HARDANGERFJORD, fjord terbesar kedua di Norwegia, membentang dari Laut Utara hingga pegunungan Vestland yang jauh. Sekitar setengah jalan menuju fjord, di mana cahaya di pantainya gelap, dan airnya berwarna keperakan karena cahaya, terletak di Desa Strandebarm. Ini adalah rumah bagi Fosse Foundation, sebuah organisasi yang didedikasikan untuk Jon Fosse—novelis, penulis esai, dan salah satu penulis drama kontemporer yang paling banyak diproduksi di Eropa—yang lahir di sana, pada tahun 1959.
Para anggota yayasan bertemu di sebuah rumah doa kecil berwarna abu-abu yang menghadap ke lekukan pelabuhan; air terjun mengalir menuruni permukaan batu hitam di belakangnya. Di ujung jalan dari yayasan terdapat dua rumah berwarna putih: rumah tempat Fosse dibesarkan, tempat ibunya masih tinggal, dan rumah milik kakek-neneknya.
Paragraf di atas ditulis oleh Merve Emre—kontributor di The New Yorker dan Profesor Penulisan Kreatif dan Kritik Shapiro-Silverberg di Universitas Wesleyan—dalam artikel wawancara berjudul Pencarian Perdamaian Jon Fosse yang terbit di The New Yorker pada 2022 silam.
Menurut Emre, Fosse merupakan penulis Norwegia yang telah menghabiskan waktu puluhan tahun untuk menghasilkan karya yang aneh sekaligus dihormati. “Tapi dia masih belum tahu dari mana asal tulisan itu,” kata Emre.
Tahun ini, novelis dari Norwegia yang senang mengangkat tema penuaan, kematian, cinta, dan seni itu, dianugerahi Hadiah Nobel Sastra, sebagaimana yang tertulis di The New York Times, “atas karya drama dan prosa inovatifnya yang menyuarakan hal-hal yang tidak dapat diungkapkan.”
Sementara itu, di laman Kompas.id, Tatang Mulyana Sinagajon membuka artikelnya dengan kalimat “Fosse sedikit mati rasa saat mengetahui dirinya memenangi Nobel Sastra 2023. Ia tidak menyangka akan menerima penghargaan atas karya-karya inovatifnya yang menyuarakan hal-hal yang tidak dapat diungkapkan.”
Fosse sedang mengemudi di sebuah perdesaan di pantai barat Norwegia, kata Tatang, saat Sekretaris Akademi Swedia Mats Malm menghubunginya untuk memberitahunya sebagai pemenang Nobel Sastra, Kamis (5/10/2023). Percakapan berlangsung singkat karena Fosse harus fokus mengemudi dalam perjalanan pulang ke rumah.
Dalam sebuah pernyataan yang dikirim melalui penerbitnya di Norwegia, Fosse, 64, mengatakan dia “sangat senang sekaligus terkejut” menerima penghargaan tersebut. “Saya telah menjadi salah satu favorit selama 10 tahun, dan merasa yakin bahwa saya tidak akan pernah mendapatkan hadiah tersebut,” katanya. “Saya benar-benar tidak bisa mempercayainya.”
Dalam menerima apa yang secara luas dipandang sebagai penghargaan paling bergengsi dalam bidang sastra, Fosse (yang namanya diucapkan Yune FOSS-eh, menurut penerjemahnya) bergabung dengan daftar pemenang termasuk Toni Morrison, Kazuo Ishiguro, dan Annie Ernaux .
Kritikus membandingkan drama Fosse dengan karya dua pemenang Nobel lainnya: Harold Pinter dan Samuel Beckett. Ia juga dijuluki “Ibsen baru”, diambil dari nama penulis drama terkenal asal Norwegia, Henrik Ibsen.
Sebelum Fosse, penerima Nobel Sastra Norwegia terakhir adalah Sigrid Undset, seorang penulis fiksi sejarah yang menerima hadiah tersebut pada tahun 1928, dan Knut Hamsun pada tahun 1920.
Dalam beberapa tahun terakhir, Akademi Swedia, yang menyelenggarakan penghargaan tersebut, telah mencoba meningkatkan keberagaman penulis setelah menghadapi kritik bahwa hanya 17 peraih Nobel adalah perempuan, dan sebagian besar berasal dari Eropa atau Amerika Utara. Pilihan Fosse kemungkinan besar akan ditafsirkan sebagai langkah mundur dari upaya tersebut.
Sebelum pengumuman hari Kamis, pada konferensi pers di Stockholm, Fosse termasuk di antara favorit, meskipun Can Xue, seorang penulis Tiongkok yang sering menulis cerita pendek surealis dan eksperimental, juga masuk dalam nominasi, begitu pula Haruki Murakami ; Salman Rushdie; dan Ngugi wa Thiong’o, seorang novelis dan penulis drama Kenya.
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis melalui penerbitnya di Norwegia pada hari Kamis, Fosse mengatakan dia “kewalahan dan agak takut.”
Ketika ditanya hampir satu dekade yang lalu tentang harapannya untuk memenangkan Nobel, dia mengatakan bahwa meskipun dia “tentu saja” ingin menerimanya, dia juga khawatir dengan beban ekspektasi yang akan ditimbulkannya.
“Biasanya, mereka memberikannya kepada penulis yang sangat tua, dan ada hikmahnya,” katanya dalam wawancara dengan The Guardian. “Anda menerimanya ketika itu tidak mempengaruhi tulisan Anda.”
Evolusi Fosse: Dari Ateis ke Katolik
Seperti yang telah disiarkan The New York Times—beberapa jam setelah pengumuman Hadiah Nobel Sastra 2023 dibacakan—Jon Fosse dilahirkan pada tahun 1959 di Haugesund. Ia dibesarkan di Norwegia bagian barat, di sebuah pertanian kecil di Strandebarm.
Fosse mengaku mulai menulis puisi dan cerita pada usia 12 tahun, dan mengatakan bahwa dia menganggap menulis sebagai bentuk pelarian. “Saya menciptakan ruang saya sendiri di dunia, tempat di mana saya merasa aman,” katanya kepada The Guardian pada tahun 2014.
Sebagai seorang pemuda, sebagaimana artikel Alex Marshall dan Alexandra Alter di The New York Times, Fosse adalah seorang komunis dan anarkis. Ia belajar sastra komparatif di Universitas Bergen.
Fosse menulis dalam bahasa Nynorsk, bahasa minoritas, bukan Bokmål, bahasa Norwegia yang lebih banyak digunakan untuk sastra. Meskipun beberapa orang menafsirkan penggunaan Nynorsk sebagai pernyataan politik, Fosse mengatakan itu hanyalah bahasa yang ia gunakan saat tumbuh dewasa.
“Itu hanya bahasa saya,” katanya. “Itulah yang saya pelajari sejak hari pertama saya di sekolah hingga saya keluar, selama 12 atau 13 tahun. Itu bahasa minoritas, dan itu hanya keuntungan bagi saya sebagai penulis. Kata ini hampir tidak pernah digunakan dalam iklan atau bisnis seperti yang digunakan dalam dunia akademis, sastra, dan gereja.”
Pada tahun 1983, ia menerbitkan novel debutnya yang berjudul Raudt, Svart. Sejak saat itulah ia memulai kariernya yang sangat produktif. Karyanya seperti novel Melancholia I (1995) dan II (1996)—yang menyelidiki pikiran seorang pelukis yang mengalami gangguan mental—menjadi yang paling terkenal.
Selain itu, novel Pagi dan Sore—yang dibuka dengan momen kelahiran sang protagonis dan diakhiri dengan hari terakhir hidupnya—atau karya tujuh jilid A New Name: Septology VI-VII (2022)—sebuah karya yang panjangnya lebih dari 1.000 halaman dan berkisah tentang dua seniman tua yang mungkin adalah orang yang sama: Yang satu telah mencapai kesuksesan, sementara yang lain menjadi pecandu alkohol (Septology menjadi finalis National Book Critics Circle Award in Fiction 2023)—juga telah membawa namanya ke dalam barisan novelis besar Norwegia.
Mengenai karya-karya Fosse, seorang Jacques Testard, pendiri Fitzcarraldo Editions, penerbit Fosse di Inggris, mengatakan karya Fosse menyentuh tema “cinta, seni, kematian, duka, dan persahabatan” sementara “lanskap fjord Barat dekat Bergen tempat ia dibesarkan” hampir merupakan sebuah karakter dalam dirinya sendiri.
Meskipun Fosse memulai karirnya sebagai penyair dan novelis, tapi ia menjadi terkenal sebagai penulis drama. Ia memperoleh pengakuan internasional pada akhir tahun 1990-an dengan produksi drama pertamanya di Paris, Someone Is Going to Come, tentang seorang pria dan seorang wanita yang mencari kesendirian di rumah terpencil di tepi pantai. Fosse mengatakan dia menulisnya dalam empat atau lima hari—dan tidak merevisinya, katanya.
Selama 15 tahun, ia fokus pada teater, dan sering bepergian ke produksi drama internasional. Tapi kemudian dia memutuskan untuk kembali ke dunia fiksi, berhenti bepergian, berhenti minum alkohol, dan masuk Katolik.
Seorang mantan ateis yang kemudian menemukan agama, Fosse menggambarkan menulis sebagai bentuk persekutuan mistik.
Dalam sebuah wawancara dengan Los Angeles Review of Books pada tahun 2022, Jon Fosse berbicara tentang evolusinya sebagai seorang penulis, hubungannya dengan Tuhan dan mistisisme, dan bagaimana ia mencoba dalam tulisannya untuk mendorong batas-batas dari apa yang dapat ditimbulkan oleh bahasa.
“Ketika saya berhasil menulis dengan baik, ada bahasa kedua yang diam,” ujarnya. “Bahasa diam ini menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Ini bukan ceritanya, tapi Anda bisa mendengar sesuatu di baliknya—suara pelan yang berbicara.”
Minimalisme Fosse
Sebagaimana telah disampaikan CNN Indonesia, karya-karya Fosse memiliki karakter khas yang melekat dalam setiap tulisannya. Menurut Nobel Prize, Fosse menulis novel dengan gaya yang kemudian dikenal sebagai “minimalisme Fosse”.
Ia kerap menawarkan cerita dengan tema yang kuat, seperti momen kritis dari sebuah ketidakpastian. Jon Fosse juga dikenal kerap menggambarkan situasi sehari-hari yang dekat dengan kehidupan masyarakat pada umumnya.
Fosse sering dipuji karena karyanya yang minimalis dan introspektif, dan karena menghindari dramatisme yang berlebihan, Fosse sering dianggap sebagai penerus Ibsen yang layak. Misalnya, seperti yang disampaikan The Economic Times, dalam drama berjudul Someone Is Going To Come dan Dreams Of Autumn, Fosse memastikan nadanya tidak cengeng, namun menjaga bahasanya tetap jernih, tanpa menyerah pada keinginan familiar untuk menjadikannya lebih ornamen atau bertele-tele.
Meskipun karya Fosse kadang-kadang bersifat eksperimental secara formal—“Septology,” misalnya, terungkap sebagai satu kalimat narasi aliran kesadaran —sering kali karya tersebut terasa mendalam dan mencekam. Menulis selama puluhan tahun telah mengajarkan Fosse kerendahan hati, dan mengesampingkan ekspektasi, katanya dalam wawancara email dengan The New York Times pada Kamis, (5/10/2023).
“Saat saya mulai menulis, saya tidak pernah merasa yakin akan mampu menulis karya baru,” ujar Fosse. ”Saya tidak pernah merencanakan apa pun sebelumnya, saya hanya duduk dan mulai menulis. Dan pada titik tertentu, saya merasa karya tersebut sudah ditulis dan saya hanya perlu menuliskannya sebelum hilang.”
Menurut Adam Z. Levy dari penerbit Transit Books—sebuah pers kecil yang mulai menerbitkan karya Fosse di Amerika Serikat pada tahun 2020 dengan seri “Septology” pertamanya—karya Fosse tampak sederhana. “Dia sering menulis prosa yang sangat singkat dan sederhana, tetapi bukunya mengejutkan Anda. Mereka mengambil kualitas yang sangat mengharukan ini. Kalimat-kalimatnya berulang, berkelok-kelok, bermula di satu tempat, lalu kembali lagi ke sana, berputar ke luar,” ujarnya.
Damion Searls, salah satu penerjemah bahasa Inggris Fosse, mengatakan bahwa meskipun Fosse telah menulis dalam berbagai media, benang pemersatu dalam karyanya adalah perasaan tenang, itulah sebabnya karyanya sering digambarkan sebagai karya yang menghipnotis atau menggugah spiritual—pengalaman.
“Salah satu kata kunci yang dia gunakan untuk membicarakan fiksinya adalah perdamaian,” kata Searls, yang menerjemahkan karya Fosse dari bahasa Jerman, Norwegia, Prancis, dan Belanda. “Ada kedamaian yang nyata di dalamnya, meski banyak hal terjadi, ada yang meninggal, ada yang bercerai, tapi ketenangan ini terpancar di dalamnya.”
Ketua Komite Nobel Anders Olsson mengatakan Fosse adalah “seorang penulis yang luar biasa dalam banyak hal”. “Dia menyentuhmu begitu dalam ketika kamu membacanya, dan ketika kamu sudah membaca satu karya, kamu harus melanjutkannya,” ujarnya.
Berbagai karya Fosse membawa dirinya menjadi salah satu penulis Eropa paling berpengaruh pada era sekarang. Beberapa karya Fosse yang dikenal luas hingga kancah global, yakni Melancholia I (1995), Melancholia II (1996), Morgon og kveld (2000), Andvake (2007), hingga Olavs draumar (2012). Ia juga menulis sejumlah naskah pertunjukan, seperti Namnet (1995), Draum om hausten (1999), Eg er vinden (2007), hingga Desse auga (2009).
Dan jauh sebelum mendapatkan Hadiah Nobel Sastra, Fosse telah dianugerahi berbagai penghargaan, mulai dari Nynorsk Literature Prize 1998 dan 2003 serta Dobloug Prize 1999. Ia juga masuk dalam daftar 100 orang paling genius yang masih hidup versi The Daily Telegraph.
Ia berada di peringkat 83 dari 100 besar ranking tersebut. Sejak 2011, Fosse bahkan dianugerahi Grotten dari Raja Norwegia. Grotten merupakan kediaman kehormatan dari Norwegia yang terletak di lokasi Istana Kerajaan di pusat Kota Oslo.[T]
Baca juga artikel terkait TOKOH atau tulisan menarik lainnya JASWANTO
Sumber: Diolah dari berbagai artikel tentang Jon Fosse di internet
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana