MEMPELAJARI Fyodor Dostoyevsky, seorang novelis terkenal asal Rusia, memerlukan ketekunan mendalam. Hal ini dikarenakan gaya berbahasa dan diksi yang digunakan dalam untaian narasinya bersifat satire, aforistik, anakronistik—bahkan “berbenturan” antara wacana satu dengan wacana lainnya.
Selingkung yang dihadirkan Dostoyevsky—dengan tendensi rumit—tidak lepas dari realitas hidup yang ia alami. Mulai dari pergumulan dengan sang ayah sampai rekaman memori tentang keadaan menyedihkan Rusia di masa lalu.
Fyodor Dostoyevsky memiliki nama lengkap Fyodor Mikhailovich Dostoyevsky. Ia lahir di Moskow, pada 30 Oktober 1821. Ayahnya berprofesi sebagai dokter tentara, sementara ibunya berasal dari keluarga pengusaha kaya.
Sejak usia remaja, Dostoyevsky mengalami kegelisahan karena melihat tabiat buruk sang ayah. Sebagai seorang dokter tentara, ayah Dostoyevsky menunjukkan sifat paradoks. Ia suka mabuk, bahkan suka bermain perempuan.
Sampai pada momen akhir, ayahnya meninggal karena dibunuh oleh para pekerja perkebunannya sendiri. Peristiwa itu “menubuh” dalam kedirian Dostoyevsky, sampai pengalaman tidak menyenangkan itu, terbawa dan mengilhami setiap tulisan-tulisannya.
Dalam rangka melakukan sublimasi atas memori buruk tersebut, ia mencari “pelampiasan” di luar rumah.
Pengalihan emosi itu dimulai dengan melihat penderitaan masyarakat Rusia yang mengalami kemiskinan, buta huruf, dan beragam penderitaan—dia tergerak untuk mengubah keadaan. Langkah pertama yang dilakukan ialah bergabung dengan Petrashevsky, sebuah kelompok revolusioner berhaluan kiri dan berkiblat pada pemikiran Charles Fourier.
Antitesa Chernyshevsky
Untuk memahami jalinan berpikir dan “simpul” paradigma Fyodor Dostoyevsky, ada beberapa karya yang harus dibaca. Beruntung, setelah kematiannya, karya-karya Dostoyevsky banyak diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Sehingga, saya yang hanya bisa berbahasa Inggris dan tidak bisa berbahasa Rusia, bisa menikmati setiap diksi penyair Rusia itu.
Beberapa karyanya antara lain: Insulted and Injured (1860), House of the Dead (1860), Notes from Underground (1864), The Brothers Karamazov (1878-1880), Crime and Punishment (1866), The Gambler (1866) dan The Idiot (1886-1869).
Karya-karya di atas cukup sulit untuk diakses, baik melalui libgen.rs atau beberapa kanal online lainnya. Dari ketujuh novel itu, hanya bisa diakses melalui toko buku berbahasa Inggris: Periplus.
Ciri khas Dostoyevsky yang ditampilkan melalui gaya bahasanya, memiliki kecendurangan untuk melihat dunia dengan kegelisahan. Sehingga, ia dapat dikatakan sebagai pemikir Rusia yang “hidup” di era modern. Fyodor Dostoyevsky menjadi antitesa dari Chernyshevsky (1828-1889).
Chernyshevsky melalui karyanya berjudul What Is Be Done? (1863) membangun argumentasi serta melakukan glorifikasi rasionalitas Eropa Barat, juga mentotalisasi mengenai karakter perfectibility manusia modern. Manusia modern yang berakal dan memaksimalisasi rasionalitasnya, dianggap sebagai “manusia ugahari dan ajeg”.
Untuk menggugat Chernyshevsky, Dostoyevsky menulis karya lain berjudul ‘The Dream of a Ridiculous Man, isinya berkaitan tentang falsifikasi, atau cara berpikir alternatif untuk menegasi glorifikasi rasioalitas.
Ia (Dostoyevsky) menawarkan cara berpikir untuk kembali pada knowledge tradition of Russia—tradisi berpikir yang mengarah pada anggapan bahwa rasionalitas tidak selalu menjadi jalan keluar atas suatu masalah, tetapi masalah dan penderitaan harus diafirmasi, karena melalui itu setiap manusia menjadi entitas reflektif.
Memaknai Penderitaan, Kegilaan, dan Kekonyolan
Fyodor Dostoyevsky melalui selingkung knowledge tradition of Russia, menekankan tentang arti penting penderitaan dan kegilaan. Baginya, penderitaan atau kegilaan bukanlah entitas yang harus dihindari. Entitas itu hadir, melekat dan inheren dalam realitas sosial manusia. Bahkan, term tentang suffering memiliki esensi edukatif.
Dostoyevsky menekankan bahwa untuk membangun “manusia yang ajeg”, bukan diawali dari sisi rasionalitasnya (kritik atas egoisme rasionalis Chernyshevsky), tetapi dari dimensi resiliensi. Bagaimana setiap individu mampu memaknai, menginterpretasi, dan menginternalisasikan kesulitan hidup.
Kemampuan berpikir atau akal sehat tidak selalu membuat manusia bahagia, justru rasionalitas menyebabkan penderitaan/keputusasaan. Daya tahan banting serta pembiasaan akan penderitaan atau kegilaan lebih bermakna—karena menciptakan kesadaran reflektif atas sesuatu yang terletak di jantung penderitaan.
Dengan menderita, kita mendekatkan diri pada realitas utuh, kompleksitas dan hakikat memanusiakan diri. Memahami derita atau kondisi gila menjadi jalan purgatorio dalam merekonfigurasi makna kemanusiaan diri, karena kondisi tidak menyenangkan memberikan pembelajaran seumur hidup, tidak peduli seberapa banyak hinaan, kesepiaan atau keterlemparan pada titik terendah.
Jalan purgatorio tidak diajarkan oleh egosime rasionalis, terutama pada era neoliberalisme. Hal ini disebabkan karena egoisme rasionalis mengajarkan manusia untuk bahagia dan “mencicipi” sedikit penderitaan. Menyecap derita dilakukan agar seolah-olah mereka merasa benar-benar hidup. Bagi Dostoyevsky ini adalah kekonyolan.
Penderitaan dan kegilaan adalah realitas enigmatik. Tetapi, kenyataan itu “menampar” manusia bahwa kehidupan yang sedang dijalani adalah perjalanan fana (tidak abadi) (Ivanists, 2008). “Tamparan” tersebut membawa manusia pada dimensi pencarian. Pencarian akan makna inilah membuat mereka menjadi mengetahui—mengetahui tentang naluri serta cara memelihara diri. Sekalipun enigma dari hasil perenungan tentang penderitaan atau kegilaan dapat merusak hidup dan ekspektasi.
Namun, kemampuan berpikir reflektif tersebut mengantarkan individu pada beragam probabilitas, kemungkinan baru tentang keberadaan dirinya dengan dunia sekitar. Manusia yang reflektif akan terus mengalami ketidaknyamanan, terombang-ambing, ketidakpastian serta sepenuhnya tidak akan pernah puas.
Definisi tentang “manusia ajeg” tidak lagi mengandalkan kemampuan bernalar, tetapi terus-menerus mencari makna dalam hidup, sekaligus memertimbangkan different voice intuisinya (Roberts, 2005).
Dostoyevsky menyadari bahwa kesadaran mendalam tidak hadir melalui kebahagiaan. Kesadaran itu hadir dari penderitaan dan tersandungnya manusia ketika mereka belajar untuk hidup. Kita harus sadar diri dalam keputusasaan, sadar akan kekurangan juga dengan kegagalan.
Dari hal di atas bisa dipahami tentang linieritas berpikir Dostoyevsky bahwa manusia pada dasarnya adalah entitas yang kesepian, mereka tidak mampu melarikan diri dari fakta bahwa antara individu dan kebenaran selalu berdiri di tengah masyarakat, sehingga terjadi relasi dialektis dalam kehidupan.
Dengan menderita, setiap individu mengalami kemunduran, demi mendapatkan kemendalaman hidup yang melangkah maju. Penderitaan mengandung arti proses formasi (bildung), membutuhkan interpretasi ulang dengan perspektif yang mencerahkan.
Selain itu, mengalami ketersiksaan menjadikan kita menerima liminalitas diri dalam memahami sesuatu yang unexplainable (Herbillon, 2020; Jones, 1971). Karena dengan merasakan ketidaknyamanan atau kegilaan, manusia mampu mencapai kemendalaman dan membentuk jenis “pertobatan baru”—memanipulasi emosi negatif ke dalam penerimaan, mendegradasi hasrat impulsif sekaligus persisten dalam mendeterminasi diri dengan keterpasrahan (Dostoevsky, 1958; Mitchell, 1975). Di sinilah untaian kebermaknaan penderitaan menurut Dostoyevsky.[T]
- Daftar Pustaka
- Dostoevsky, F. (1958). Fyodor Dostoevsky: Notes From Underground. American Behavioral Scientist, 1(6), 41–42. https://doi.org/10.1177/000276425800100614
- Herbillon, M. (2020). Rewriting Dostoevsky: J. M. Coetzee’s The Master of Petersburg and The Perverted Truths of Biographical Fiction. Journal of Commonwealth Literature, 55(3), 391–405. https://doi.org/10.1177/0021989418823829
- Ivanists, L. (2008). Dostoevsky and The Russian People (I (ed.)). Cambridge University Press.
- Jones, M. (1971). Dostoevsky’ s Notebooks. Journal of European Studies, 2(3), 277–284. https://doi.org/10.1177/004724417200200305
- Mitchell, J. (1975). Dostoevsky’s Image of Christ. The Expository Times, 86(7), 210–214. https://doi.org/10.1177/001452467508600710
- Roberts, P. (2005). Freire and Dostoevsky: Uncertainty, Dialogue and Transformation. Journal of Transformative Education, 3(2), 126–139. https://doi.org/10.1177/1541344604273424