APA ITU SAKRAL? Apa itu profan? Bagaimana praktik ketubuhan yang sakral dan yang profan saling bersinggungan pada koreografi para penari dan masyarakat yang umumnya tak terkategorikan sebagai penari?
Pertanyaan di atas barangkali sebagai pemantik, batu pijakan, atau semacam premis atas terwujudnya seni pertunjukan yang bertajuk “Membaca Sanghyang” karya Wayan Sumahardika, yang akan dipentaskan untuk pertama kalinya di Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023 dalam program “Membaca Pakem kuratorial Laku Hidup” di IMXR Studio (Black Box/Studio 1), Studio Produksi Film Negara, Jakarta, Sabtu, (21/10/2023).
Sanghyang adalah tarian tradisional Bali yang dimaknai sebagai tari upacara untuk memohon keselamatan (menolak bala) bagi masyarakat setempat. Sebagai sebuah tari upacara, Tari Sanghyang memiliki konsep pertunjukan yang sifatnya sakral. Hal itu dapat dilihat dari bentuk pertunjukan, konteks, lokasi, waktu, pelaku, proses pertunjukan, dan lain sebagainya—yang keseluruhannya itu dimaknai sebagai sebuah ritual.
Wayan Sumahardika sedang memberi arahan kepada para aktor dan kru yang terlibat saat gladi resik di Studio 1 Produksi Film Negara, Jakarta / Foto: Dok. Amri
“Saya memilih Sanghyang karena ini seolah takdir. Dalam beberapa kesempatan, saya selalu bersinggungan dengan Sanghyang,” ujar Suma kepada tatkala.co, Kamis, (19/10/2023).
Mengenai Suma—panggilan akrab Wayan Sumahardika—adalah seorang akademisi, seniman, sutradara, penulis naskah pertunjukan, sekaligus pendiri Mulawali Institute, sebuah lembaga lintas disiplin seni pertunjukan melalui pendekatan kolaboratif dan pemberdayaan yang berdomisili di Bali.
Sekadar informasi, sebelum Membaca Sanghyang (2023), Suma telah melahirkan seni pertunjukan yang bertajuk “The (Famous) Squatting Dance: Jung Jung te Jung” pada tahun 2022. Dan seperti The (Famous), Membaca Sanghyang juga berangkat dari seni tari tradisional di Bali—Suma menyebutnya, “berangkat dari lokalitas.”
Hal tersebut tak mengherankan sebenarnya, sebab Suma memang lahir dan besar di Bali. Kesenian dan kebudayaan Bali seolah telah merasuk, menyatu, dan mengalir dalam tubuhnya. Tetapi, yang menarik, meski beranjak dari seni tradisional, dalam karya-karyanya, ia tak merasa alergi untuk membumbuinya dengan unsur kontemporer. Dan yang harus diingat, sekali lagi, meski terdapat unsur-unsur kontemporer, nilai-nilai tradisionalnya juga tak hilang sepenuhnya. Artinya, alih-alih merubah seluruhnya, tampaknya Suma lebih senang meramunya menjadi satu.
Sebagaimana telah dinarasikan Mulawali Institute—pihak yang memproduksi pertunjukan tersebut, yang berkolaborasi dengan Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha Desa Adat Geriana Kauh dan beberapa komunitas seperti Aghumi, Jelana Creative Movement, Kelompok Sekali Pentas, Napak Tuju dan Sandhikala Films—di akun media sosialnya, Membaca Sanghyang—pertunjukan yang diproduseri oleh Agus Wiratama itu—merupakan pertunjukan yang berangkat dari studi kasus ritual Sanghyang dalam hubungannya dengan kehidupan pertanian di Desa Adat Geriana Kauh, Kabupaten Karangasem, Bali.
I Nyoman Subrata dan I Gede Artana saat gladi resik di Studio 1 Produksi Film Negara, Jakarta / Foto: Dok. Amri
“Selain menciptakan seni pertunjukan, sebenarnya kami juga sedang melakukan pemetaan tentang ekosistem Sanghyang di Desa Adat Geriana Kauh. Dalam proses penciptaan Membaca Sanghyang, selain menggali informasi dari literatur, kami juga melakukan wawancara dengan tokoh dan masyarakat di Geriana—karena bagi saya, informasi dari arsip hidup itu juga penting,” jelas Suma.
Tak hanya sekadar pertunjukan, lebih dari itu, Membaca Sanghyang berupaya menelusuri dinamika Sanghyang dan masyarakat penyangganya—khususnya di Desa Adat Geriana Kauh—serta relasinya dengan biografi para penari dan aktor hari ini. Menyingkap berbagai isu belakang panggung Sanghyang yang umumnya tak pernah dihadirkan di ruang profan, di mana Sanghyang kerap dikreasikan sebagai tari yang umumnya dipentaskan untuk kepentingan pariwisata Bali.
Sebagai salah satu pihak yang diajak kerja sama, Bendesa Adat Geriana, I Nyoman Subrata, mengaku senang dengan lahirnya Membaca Sanghyang. Bahkan, tak hanya sebagai sumber informasi, pria yang akrab dipanggil Jro ini juga terlibat langsung, menjadi aktor, dalam pertunjukan tersebut. “Awalnya sempat tidak percaya diri. Saya kan bukan orang teater,” ujarnya seusai gladi resik di Studio Produksi Film Negara, Jumat, (20/10/2023).
Dipilihnya Bendesa Adat sebagai pelaku tamu dalam pertunjukan ini merupakan salah satu hal yang menarik sekaligus keberanian—mungkin juga pertaruhan—dari sang sutradara. Namun, di situlah justru letak estetikanya. Suma mengatakan, “Estetika dalam pertunjukan ini justru terletak pada interaksi kami dengan masyarakat Geriana.” Artinya, dalam konteks ini, sebagai sutradara, Suma lebih menebalkan estetika di belakang panggung pertunjukkan Sanghyang alih-alih di depan panggung. Ini sudut pandang yang menarik.
Wulan dan Kevin saat gladi resik di Studio 1 Produksi Film Negara, Jakarta / Foto: Dok. Amri
Nyoman Subrata mengatakan bahwa ini adalah pengalaman pertamanya menjadi aktor. Pada awalnya ia sempat ragu, hanya saja, sebagai sutradara, Suma selalu menguatkan. “Untungnya, Pak Suma itu orangnya enak kalau menjelaskan. Dia juga tidak mengharuskan kami tampil seperti aktor beneran—yang alamiah saja, katanya. Jadi, berkat kebebasan yang diberikan Pak Suma itulah akhirnya saya menjadi yakin dan percaya diri untuk ikut berangkat ke Jakarta,” terangnya.
Selain Jro Nyoman Subrata, Membaca Sanghyang juga memainkan I Gede Artana, seorang petani Desa Adat Geriana Kauh, Kabupaten Karangasem. Sama seperti Jro Bendesa, Gede Artana juga bukan seorang aktor. “Saya hanya seorang petani,” katanya sembari tertawa.
Sekadar informasi, Membaca Sanghyang juga mengajak Wulan Dewi Saraswati dan Kevin Muliarta sebagai performer. Dan berbeda dengan Jro Bendesa dan Gede Artana, untuk Wulan dan Kevin, seni pertunjukan sudah menjadi makanan sehari-hari.
Sementara itu, dalam pertunjukan tersebut, Ingga Delia didapuk sebagai Manajer Produksi; untuk Manajer Panggung, Penata Kostum, dan Penata Rias, Suma mempercayakannya kepada De Krisna Dwipayana; untuk Penata Artistik dan Cahaya, ada nama Heri Windi Anggara di sana; Penata Visual, siapa lagi kalau bukan Manik Sukadana; sedangkan Penata Musik dipercayakan kepada Yogi Sukawiadnyana; dan Asst. Manajer Produksi dan Dokumentasi, Amrita Dharma orangnya.[T][Jas/*]
MEMBACA SANGHYANG
IMXR Studio (Black Box/Studio 1)
Studio Produksi Film Negara, Jakarta
Sabtu, 21 October 2023
16.00-17.00 WIB