WINDU pertama, bocah perempuan kecil tidak merayakan ulang tahun kedelapan seperti teman-temannya sebelumnya. Di hari ulang tahunnya itu, dia menyusun boneka-boneka –bekas sepupunya yang beranjak besar– secara melingkar. Bersenandung seolah para boneka tengah merayakan ulang tahunnya. Raut gembira bersemayam di wajah ovalnya. Potongan rambutnya seperti kartun Dora, bibirnya tipis, alisnya berbentuk seperti gunung, sehingga orang-orang baru selalu memujinya meski kulitnya tidak terlalu putih.
Ketika terik matahari semakin silau, dia buru-buru merapikan boneka-boneka ke tempat semula. Bergegas masuk ke rumah, mencuci kaki dan tangan, lalu merayap ke kamar sebelum sang ibu tiba. Jika tidak, dia akan mendapati pahanya biru-biru.
Mulutnya selalu ingin bertanya, kenapa dia tidak diperlakukan seperti dua kakak lelakinya. Yang bisa bebas main saat siang hari, tak melakukan bersih-bersih rumah, atau setidaknya merapikan mainannya kembali seperti awal. Namun mulutnya seperti tersumpal oleh perkataan; Anak perempuan tidak sama seperti anak lelaki.
Seperti di hari libur pagi, dia sudah sibuk menyapu seluruh area rumah dari dalam hingga luar. Meski tubuhnya tidak besar, tapi dia pandai bersih-bersih. Sementara kedua kaka lelakinya yang usianya terpaut dua dan tiga tahun di atasnya, masih tertidur pulas. Ibunya berteriak jika dia tidak bergegas bangun apalagi tidur selepas subuh. Katanya, anak perempuan dilarang tidur setelah subuh meski hari libur. Katanya, anak perempuan harus membantu ibunya di dapur dan pekerjaan rumah lainnya.
Tapi dia selalu bertanya, kenapa itu tidak terjadi pada dua kakaknya, dan jawabannya selalu sama; Anak perempuan tidak sama seperti anak lelaki.
Ketika siang hari, dua kakak lelakinya sibuk bermain playstation. Bocah perempuan itu menghampiri, menonton, dan sebetulnya sangat ingin bermain. Tetapi, tak pernah diberi. Ibunya melarang karena katanya, itu adalah permainan lelaki. Gelas-gelas kotor dan sisa makanan ringan dua kakak lelakinya berserakan. Mereka tak pernah dimarahi oleh sang ibu untuk hal itu. Tetapi selalu menyalahkan dia yang diam saja karena ada hal kotor di rumahnya. Lantas, dia membersihkan tanpa berhasil memegang stick playstation sekali pun.
Windu kedua, usianya beranjak enam belas tahun. Saat dirinya menginjak kelas sebelas, dia tidak pernah menghadiri pesta-pesta yang biasa dilakukan teman-temannya. Atau berlibur ke pantai, gunung, apalagi tempat rekreasi lainnya. Dia tidak mendapatkan izin dengan alasan, anak perempuan dilarang berpergian selain bersama keluarganya. Berbeda dengan dua kakak lelakinya, yang terkadang pulang tengah malam, pergi menginap untuk liburan, dan hal lainnya di luar rumah.
Dengan wawasan dan pemikiran semakin berkembang, dia bertanya, kenapa dia tidak boleh melakukan apa yang kakak lelakinya lakukan. Lantas ibunya menjawab, jikalau anak perempuan yang sudah baligh memiliki harga diri yaitu keperawanan. Jika hal itu sudah hilang, maka perempuan sudah tidak ada harga dirinya lagi. Dia selalu manggut-manggut saat ibunya menjawab, tak berani bertanya lebih lanjut.
Menjelang hari kelulusan tiba, seorang ibu menggedor-gedor rumahnya. Dirinya hanya berdua dengan satu kaka lelakinya yang paling tua. Dia disuruh membuka pintu dan menurutinya. Saat melihat tamu, wajahnya berubah ketakutan. Tatkala raut marah dan emosi menyatu di wajah ibu itu.
“Mana kakakmu?! Panggilkan dia! Heri harus tanggungjawab sama anak saya!”
Mendengar hal itu, dia berlari masuk, memanggil sang kakak yang wajahnya panik dan ketakutan. Dia tidak keluar dan memilih mengunci pintu sendirian di kamar. Sementara perempuan itu kembali ke teras rumah.
“Bang Heri tidak ada di rumah, Bu.”
“Bohong! Panggilkan ibumu!”
“Ibu juga tidak ada di rumah.”
Selepas itu, malam harinya, ibu-ibu yang wajahnya seperti singa siap menerkam datang lagi bersama suami serta anaknya. Pukul sepuluh malam, mereka berembuk. Membicarakan keputusan apa yang selanjutnya dilakukan untuk kedua anak mereka. Keputusan akhirnya adalah mereka dinikahkan.
“Lihat! Kalau kamu jadi perempuan yang mudah digauli seperti itu, nasibmu sama seperti dia. Tidak bisa melanjutkan kuliah dan mencari pekerjaan lantaran sudah hamil duluan. Makanya, jadi perempuan mesti pandai jaga harga diri,” nasihat Ibu pada anak perempuannya.
Dia diam saja. Tidak menyahut dan hanya mengangguk. Pikirannya bertanya-tanya, jadi ini semua salah siapa?
Windu ketiga, kehidupannya lebih terjal lagi. Ketika usianya hampir memasuki quarter life crisis itu menanggung seisi rumah. Satu rumah diisi tiga kepala keluarga. Kedua kakak lelakinya menganggur dan beristri. Sementara sang ayah sudah pensiun. Sang ibu hanya menjual nasi pada pagi hari. Anak perempuannya yang tersisa sebagai tulang punggung bekerja di pabrik. Meskipun terkadang rasa iri muncul karena tak bisa bebas seperti teman-temannya, dia selalu manut pada keluarganya.
“Perempuan harus bisa cari uang sendiri. Biar nanti kalau sudah beristri tidak menyusahkan suami seperti kedua kakak iparmu.” Begitulah nasihat ibunya kali ini.
Pekerjaannya di rumah sudah cukup ringan dengan bantuan dua kakak iparnya. Tetapi di pabrik, badannya seperti diremukkan dua kali lipat. Mencari uang hanya untuk hilang sekejap. Tidak punya tabungan apalagi pegangan harian. Seluruh gajinya diserahkan pada sang ibu. Dia pasrah meski otaknya sudah pandai dan tahu jika dia seperti sapi perah. Tidak ada penolakan, bantahan, apalagi kalimat cacian pada keluarganya. Justru sebaliknya, dia selalu menjadi bualan sang ibu jika gajinya terlambat atau dipotong.
Suatu hari, pemilik usaha galon di tempatnya datang. Menagih utang yang entah pada siapa. Dia memanggil ibunya yang keluar secara malu-malu.
“Duh! Bang Tohar, cepat sekali datangnya. Bukannya seminggu lagi?”
“Ini sudah terlambat satu minggu. Sesuai janji awal saja, bagaimana?”
Sang ibu meliriknya tanpa sebab. Lalu mengangguk cepat. “Tapi uangnya dilebihkan ya? Utang saya lunas. Juga, dua anak lelaki saya diterima kerja di usahanya Bang Tohar, bagaimana?”
“Setuju!”
Tanpa tahu maksud pembicaraan mereka, dia hanya diam dan masuk ke dalam. Tetapi malamnya, dia dirias oleh dua kakak iparnya. Katanya, menyambut kedatangan calon suaminya. Awalnya dia terkejut, tetapi sang ibu menahannya dengan seribu alasan dan tatapan mengerikan.
Dia dijodohkan oleh Tohar malam itu juga.
“Anak perempuan saya ini betul-betul masih perawan. Rajin, karena sejak kecil saya ajarkan cara bersih-bersih rumah. Saat remaja pun tidak pernah keluar tanpa saya atau keluarga. Tidak pernah pacaran dan betul-betul menuruti setiap perkataan saya, apalagi suaminya nanti. Pokoknya dijamin, anak perempuan saya sempurna. Maharnya seratus juta, ya, Bang?”
“Setuju.”
Windu keempat. Usianya sudah menginjak 32 tahun. Tetapi dirinya sudah berstatus janda selama dua tahun. Diusir dari rumah mertua dan juga keluarganya sendiri dengan dua anak tanggungan. Suaminya menceraikannya sewaktu usia pernikahan mereka baru lima tahun.
Dia selalu melakukan apa yang suaminya perintahkan. Termasuk tidak mengunjungi keluarganya lagi. Meski dia seringkali dipukul tiap malam hingga wajahnya lebam, dia selalu tak bersuara. Dia mengingat pesan sang ibu sebelumnya; Istri wajib tunduk pada suami, tidak boleh melawan suami, apalagi menjelekkan suami di depan orang-orang. Bagi seorang istri, suami adalah pengganti orangtua.
Setelah dia melakukan apa yang dinasihati sang ibu, dia berakhir di rumah sakit. Ketika seseorang hendak melaporkan perbuatan keji suaminya padanya, dia menolak. Saat itulah sang suami menceraikannya sebelum berurusan lebih lanjut pada kepolisian.
Sekarang, dia sudah terbebas dari kutukan empat windu yang pernah ia baca di buku cerita. Kebebasan seorang perempuan memang dimulai setelah usia empat windunya terlewat. Tanpa suara, dia berhasil melewati semua keresahan yang terjadi pada dirinya yang terlahir sebagai perempuan. [T]