KETIKA sayembara Gerip Maurip diumumkan muncullah nama Carma Mira sebagai salah satu pemenang. Ia menang untuk katagori Satua Bali Modern, atau cerita pendek berbahasa Bali. Judul manuskrpnya, Ngantosan Ulungan Bulang, atau dalam bahasa Indonesia artinya Menunggu Bulan Jatuh. Romantis sekali.
Gerip Maurip adalah sayembara manuskrip karya Sastra Bali Modern yang digelar setiap tahun oleh Penerbit Pustaka Ekspresi. Selain Carma Mira, ada dua pemanga lain, yakni Ni Wayan Antari dan Dewa Ngakan Kasub Sidan. Ada tiga pemenang juga untuk katagori puisi Bali Modern.
“Saya sangat senang dan tidak menyangka bisa menjadi salah satu orang yang lolos dalam Sayembara Gerip Maurip tahuyn ini,” kata Carma Mira saat menjawab pertanyaan tatkala.co melalui WhatSapp, Kamis siang, 9 November 2023.
Carma Mira kemudian bercerita bahwa dari awal ia tidak menaruh banyak harapan. Ia merasa karyanya masih perlu banyak perbaikan.
“Apalagi saya adalah pendatang baru di dunia sastra Bali Modern,” katanya.
Keikutsertaannya dalam sayembara ia akui sebagai sebuah kebetulan. Ketika itu ia sedang mencari penerbit untuk menerbitkan naskah cerpen yang memang sudah siap untuk diterbitkan.
“Penerbitan itu hanya sedinya hanya untuk dokumentasi dari hasil pembelajaran saya membuat cerpen berbahasa Bali selama beberapa tahun ini,” katanya.
Jadi niat awalnya hanya ingin mengumpulkan cerpen hasil karyanya untuk dijadikan satu dan mengemasnya dengan cover cantik, sesuai keinginannya. Namun, ketika melihat pengumuman sayembara Gerip Maurip ia memberanikan diri untuk ikut serta, dan ternyata berhasil jadi pemenang.
“Setelah meraih Gerip Maurip saya memiliki semangat baru untuk terus belajar, berbenah dan berkarya,” ujar Carma Mira.
***
Carma Mira bernama lengkap Dewa Ayu Carma Miradayanti, S.S., M.Hum. Ia lahir di Getakan, 31 Agustus 1991. Ia menyelesaikan studi Sarjana pada tahun 2013 dengan mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Kuno di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana.
Carma Mira dan keluarga kecilnya | Foto: FB/Carma Mira
Pertama kali bekerja, ia sangat percaya diri menjadi presenter berita berbahasa Bali di Kompas TV Dewata, atau sebelumnya bernama Dewata TV, yang merupakan salah satu stasiun televisi swasta lokal di Bali.
Tahun 2014 ia mulai bekerja sebagai receptionist di Sekolah Tinggi Pariwisata Bali Internasional yang sekarang bernama Institut Pariwisata dan Bisnis Internasional. Pada tahun 2016 ia mendapat beasiswa dari tempatnya bekerja untuk melanjutkan studi S2. Dengan amat yakin, ia kemudian menempuh pendidikan program Magister Linguistik di Universitas Udayana dan menyelesaikan studi tahun 2019.
Dan jangan heran jika kini ia cukup pasih menulis cerita, terutama cerita berbahasa Bali. Sejak kecil ia suka membaca dan sangat menyukai cerita. Salah satu novel favoritnya adalah Harry Potter yang telah dibacanya berkali-kali.
Ia mengenal karya sastra Bali modern sejak kuliah di prodi sastra daerah dan menyukainya hingga sekarang. Kini Ia bekerja sebagai Dosen Kontrak di Program Studi Sastra Jawa Kuno, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana. Selain bekerja Ia juga aktif menjadi anggota komunitas Wikipedia Bahasa Bali sejak tahun 2020 hingga sekarang.
***
Seperti apa manuskrip cerpen yang menang di ajang Gerip Maurip?
Carma Mira menuturkan, manuskrip buku Ngantosang Ulungan Bulan itu terdiri atas 11 cerpen. Sebagian besar cerpen itu sudah pernah terbit di rubrik Bali Orti di Bali Post, di rubrik Bali Jani di Nusa Bali, dan yang terbanyak terbit di Majalah Suara Saking Bali.
Buku Ngantosang Ulungan Bulan ini adalah buah panjang dari proses ketekunan Carma Mira dalam dunia tulis-menulis cerpen. Seperti juga banyak penulis, ia juga mengalami kesulitan pada awal-awal belajar menulis.
“Jangankan untuk menghasilkan satu paragraf, untuk menuliskan sebuah kalimat saja saya bingung memulai darimana,” ujarnya.
Namun, meski sulit, Carma Mira adalah tipe penulis yang sangat menikmati proses. Apa pun ia lakukan untuk membuat tulisannya menjadi matang dan bernas. Bahkan sampai sekarang pun ia mengaku masih tergantung dengan kamus ketika menulis cerpen, terutama untuk mengecek kembali istilah-istilah yang digunakan untuk mengantarkan cerita.
Selain itu ia juga kerap melakukan riset kecil dan mencari informan jika diperlukan untuk membuat ceritanya lebih bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya ketika ia menceritakan tentang penari Bali, maka ia akan berbincang dengan seorang pragina (penari) Bali untuk menambah wawasan demi memahami seluk beluk tari Bali.
“Dengan riset kecil-kecilan, itu memudahkan saya ketika menuliskan cerita. Ketika menceritakan tentang tumbuhan saya juga mengeceknya dalam ensiklopedia dan artikel-artikel terkait,” katanya.
Carma Mira sangat menyukai alam. Untuk itulah, tema-tema yang digarap dalam cerpennya tak jauh-jauh dari fenomena alam. Selain ingin menceritakan tentang fenomena-fenomena ringan dalam kehidupan sehari-hari, ia juga mengaku terobsesi untuk memperkenalkan cerita-cerita yang bersumber dari karya sastra Jawa Kuno dengan cara yang berbeda, misalnya dengan menyelipkan kutipan-kutipan sastra itu dalam cerpen.
Misalnya dalam cerpen berjudul Kutus Purnama Tan Pegatan yang ditulisnya, ia menyelipkan cerita Jaratkaru, di mana cerita itu menimbulkan sebuah kepercayaan bahwa “Jika seorang anak tidak menikah maka atma orang tuanya nanti akan tergantung di tiing petung (bambu petung)”.
Contoh lain, Carma Mira juga sedikit mengambil lakon Subali Sugriwa dari cerita Ramayana dalam cerpennya yang berjudul Bojog Ngandong Dedari.
“Kecintaan saya kepada alam membuat cerpen saya banyak diwarnai oleh flora yang ada di sekitar saya. Hal itu juga yang menginspirasi cerpen saya yang berjudul Jepun Setra dan Bulan Kembar,” katanya.
***
Carma Mira menulis cerpen pertama kali tahun 2018. Di tahun itu ia menghasilkan tiga buah cerpen. Sayangnya, satu cerpen hilang karena ganti laptop.
Pada awal-awal menulis ia banyak berdiskusi dengan Carma Citrawati, kakaknya yang memang sudah dikenal sebagai salah satu sastrawan Bali Modern yang kuat. Awalnya ia tidak pernah terpikir untuk membuat cerpen, karena saat itu ia hanya penikmat karya sastra Bali Modern. Tapi setelah melihat sang kakak menulis cerpen, ia jadi tertarik untuk mencoba.
“Kakak saya (Carma Citrawati) memang orang yang selalu memberi inspirasi kepada saya,” katanya.
Carma Mira bersama sang kakak, Carma Citra | Foto: FB/Carma Mira
Pada tahun 2018, atas saran sang kakak juga, ia sempat jeda menulis dan memutuskan untuk fokus menyelesaikan studi S2. Dan pada tahun 2022 ia kembali menulis cerpen, hingga sekarang, hingga ia berhasil memenangkan Gerip Maurip.
Ngomong-ngomong, mengapa Carma Mira menulis?
“Pertama, karena saya menyukai cerita dan sangat suka bercerita,” katanya.
Carma Mira memang suka membaca cerita sejak kecil. Cerita apapun itu, baik dongeng, legenda, cerpen maupun novel, ia lahap sampai habis. Setelah mengenal banyak cerita dalam bahasa Indonesia, maka pada saat berkuliah di Program Studi Sastra Daerah itulah ia baru mengenal karya sastra Bali Modern, dan mencintainya hingga kini.
Alasan kedua, dengan menulis, ia merasa lebih produktif karena menghasilkan sesuatu, terlebih lagi, karya sastra adalah sesuatu yang bisa dinikmati dalam jangka waktu yang lama.
“Yang ketiga, dan yang terpenting, menulis bagi saya adalah self healing untuk meredakan stres dan menyalurkan emosi negative,” katanya.
Bahkan jika diingat-ingat kembali, kata Carma Mira, ia mulai menulis selalu ketika dalam keadaan stres atau dalam kondisi hati yang tidak baik.
Pada tahun 2018 ia menulis karena ingin menghilangkan kepenatan di sela-sela pekerjaan dan studi S2. Kemudian di tahun 2022 ia menulis lagi ketika saya mengalami masa sulit dan menghadapi beberapa kegagalan.
“Tanpa saya sadari sebelumnya, menulis menjadi obat sekaligus hiburan bagi saya,” ujarnya.
***
Siapa orang yang banyak memberi pengaruh terhadap proses kepenulisan Carma Mira?
“Tentu saja penulis yang karya-karya sastranya yang saya baca,” jawabnya.
Carma Mira kemudian menyebut novel trilogi Djelantik Santha yang memberinya pengaruh besar terhadap proses kepenulisannya. Trilogi itu adalah Sembalun Rinjani, Gita Ning Nusa Alit, dan Suryak Suung Mangmung. Juga karya Djelantik Santha yang lain, seperti Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang.
Carma Mira juga menyebut karya Made Suarsa, seperti Gede Ombak Gede Angin, Mertą Matemahan Wisya, dan puisi-puisi yang juga i abaca dengan begitu intens.
Karya-karya penulis lain yang dibacanya adalah Gusti Agung Wiyat S.Ardhi yakni Gending Girang Sisi Pakerisan, cerpen IDK Raka Kusuma, cerpen Made Suar Timuhun dan cerpen Made Sugianto.
“Saya juga sangat berterimakasih kepada Majalah Suara Saking Bali dan Bli Putu Supartika karena majalah itu berperan besar dalam proses kepenulisan saya. Terbitnya cerpen saya di majalah itu menjadi motivasi dan kekuatan bagi saya untuk terus mencoba menulis dan belajar,” katanya. [T]
Penulis: Made Adnyana Ole
Editor: Jaswanto