RABU (11/10/2023) sore, ketika cuaca sedang panas-panasnya di Bali, saya melakukan perjalanan untuk pulang ke desa. Seperti biasa, dari Denpasar menuju Desa Les via Kintamani—rute klasik dan asyik yang sering saya lewati.
Saat sampai di Kintamani, kurang lebih 1.5 jam dari Denpasar, saya memutuskan untuk berhenti dan menikmati secangkir kopi. Hal ini seolah sudah menjadi hukum baku—setidaknya bagi saya sendiri—saat melewati daerah Kintamani. Maklum saja, banyak berjajar warung lokal yang tradisional sampai modern yang menjual menu kopi di Kintamani.
Saya berhenti di warung lokal sederhana (tradisional) dengan pemandangan tiga gunung yang sangat mewah. Sambil memesan kopi hitam tanpa gula, saya duduk sambil menatap bukit Panarajon yang sangat lekat dengan daerah pesisir kawasan Tejakula. “Kalau sudah sampai sini, tinggal 45 menit lagi menuju Desa Les,” gumam saya dalam hati.
Sambil menyeruput kopi yang semakin sore semakin mendingin, sebelum melanjutkan perjalanan, saya sempat ngobrol dengan anak muda dari Cirebon, Jawa Barat. Namanya Diki. Saya panggil Mas Diki. Pria 29 tahun ini sudah delapan tahun bolak-balik dari Cirebon-Kintamani. Diki adalah sopir lintas provinsi dan pulau—Jawa-Bali.
Setelah tamat SMP, kisahnya, Mas Diki memutuskan untuk menjadi sopir. Pada awalnya rute yang ditempuh hanya seputaran Pulau Jawa. “Dulu Cirebon ke Jawa Tengah saja. Lima tahun belakangan saya rutin, seminggu sekali, ke Kintamani,” ujarnya. Artinya, dalam sebulan, paling sedikit ia akan bolak-balik Kintamani-Cirebon sebanyak 4 kali.
Sebagai penghasil jeruk dan bawang, tak heran jika Kintamani banyak menarik dan mendatangkan orang-orang luar Bali. Seperti Diki, misalnya, ke Kintamani memang untuk mengangkut jeruk maupun bawang ke Cirebon.
Diki bercerita, bersama seorang teman, ia menghabiskan waktu selama 2 hari mengendarai truk untuk sampai di Kintamani. Berangkat dari Cirebon Minggu malam, sampai di Bali Selasa malam. “Melewati jalur Pantura dan baru masuk tol di Gresik,” tuturnya.
Wah, saya jadi banyak belajar dari Diki, yang setiap minggu melakukan perjalanan jauh—dari Cirebon ke Kintamani—tanpa menunjukkan rasa capek dan mengeluh. Sedangkan saya, di tengah ungkapan klasik jauhnya jarak Bali Utara-Bali Selatan—yang selambat-lambatnya memakan waktu kurang lebih 4 jam, itu pun sudah dapat selonjoran ngopi di Kintamani atau Bedugul atau di Munduk—kadang masih mengeluh.
“Kalau Mas Diki ke sini untuk mengangkut hasil pertanian, kalau di Bali rata-rata sopir membawa wisatawan,” gumam saya.
Sampai di sini, akhirnya saya mengutarakan pertanyaan yang sedari tadi tumbuh di benak saya. “Bagaimana penghasilannya, Mas?”
“Alhamdulillah, sekali perjalanan lima sampai enam juta, masuklah,” jawabnya, sembari tersenyum. Dan saat saya bertanya tentang berapa biaya bahan bakar yang dihabiskan? Ia menjawab, “Biaya sekitar 1 juta untuk solar.”
Seperti prinsip ekonomi pada umumnya, berangkat harus berisi dan pulang harus berisi. Setiap kali akan ke Kintamani, Diki selalu membawa barang untuk dijual. Saat itu dia membawa batu alam ke daerah Ubud. Untuk tambahan penghasilan, katanya.
Pada akhirnya, bapak satu anak itu—Diki memiliki seorang putri—bercerita bagaimana jalanan adalah sekolah terbaik. Dari jalanan ia belajar tentang seluk-beluk engine atau mesin kendaraan, perilaku sosial, sampai bagaimana belajar marketing dan networking agar penghasilan maksimal.
Sopir yang sekaligus anggota dari PPTI (Persaudaraan Pekerja Truk Indonesia) itu mengaku sangat menikmati hidupnya yang sekarang. Ya, bagaimana pun hidup adalah perjalanan yang di tengahnya ada persinggahan dan setelahnya ada perhentian.
Hah, tidak terasa hari sudah gelap, dan udara rasanya sudah tidak sepanas tadi—oh, kalau sampai daerah Kintamani panas, ini tandanya gawat, bukan?[T]
Penulis: Nyoman Nadiana
Editor: Jaswanto