterpinggiran sudah menjadi karibnya sendiri dari “malam kembali sepi” sampai “di sana sampai fajar tiba” – memang sudah biasa. Tidak pernah terjadi apa-apa. Siapa peduli? Tidak ada.
Di bait ketiga, Hilmi kembali menarasikan sebuah fragmen yang berkait-kelindan dengan ironi sebelumnya. Melalui “seorang bocah”, ia memotret kecemasan, ketakutan dan kehilangan. Bocah yang sedang “menunggu ibunya” – menunggu sebuah harapan, sumber kehidupan – tempat ia bergantung.
Dan fragmen kota itu ditutup dengan sebuah satir yang cukup berhasil. Bocah itu tidak menemukan “kaus kakinya” dan “ibunya”. Tidak ditemukan sebuah harapan, tidak ditemukan sumber kehidupan, dan tidak ditemukan tempat untuk bergantung. Harapan, sumber kehidupan, dan tempat bergantung itu telah mati. Orang-orang disekitar hatinya (telah) mati, tidak peduli, dan negara pun (telah) pura-pura mati. Jadi fragmen kota adalah visualisasi kematian kemanusiaam yang sesungguhnya.
Demikian sajak-sajak Hilmi memotret keadaan di sekitarnya dan zamannya untuk dijadikan bahan mentah perenungan. Dengan kejeliannya, bahan-bahan mentah itu diolah menjadi sajak-sajak yang tidak terikat (lagi) pada tempat dan zaman bahan mentah sebelumnya. Ini yang menjadikan sajaknya menjadi sajak yang baik.
Sajak yang baik, dengan kuat bisa menjadi stimulus berpikir meskipun pembacanya tidak tahu dan (bahkan) tidak pernah menyimpulkan apapun. Sajak yang baik membuat pembacanya tersenyum, tertawa, atau larut dalam kesedihan. Sajak yang baik juga dengan kuat merasakan perasaan yang tak terdefinisikan apa namanya dan bagaimana bentuknya. [T]