“MERANTAU” menjadi kata yang dipilih sebagai tema utama pada pertunjukan malam itu. Namun, kata yang berkonotasi pergi jauh dari rumah tersebut justru membawa salah satu bentuk kesenian untuk pulang ke kampung halamannya, Yogyakarta.
Disebutkan dalam berbagai sumber bahwa kota yang dijuluki kota pelajar tersebut merupakan tempat lahirnya sebuah bentuk seni yang menggabungkan musik dan puisi. Orang-orang akrab menyebutnya dengan ‘musikalisasi puisi’.
Dibidani oleh para pegiat sastra di Yogyakarta tahun 1970-an, musikalisasi puisi lahir dengan sebutan poetry singing. Pergelaran musikalisasi puisi pun kerap diselenggarakan pada acara-acara sastra.
Pada tahun 2013-2019 perhelatan musikalisasi puisi giat diadakan oleh komunitas maupun lembaga kesenian, sebut saja “Pergelaran Musikalisasi Sastra” yang diadakan Taman Budaya Yogyakarta ataupun “Gelaran Musik Puisi: Duduk Bersama” yang diadakan komunitas Ngopinyastro. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, perhelatan serupa jarang terdengar gaungnya.
Tapssu (Tak Perlu Sedu Sedan itu) yang diadakan oleh media alternatif Hiruk Pikuk berkolaborasi dengan komunitas sastra Jejak Imaji seolah menjadi perhelatan yang mengembalikan spirit kerja kolaborasi musik dan sastra, sekaligus menghadirkan kembali acara pertunjukan khusus musikalisasi puisi di Yogyakarta.
Setelah sukses melangsungkan edisi pertamanya pada 26 Juli 2023 di Cerita Makna Coffee & Space, Tapssu kembali digelar. Edisi kedua yang diadakan pada 17 Desember 2023 kali ini berusaha merengkuh audiens di bagian utara kota Yogyakarta dengan memilih venue di Dua Arah Coffee.
Sebagai bentuk penghormatan pada seorang penyair, penyelenggara Tapssu #2 mengkurasi puisi-puisi karya Indrian Koto untuk dialihwahanakan. Lima puisi yang diambil dari antologi puisi “Pleidoi Malin Kundang” diberikan pada lima penampil untuk dipertunjukkan dalam bentuk lain.
Merujuk pada identifikasi bentuk musikalisasi puisi oleh Hamdy Salad dalam buku Panduan Wacana & Apresiasi Musikalisasi Puisi, puisi yang ditampilkan pada Tapssu #2 dibawakan dalam bentuk instrumentalisasi puisi (puisi dibaca sambil diiringi musik), laguisasi puisi (puisi diberi nada menjadi melodi layaknya sebuah lagu), dan kombinasi dari keduanya.
Roji Luji membuka acara dengan hangat | Foto: Tim Dokumentasi Tapssu
Penampil pertama, yakni Roji Luji membawakan puisi berjudul “Ke Langgai, Ke Asal Leluhur”. Regina Gandes Mutiary sebagai vokalis melantunkan nyanyian lembut sambil memetikkan gitar, diiringi efek suara dari perangkat elektronik yang dioperasikan oleh partner-nya, Azaro Verdo Nuary. Musik bertempo lambat tersebut menjadi sajian pembuka yang hangat untuk menyapa para penonton agar berkenan menetap hingga akhir acara.
Puisi “Yogya: Kelahiran Kedua bagian I” diinstrumentalisasikan dan dilagukan oleh penampil kedua, Notula. Pembagian suara vokalis laki-laki dan perempuan menyaru dalam harmonisasi yang manis dan selaras.
Mereka menggunakan instrumen gitar, keyboard, serta piano sebagai pengiring. Lantunan puisi yang dikemas menjadi musik indah oleh Notula menelisik masuk secara sopan ke telinga para hadirin yang mendengarkan.
Penampilan Noire dengan musik metal | Foto: Tim Dokumentasi Tapssu
Seolah membangunkan audiens yang terbuai dengan alunan musik sendu nan merdu, penampil selanjutnya hadir menggertak panggung. Noire, kelompok musik yang melabeli diri dengan genre post-rock, emo, dan skramz tersebut menginstrumentalisasikan puisi “Kota Luka” dengan dibacakan dan diringi musik metal.
Sesuatu yang unik dari penampilan Noire adalah penggunaan teknik scream oleh sang vokalis dalam membacakan puisi. Penampilan ini memberikan dinamika suasana yang kontras dari penampil-penampil sebelumnya. Nuansa hangat yang dirasakan para penonton bergeser menjadi perasaan menggebu yang berapi-api.
Serupa ombak di lautan usai terhantam badai, penonton kembali dibawa pada suasana tenang namun menghanyutkan. Kelompok musik Skena Futura membawakan beberapa buah karyanya serta puisi “Hujan buat Ibu” dengan warna musik groovy pop/chill pop.
Sesuai dengan genrenya, puisi dilagukan dalam jalinan musik groove bertempo lambat. Skena Futura berhasil mengemas sebuah lagu yang ditujukan pada sosok ibu secara sentimental. Sederhana, namun mengena.
Skena Futura dengan musik groovy pop/chill pop| Foto: Tim Dokumentasi Tapssu
Penampil penutup pada malam itu lagi-lagi membawa ambiens pertunjukan kembali memanas. Ialah Buktu, kelompok musik yang digawangi oleh Bodhi IA tersebut memang sudah tidak asing dengan bentuk instrumentalisasi puisi.
Malam itu mereka membawakan puisi “Malam Pengembara” dengan musik post-rock eksperimental. Efek-efek suara tidak hanya digunakan sebagai pegiring, tetapi juga digunakan untuk mengubah suara mic yang digunakan Bodhi IA dalam membacakan narasi.
Suasana dibangun secara perlahan menuju permainan musik yang liar dan lepas. Anggukan kepala dan ketukan kaki tak mampu tertahankan oleh para penonton, mereka berkerubung di depan panggung dan enggan menyudahi sajian dari Buktu dengan terus meminta repertoar lebih.
Acara Tapssu #2 pada malam itu pun berakhir sudah. Kata “pecah” agaknya mampu menggambarkan keberhasilan para panitia penyelenggara dalam mengelola sebuah event, mulai dari pemilihan penampil, pemilihan tempat, penataan panggung, maupun susunan acara. Predikat tersebut juga pantas disematkan pada setiap penampil yang mampu mengombang-ambing penonton dalam berbagai atmosfer yang berbeda.
Acara ini juga menandakan bahwa musikalisasi puisi tidak pernah kehilangan tempat di tengah skena permusikan dan sastra di Yogyakarta, khususnya dalam lingkup anak-anak muda seperti para panitia dan audiens yang memenuhi venue pada malam tersebut.
Sejauh apa pun ia “merantau”, Yogyakarta selalu menjadi tempat pulang yang akan tetap menyambutnya dengan pintu terbuka.[T]